Aliando hanya tersenyum apa lagi belum sempat meneruskan pertanyaannya tadi pada Patrice sang paramugari yang juga ikut bersamanya.
"Putriku. Kau juga sudah kembali, bagaimana bisa kalian datang bersamaan?" Tanya Mandala lagi pada Patrice setelah menyadari bahwa putrinya juga bersama Aliando.
Patrice pun segera memeluk ayahnya dan berbisik, "siapa orang asing itu, Pa? Aku tidak pernah tahu kalau Papa punya yg teman orang asing dan aku lihat kalian dekat." Tanyanya pelan dan tentu saja Aliando yang juga memahami bahasa tanah air bisa mendengar dengan jelas pembicaraan ayah dan anak itu.
"Dia pilot kita di Columbia dan Papa memintanya untuk menerbangkan pesawat kita di sini." Jelas sang ayah pada putrinya.
"Ekhemmm...."
Mandala dan Patrice akhirnya baru sadar bahwa mereka baru saja kedatangan tamu dan belum mengajaknya ke dalam.
"Ma-maaf, baiklah mari kita ke dalam." Ajaknya dan meminta pembantu mereka untuk membawakan koper milik Aliando.
"Terima kasih." Ucap Aliando fasih pada mbok Rima yang sedang berjalan di belakangnya.
Patrice yang masih bersama Papanya, tiba-tiba menoleh ke Aliando yang baru saja melangkahkan kakinya mengikuti mereka dari belakang.
"Heeii, ternyata anda bisa berbahasa kami?" Tanyanya heran dan tidak percaya bahwa pria itu menggunakan bahasa tanah air dengan fasih.
Aliando dan Mandala saling pandang dan mengangkat bahunya. Keduanya pun saling tertawa.
"Aliando akan menerbangkan pesawat kita di sini, nak." Jelas pria itu pada putrinya.
"What, maksud Papa...?" Menggantung kalimatnya.
"Aliando adalah pilot yang selama ini menerbangkan pesawat kita di negaranya sendiri dan mulai sekarang dia akan berada di sini setiap saat." Sambung Papanya.
"Kenapa Papa tidak pernah memberitahuku soal ini? Sejak kapan Papa merencanakan ini?" Selidiknya lagi.
Mandala semenjak Patrice kembali dari Paris, kondisinya semakin membaik. Apa lagi gadis itu semakin fokus dengan perusahaan dan bisnisnya. Walau terkadang ia juga sedih dan merasa bersalah pada sang putri karena telah memaksakan egonya agar menuruti semua keinginan dan apa yang sedang ia jadikan misi saat ini.
Diam-diam Mandala menghubungi Aliando di Columbia dan meminta pria itu untuk bekerja dengannya di Indonesia. Pada awalnya pemuda tampan dengan wajah khas latin tersebut, keberatan. Kenapa tidak? Tentu saja penghasilan yang ia terima tidak sebesar yang ia peroleh dari negaranya. Akan tetapi mengingat pria itu adalah sahabat Ayahnya, maka ia pun tidak bisa menolak dan satu lagi yang menjadi alasan Mandala sebenarnya adalah ingin mendekatkan pemuda itu dengan putrinya.
Waktu pun berlalu, ketiganya sedang berkumpul di meja makan saat ini. Beberapa menu untuk hidangan makan malam sesuai permintaan Patrice pada koki di dapur, saat ini sudah tertata dengan rapi dan tentunya sangat menggugah selera.
"Makanan apa saja yang kau sukai dari negara kami, Tuan Aliando?" Tanya Patrice berusaha ramah dan berharap pria itu menyukai hidangan yang pasti asing baginya.
"Apa saja, aku sangat menyukai masakan apapun dari negara ini. Mulai dari yang pedas, manis hingga yang berkuah."
"Really? Kalau begitu artinya kau juga menyukai sambal terasi yang dicampur dengan udang dan ikan yang dikeringkan terlebih dahulu seperti ini?" Tanya Patrice sambil menyodorkan ke depan Aliando.
Aliando tampak antusias dan bersemangat. Tentu saja ia senang, karena ternyata masakan satu itu adalah kesukaannya.
"Aku tidak percaya bahwa kalian juga akan menghidangkan saus terenak dan terpedas sejagad malam ini. Waau aku sangat senang dan thanks, Nona Patrice. Aku sangat menyukainya, kalian tahu kalau aku sudah sangat lama menginginkan menu ini."
Mandala dan Patrice sangatlah heran. Dari mana Aliando mengenal masakan yang satu ini. Bukankah ini kali pertama dirinya datang dan berkunjung ke Indonesia, kenapa sambal itu tidak asing baginya?
"Memangnya kau sudah tahu seperti apa rasanya?" Tanya Mandala heran dan begitu pun dengan Patrice yang juga akan menanyakan hal yang sama padanya.
"Aku salah satu penyuka kuliner dan hobiku memang makan, Tuan, (jelas Aliando terkekeh dan sedikit malu-malu). "Beberapa kali aku sering menonton di acara kuliner Nusantara milik Chanel RI di negaraku dan sedikit-sedikit aku juga belajar bahasa kalian. Dan siapa sangka pada akhirnya aku dipanggil ke sini, bukan begitu, Tuan?" Sambil mengedipkan matanya pada Mandala.
"Ya, tentu. Aku senang mendengarnya."
"Baiklah. Jadi kalau begitu berarti kami tidak usah repot-repot menghidangkan masakan untukmu." Ujar Patrice enteng sambil menyendokkan nasi pada kedua pria itu bergantian. Ialu menuangkan air putih ke gelas masing-masing.
"Tergantung." Jawabnya enteng.
"Maksudnya?"
"Kalau masakannya enak tentu saja aku suka, tapi kalau tidak siapapun pasti tidak akan memakannya. Sama halnya seperti di negaraku, jika dua restoran menghidangkan makanan yang sama belum tentu memiliki rasa yang sama. Dan pelanggan pasti tidak akan kembali lagi ke restoran tersebut dan bisa-bisa para pelanggan akan berbondong-bondong untuk berebut makanan ke restoran satunya lagi, karena apa? Karena di sana lebih enak dan sesuai dengan lidah para pemburu kuliner seperti saya."
"Waah, ternyata kau seorang hunting kuliner." Ujar Patrice lagi.
"Tidak. Aku bukan penjelajah dunia dan memburu semua makanan enak, aku hanya menyukai masakan Indonesia yang kaya dengan rempah dan saripati dari isi kelapa, apa itu namanya cairan kental dan berwarna putih yang selalu dihidangkan dengan gula bahkan Chili?"
"Santan kah maksudmu?" Tebak Patrice.
"Ya itu, maksudku itu. Apa kau bisa membuatnya , Nona?"
Patrice tersenyum kecil dan melihat ke Ayahnya.
"Patrice selalu sibuk dan tidak mengenal urusan masak." Jawab Mandala seadanya.
"Apa Papa meremehkan keahlianku?" Tanya Patrice dengan wajah cemberut.
Belum sempat Mandala meneruskan ucapannya, tiba-tiba mbok Rima yang sudah bertahun-tahun dengan keluarga mereka pun menyambung dari belakang, "semua yang ada di atas meja adalah masakan non Patrice, Tuan." Jelasnya dari belakang.
"Apa, kau selalu penuh kejutan, Nak. Memangnya sejak kapan kau memasak?" Tanya Mandala tak percaya, akan tetapi ia tampak bahagia dan antusias mendengar putrinya bisa memasak. Seingatnya Patrice dari kecil sangat dimanja dan tidak boleh menyentuh dapur, tugasnya sebagai anak hanya belajar, belajar dan belajar. Mandala mengakui dirinya memang betul-betul egois dan mengekang putrinya itu.
"Jangan lupa kalau aku hampir tiga tahun di Paris dan hidup sendirian, Pa. Mana mungkin aku akan selalu menyantap masakan mereka, aku juga mencari-cari semua rempah dan bahan yang sama yang ada di sana untuk kujadikan sebuah masakan yang bisa kunikmati seperti di rumahku sendiri, Pa." Jelasnya tak mau kalah.
"Papa bangga padamu." Ujarnya sambil menyantap nasi dan Sop yang diberi perkedel kentang buatan Patrice.
"So nice. Aku menyukainya."
Tiba-tiba Aliando ikut memuji masakan wanita itu.
Patrice hanya tersenyum dan melanjutkan ritual mereka di meja makan tersebut.