Patrice tampak meremas kain rok yang membalut pinggulnya hingga atas lutut itu. Ia cukup kaget dan tidak menyangka jika si pria masih mencari dan ingin bicara dengannya.
"Apa yang dia inginkan? Aku tidak boleh gegabah dan tidak ada siapapun yang boleh tahu tentang identitasku selama di sini." Bathinnya.
"Maksud anda pramugari baru di sana, Tuan?" Tanya salah satu rekan Patrice pada Aliando yang tak berhenti menunggu dirinya untuk segera membalas tatapannya.
"Aliando mengangguk dan rekan Patrice pun mengerti.
"Dia mencarimu, Patricia." Ujar seorang rekan padanya.
Patricia sengaja menampilkan senyum ramahnya yang semakin memicu jiwa ketertarikan di mata Aliando. Tentu saja pria itu semakin bersemangat.
"Andaikan boleh, aku akan ke sana memelukmu, Nona." Gumamnya.
"Anda mencariku, Tuan?" Tanya Patrice ramah.
"Aku menunggumu dari tadi." Jawabnya singkat.
Menungguku, untuk apa menungguku?" Tanya Patrice heran pada pria di hadapannya.
"Kau belum memberitahu namamu dan satu lagi aku ingin kau mengantarku ke suatu tempat yakni yang menjadi tujuan utamaku untuk datang ke negaramu ini, Nona."
Dengan menaikkan alisnya, Patrice pun kembali menatap heran dan bertanya, "jadi kau ke sini ingin menjumpai seseorang, apa kau tahu alamatnya?" Tanyanya kembali.
"Entahlah. Walau beliau sudah memberiku alamatnya tapi tetap saja aku tidak mengerti bagaimana nama-nama blok yang ada di negara ini. Kau lihat! Di sini banyak sekali nama jalan yang harus aku tempuh menuju kediamannya." Jelas Aliando sambil menggeser layar dari benda pipih yang ia pegang.
Sambil terus melangkah turun dan mendorong koper masing-masing, Patrice juga tampak serius memperhatikan alamat yang tertera di sana, betapa terkejutnya ketika melihat alamat yang dituju oleh Aliando, "jadi anda ingin bertemu dengan nama yang tercantum di sana?" Tanyanya tidak percaya.
"Yap."
"Baiklah, aku akan mengantarmu."
"Benarkah, are you sure?"
Patricia hanya mengangguk dan melanjutkan langkahnya dan Aliando pun ikut mengejar dari belakang.
Patrice yang seharusnya hari ini belum berniat kembali ke rumah, karena beberapa misi akhirnya mengurungkan niatnya dan memilih mengantar pria asing itu ke rumahnya sendiri.
"Aku sangat berhutang padamu, Nona." Ujarnya.
"Anggap saja ini kebetulan." Jawabnya singkat.
"Bukankah ini sama saja dengan membuang waktumu untukku."
"Tidak, Tuan. Tidak sama sekali kebetulan kita ke arah yang sama, yah hitung-hitung anggap saja aku sedang membayar kelalaianku tadi siang."
"Tidak, itu bukan salahmu tapi murni kesalahanku sendiri karena tidak fokus. Harusnya aku juga minta maaf padamu, Nona."
"Baiklah, kalau begitu maumu. Silakan, Tuan!" Pinta Patrice pada Aliando agar duduk di kursi sebelah supir.
"Tidak. Kita berdua sama-sama di belakang." Jawabnya enteng tanpa mempedulikan gadis cantik itu yang masih melotot padanya.
Di dalam taksi tak sepatah pun Patrice bersuara pada pria di sebelahnya. Entah apa dipikiran Aliando saat ini, ia sendiri juga tidak habis pikir ada apa dengannya. Mengapa setelah sekian lama menutup diri hingga suatu hari ia pun juga rela untuk jauh-jauh ke Indonesia menyetujui permintaan seorang pemilik maskapai yang menawarkan dirinya sebagai pilot dan tentu saja gaji yang ia peroleh tidak sebanding, maksudnya jauh lebih kecil dibandingkan yang ia peroleh dari maskapai yang ada di negaranya.
Meskipun begitu, ia sama sekali tidak menggubris komentar semua pihak, baik dilingkungan pekerjaan maupun dari kedua orangtuanya. Aliando memutuskan untuk bergabung dengan maskapai Turbo flight demi melupakan lara yang terus mengikutinya hingga saat ini. Seakan ingin menghindar dari semua kenyataan yang sebenarnya tidak bisa kita pungkiri bahwa kenyataan lebih banyak menyakitkan daripada yang menyenangkan.
"Ekhm... Apa aku boleh tahu siapa namamu, Nona?" Tanya Aliando memecah kebisuan di antara mereka.
"Patricia. Atau kau boleh memanggilku Patrice saja." Jawabnya singkat.
"Kau juga boleh memanggilku Aliando. Dan kurasa aku tidak perlu lagi mendengarmu memanggilku dengan sebutan Tuan."
Patrice hanya tersenyum simpul. Ia pun tidak menyangka akan bertemu dengan seorang penumpang asing yang menurut firasatnya seperti ingin mendekatinya.
"Apa yang membuatmu datang ke sini, Tuan, maksudku kau sedang ada perkejaan di negaraku?" Tanya Patrice memulai keingin tahuannya.
Aliando pun mengangguk, "begitulah." Jawabnya.
"Maaf, apa aku boleh tahu ada urusan apa anda ingin bertemu dengan bapak Mandala? Kalian saling kenal ya?" Tanyanya lagi seolah sedang memulai satu persatu rasa ingin tahunya.
"Tentu."
"Ohya? Tentang apa itu, mm... Maksudku, kalian berbisnis atau yang lainnya?"
Aliando menatap wajah gadis itu sehingga membuat Patrice jadi salah tingkah. Ia berpikir jika pria itu akan memarahinya karena terlalu bertanya privacy. Ia pun kembali mengembangkan senyumnya dan menjawab pertanyaan Patrice seadanya.
"Kau betul, kami berdua sedang berbisnis dan aku diundang untuk datang ke sini. Kau tahu bahwa ini adalah pengalaman pertamaku berada di Indonesia dan akan menghabiskan waktuku selama beberapa hari di sini.
"Benarkah? Pasti sangat menarik kalau begitu." Ujar Patrice tersenyum.
"Lalu bagaimana denganmu? Apa kau sudah lama berada di maskapai Turbo?"
"Belum... Maksudku, tidak. Begini, aku baru saja bergabung dan ikut perekrutan calon pramugari tersebut beberapa waktu lalu dan aku bersyukur ternyata lolos." Jawabnya antusias.
Walau sebenarnya ada begitu besar hal yang tersembunyi di balik binar netranya, namun Patrice berusaha menyembunyikan sebisa mungkin. Ia pun sengaja tidak memberitahu Aliando bahwa sebenarnya dirinya adalah putri dari Mandala dan sengaja membiarkan pria itu untuk mengetahui sendiri bahwa dirinya adalah putri dari orang yang akan ia temui.
"Ngomong-ngomong, kita searah, apakah tempat tinggalmu masih jauh dari tempat yang akan kusinggahi nantinya?" Tanya Aliando kembali.
"Tidak juga. Nanti kau juga akan tahu, Tuan Aliando." Jawabnya tenang.
Patrice berusaha menahan senyum, bisa dibayangkan seperti apa ekspresi pria itu setibanya di rumah mereka setelah gadis itu pun ikut turun dengannya.
Sekitar setengah jam kemudian, mobil pun berbelok ke dalam sebuah gerbang yang sepertinya sengaja dibuka karena ada yang akan datang ke rumah mewah bernuansa klasik modern itu. Keduanya pun turun dan anehnya lagi, sigadis langsung mengeluarkan uang dari tasnya, tidak lama kemudian sang security tampak berlari dan menunduk hormat setibanya di hadapan Patrice dan menyapa Aliando. Anehnya lagi, pria itu pun segera membawa koper Patrice ke dalam rumah. Begitupun wanita cantik itu, dengan enteng dan tanpa canggung, ia pun melangkah anggun ke dalam rumah tersebut.
Patrice lupa dan ia berhenti, lalu membalikkan tubuhnya menatap tak acuh pada Aliando yang hanya terdiam.
"Bukankah kau ingin bertemu dengan sang pemilik rumah? Tanya Patrice menahan senyumnya.
"Tentu. Apa kau keluarga Tuan Mandala? Atau jangan-jangan kau...?"
"Selamat sore, Aliando. Akhirnya kau datang juga." Sapa Mandala tiba-tiba sudah berdiri di pintu utama rumah besar tersebut.