Terkadang cinta bagaikan angin yang mampu menembus ruang dan waktu. Benarkah begitu? Cinta tak punya batas dan akan berlabuh pada siapa pun yang menginginkannya. Siapa yang akan menduga suatu hari ia akan hadir dan mengisi sebuah kekosongan sipemilik hati, bahkan cinta juga tidak mengenal status, bangsa, etnis, kepercayaan, maupun usia. Cinta juga akan hadir pada mereka yang tak pernah mengenalnya, pada mereka yang pernah kecewa oleh masa lalu dan menyisakan trauma yang mendalam. Hingga suatu hari timbul pertanyaan, "akankah ada cinta untukku yang tak layak dan selalu berbuat salah ini?"
Pertanyaan macam apa itu? Atau adakah yang pernah bertanya dengan pertanyaan yang sama pada dirinya sendiri seperti di atas?" Entahlah, hanya dirinya dan Tuhan sang penentu takdir yang tahu segalanya.
Patrice pergi, meninggalkan segala kemewahan dan cinta yang pernah hadir dalam hidupnya lalu cinta itu juga pada akhirnya pergi dan meninggalkan rasa sakit yang tak ingin ia ingat lagi, bahkan dirinya bersumpah tidak akan pernah melihat William lagi di kehidupan berikutnya. Keputusan untuk pergi sudah bulat, ditambah lagi setelah Papanya Mandala Aditya Recsa mengusir dirinya dari rumah hanya karena perbedaan pendapat dan misi.
"Semua orang punya mimpi untuk mendapatkan tujuannya, Pa. Papa juga begitu kan? Dari seorang Militer, sekarang sudah memiliki Maskapai sendiri, apakah itu namanya bukan mimpi, lalu ketika aku juga punya mimpi jadi seorang perancang busana apakah aku salah Ph..."
Plak!
Sebuah tamparan mendarat sempurna di pipi mulusnya. Perdebatan sengit antara Ayah dan Putri satu-satunya, menyisakan ketegangan di ruang kerja milik Mandala sore itu.
"Dasar anak tidak tahu diri! Dari mana kau belajar untuk mengguruiku? Apa kau lupa dari mana dasarmu dan dari mana semua fasilitas yang kau dapat selama ini, hah? Kau pikir cukup dengan penghasilanmu sebagai tukang jahit, aku tahu sekarang istilah lain dari perancang itu ya tukang jahit, bukan? Hentikan kekonyolanmu, Patris, jangan membuatku malu!"
"Maaf, Pa. Kali ini Patrice tidak bisa. Impianku cuma satu, ingin merancang berbagai mode untuk fashion dunia. Bukankah Papa juga mengizinkanku ikut pelatihan dan kontes busana yang diselenggarakan waktu itu, lalu kenapa Papa jadi berubah pikiran begini?" Tanyanya sambil terisak.
Gadis itu tidak menyangka Papanya akan berubah pikiran secepat itu. Ia tahu Papanya memang tidak pernah setuju dengan pilihannya.
"Baiklah, berdebat denganmu sama saja dengan membuang energiku, kalau itu keputusanmu, artinya kau siap untuk hengkang dan tinggalkan rumah ini. Apa gunanya punya anak pembangkang dan tidak bisa di atur, lebih baik tidak punya anak sama sekali. Pergilah Patris, pergi, Papa sudah seperti kau injak-injak dan aku tidak mau melihatmu lagi, kau sudah dewasa dan merasa hebat, bukan? Pergilah, Pergi!!!"
***
"Papa...!"
Patrice terduduk dari tidurnya. Keringat dingin dan napas tersengal-sengal, lalu meraih botol yang berisi air mineral pada nakas di sebelahnya. Mencoba menetralisir dan mengatur napasnya serileks mungkin. Dirinya tahu, bahwa ia baru saja mengalami mimpi buruk.
Teriakan Papanya begitu jelas dan nyata, masih terngiang di telinganya saat ini. Setelah itu, Patrice juga melihat Mandala sedang diseret paksa oleh tiga pria tambun bertopeng, tangannya menggapai-gapai, berharap agar dirinya segera ditolong oleh putrinya. Gadis itu tidak bisa melihat dengan jelas siapakah gerangan ketiga pria tersebut.
"Papa, apa kabar pa?" Gumamnya, seakan ia sedang bertanya di hadapan Pria itu.
Airmata yang sudah lama mengering dan ia menduga tidak akan pernah ada air mata setelah kepergiannya dua tahun lalu dari rumahnya sendiri, meningalkan Jakarta demi sebuah ego dan ambisinya.
Ponselnya berdering, ia segera meraih benda pipih biasa terletak di nakas tersebut. Sudah dua tahun dirinya meninggalkan Jakarta, kali ini ia heran, ada apa gerangan? Nomor dengan menggunakan kode dari Negaranya sendiri sedang menunggu dirinya untuk mengangkat panggilan tersebut. Selama dua tahun itu juga, Patrice tidak pernah mengganti nomor kontak yang ia gunakan hingga detik ini.
"Halo, selamat pagi!" Sapa Patrice hati-hati, setelah akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon tersebut.
"Selamat pagi, Mbak Patrice. Maaf, sudah menganggu waktu Anda." Ucap suara Pria dari seberang.
"Tidak masalah. Maaf, ada apa ya?" Kembali gadis itu bertanya sesopan mungkin.
"Maaf, Mbak Patrice. Kami dari pihak OJK, dengan berat hati harus menyampaikan masalah besar ini."
Seketika, Patrice menangkap bahwa OJK merupakan lembaga independent yang bebas dari campur tangan pihak manapun, akan tetapi berwenang penuh untuk mengawasi dan melakukan penyidikan pada tiap lembaga atau jasa keuangan lainnya bahkan pada Industri, jasa angkutan dan tentu saja termasuk mengawasi jalannya sebuah Maskapai yang ada di bawah naungan lembaga itu.
Patrice mencoba menghirup napas dalam dan mengeluarkan perlahan. Sebuah masalah besar, tentang Maskapai kah, seperti apakah itu? Seakan menerka-nerka,Ia kembali membuka suara menjawab panggilan dari seberang.
"Apa yang bisa saya bantu, Pak?" Tanyanya dengan suara setenang mungkin.
***
Dua tahun sudah berlalu. Teriakan Mandala, begitu menggema. Seketika, kawanan burung Gereja yang selalu setia bertengger dan terkadang hanya sekedar singgah, menyumbangkan suara kicauannya di atas pohon Mangga, bersebelahan dengan ruang kerja Perwira tinggi itu, berhamburan dan meninggalkan bulu sayapnya, terlepas karena kibasan kepak terlalu kuat oleh kepanikan yang mereka alami.
Begitupun dengan penghuni yang bekerja di rumah itu. Dua orang wanita sekitar empat puluh tahunan, yang biasa mengurus urusan dapur dan rumah tangga mereka, seorang supir pribadi, security dan tukang kebun pemilik rumah mewah tersebut hening, saling pandang, di mana semua pembantu sedang berkumpul di bawah pohon Mangga sore itu, berangsur bubar ke habitat dan pekerjaan masing-masing tanpa suara dan sangat tertib.
Gadis itu pun segera melangkahkan kakinya keluar dari ruangan Mandala. Walau berat, demi ambisi dan mimpinya, ia pun memutuskan pergi. Seperti ambisi dan misi Mandala sendiri, Pria paruh baya itu rela melepaskan putrinya daripada melihat hari-hari Patrice akan bergelut dengan dunia Fashion Designernya.
Tidak sedikitpun membuatnya mundur. Patrice keluar dari rumahnya menjelang Maghrib setelah beberapa saat lalu menghubungi koneksinya di Bandara untuk penerbangan Jakarta - Paris malam ini.
Enam belas jam, lima belas menit. Pesawat yang membawa gadis nekad dan keras kepala itu, mendarat sempurna di Bandar Udara Paris-Charles de Gaulle, juga dikenal sebagai Bandar Udara Roissy, salah satu pusat penerbangan utama dunia, juga bandar udara internasional utama Prancis. Tidak sedikitpun membuat ia canggung setibanya di sana, karena beberapa kali dirinya pernah berlibur dan menginap di negeri Asing ini sebelumnya.
Dengan modal tabungan lumayan besar yang ia peroleh dari Papanya dan hasil keuntungan selama menjadi Designer salah satu boutique terkenal di Jakarta, penguasaan bahasa Asing yang sudah ia pahami semenjak duduk di bangku sekolah dasar, Patrice memulai lembaran baru perjalanan hidupnya, walau dirinya tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.