Usai makan malam bersama, Mandala mengajak Aliando ke ruang kerjanya untuk membahas sedikit urusan bisnis dan misi pria itu pada pemuda asing tersebut.
"Duduklah, Nak. Kita mulai dengan obrolan santai saja. Aku tahu kau juga pasti lelah setelah penerbangan menuju tempatku ini." Ajaknya sambil meminta Aliando untuk duduk berhadapan dengannya.
"Terima kasih, Tuan. Ini semua suatu kehormatan bagiku. Aku juga tidak menyangka bisa berada dan bertemu dengan anda langsung di kediaman Anda sendiri, Tuan. Selama ini kita hanya berhubungan melalui via telepon dan chat."
Mandala lagi-lagi mengembangkan senyumnya, "kau tahu kenapa aku memintamu untuk datang dan bekerja denganku?"
"Tentu saja tidak, Tuan. Maksudku bukankah ada beberapa orang yang berada di bawah naungan maskapaimu di sana selain aku? Aku juga sudah menyiapkan pertanyaan ini sebelum bertemu dengan anda langsung, Tuan."
"Karena aku mempercayaimu." Jawabnya singkat.
"Aku, kau percaya padaku, maksudnya?"
"Ya, aku ingin kau mencari tahu siapa dalang di balik ini semua. Kau pasti tahu yang kumaksud bukan?"
Aliando mengangguk, "aku sudah mendengarnya, Tuan."
"Jadi, dia juga sudah tahu, Pa?" Tanya Patrice tiba-tiba di ambang pintu yang memang sengaja tidak ditutup itu.
Dan jangan bilang kalau putri anda ini sedang melakukan penyamaran menjadi seorang pramugari di maskapai anda, Tuan." Tebak Aliando yang tidak habis pikir dan sekaligus takjub dengan keberanian serta kepiawaiannya dalam berakting ketika berada dalam pesawat bersamanya beberapa waktu lalu.
Ayah dan anak itu pun sama-sama tersenyum dan saling mengangkat bahu mereka.
"Aku juga tidak menyangka kalau Papa memiliki seorang pilot di luar sana..."
"Dan aku juga tidak pernah mendengar tentang keberadaan putrimu ini, Tuan." Potong Aliando yang tidak mau kalah dalam pertanyaan yang sedang mereka ajukan pada Mandala.
Lagi-lagi pria tambun yang sudah tak muda dan selama ini hidup menduda itu terkekeh seraya memandang wajah putrinya yang sudah bukan anak kecil, justru yang ia lihat saat ini bahwa Patrice adalah seorang wanita dewasa dan sangat mandiri bahkan ia akui bahwa Putrinya itu bukanlah wanita lemah seperti kebanyakan orang bahkan isterinya sendiri. Gadis itu berbeda, ia tangguh. Di dalam hati ia bersyukur pada yang maha kuasa dan berterima kasih pada mendiang istrinya yang telah memberikan seorang putri untuknya. Tampak mata pria itu berkaca, secepat kilat ia berpaling dan berpura-pura sibuk pada berkas yang ada di hadapannya.
"Maaf, aku memang tidak pernah mempublikasikan keberadaan putriku, jika itu kulakukan besar kemungkinannya bukan hanya perusahaanku saja yang dilikuidasi, bisa-bisa putriku juga akan kena imbasnya. Maka dari itu aku mohon padamu, anak muda untuk tidak memberi tahu siapapun tentangnya." Jelas Mandala pada Aliando yang masih tidak yakin dengan keberadaan Patrice yang juga sama-sama berada dengannya di dalam rumah pria pensiunan TNI tersebut.
"Tentu ini harus dengan bayaran yang setimpal, Tuan Mandala." Bathinnya seraya menampilkan senyum manis yang menyimpan begitu besar misteri di baliknya.
Patrice yang melihat gelagat pria bule itu hanya berdecak dan menghela napas ringan, ia tahu apa yang ada dalam pikiran pria tampan itu, "jangan harap kau bisa menggodaku dengan mudah, Tuan Aliando. Karena aku tak sedikitpun tertarik pada pria asing sepertimu." Bathinnya tidak mau kalah.
Seolah kedua anak muda itu sedang berdebat bathin, sedangkan Mandala tengah sibuk mengeluarkan satu persatu berkas penting yang hanya Mandala dan Patrice mengetahui apa saja langkah yang akan dibuat oleh pria itu ke depannya.
"Aku akan melakukan yang terbaik sebisaku untukmu, Tuan. Percaya padaku." Jawab Aliando pada akhirnya setelah selesai berdebat bathin dengan Patrice.
Malam pun semakin larut, perbincangan, wacana demi wacana untuk planning ke depannya tidak ada habisnya dan usai hingga sampai pagi pun. Mandala meminta Patrice mengantar Aliando ke kamarnya, "aku rasa kau pasti sudah lelah dan kita bisa lanjutkan pembahasan ini besok. Patrice ( sambil menoleh pada putrinya) pergilah tidur, kalian juga butuh istirahat." Titahnya pada kedua pemuda itu.
"Papa juga butuh istirahat. Ini sudah larut, Papa juga harus tidur, kalau Papa sakit bagaimana kami akan tahu instruksinya." Bujuk Patrice tak mau kalah pada sang ayah.
"Baiklah, ayo! Kita semua harus tidur dan beristirahat. Terutama kalian, pergilah tidur!" Ketiganya pun beranjak dan menuju ke kamar masing-masing.
Di kamarnya, Mandala belum tidur. Pria itu masih berdiri di tepi balkon kamarnya yang berada di lantai dua, selama tiga tahun semenjak dirinya mengusir sang putri, pria itu memang sering menghabiskan waktunya di sini. Betapa ia sangat menentang bahkan merendahkan profesi dan bakat yang dimiliki oleh sang gadis, putri satu-satunya itu.
Air matanya kembali menetes setiap mengingat bagaimana teganya dirinya saat itu, ketika mengusir sang anak dari rumah. Namun tak menyurutkan sedikitpun langkah sang putri untuk benar-benar pergi dari rumah. Mandala juga tidak menyangka jika Patrice akan senekad itu, namun untuk mencegah sang anak dirinya merasa gengsi karena telah mengusirnya. Watak keras kepala ayah dan anak itu hampir sama, meskipun pada awalnya niatnya hanya menggertak, namun ditanggapi dengan serius oleh gadis itu. Dan Patrice benar-benar pergi hingga akhirnya wanita itu kembali setelah semuanya hampir hancur.
Mandala menghapus air matanya dengan lengan baju piyama yang ia kenakan. Ia kembali tersenyum, rasa syukur ia panjatkan tanpa henti pada yang maha kuasa, dengan menengadahkan kepalanya, "dimana pun Engkau berada, rasa syukur ini tak pernah berhenti kuucapkan padamu, Tuhan. " Lalu kembali menangis terisak, ada rasa sesal yang kembali melanda, teringat ketika diri mengusir dan menentang segala apa yang pernah menjadi mimpi sang putri. Bahkan hingga detik ini, Mandala pun semakin merasa bersalah, meski sang anak sudah mengatakan bahkan sudah bulat dengan keputusannnya untuk melanjutkan bisnis dan misi yang ada saat ini, di mana sebuah tragedi sedang melanda maskapainya, namun pria paruh baya itu tetap merasa berdosa karena sudah membuat anak satu-satunya harus mengorbankan mimpinya demi orang tua.
"Orang tua macam apa aku ini?" Rutuknya pada diri sendiri sambil terisak.
Sementara itu, Patrice yang tidak bisa tidur memilih keluar dari kamar. Gadis itu memilih ke dapur untuk mencari makanan. Entah kenapa belakangan ini ia sangat bernafsu sekali untuk makan di malam hari, padahal itu juga tidak bagus karena merupakan salah satu pola tidak sehat dan bisa memicu diabetes. Lalu mengurungkan niatnya menuju kulkas, setelah akhirnya memilih mengambil segelas air putih dan meneguknya hingga tandas.
Setelah dari dapur, ia berniat melihat sang ayah apakah sudah tidur atau belum? Ketika membuka pintu dan melihat tempat tidur, pria itu tidak ada di sana. Langkahnya segera menuju balkon yang ia yakini pria itu pasti di sana.