Meskipun Allan meminta dirinya untuk tidak khawatir, tapi tetap saja hati Ivy tidak tenang. Bahkan dia tidak mbisa bekerja dengan baik. Wanita itu menghela nafas berat. Ivy tidak tahu harus bagaimana menghentikan hatinya yang berkecamuk.
"Apa aku harus menelponnya?" Pikir Ivy.
Akhirnya wanita itu mengambil smartphone yang tergeletak di atas meja. Dia menyalakan ponsel milik Ariel itu. Kemudian Ivy membuka aplikasi kontak untuk mencari nama Allan. Setelah menemukannya, dia segera menekan tombol panggil. Ivy menempelkan benda pipih itu ke telingannya. Dia bisa mendengar suara nada tunggu yang panjang. Hingga akhirnya terdengar suara operator yang mengatakan jika nomor yang ditujunya tidak mengangkat panggilannya. Meminta Ivy untuk menghubunginya lagi nanti.
Tidak menyerah, Ivy menghubungi Allan kembali. Namun hasilnya tetap sama. Hal ini membuat Ivy semakin resah. Segera wanita itu mengambil gagang telpon dan menekan nomor yang langsung tersambung pada Calvin.
"Apakah anda membutuhkan sesuatu, Presiden Direktur Lin?" Terdengar suara Calvin saat panggilan itu diangkat.
"Calvin. Tolong sambungkan aku dengan kantor Allan." Pinta Ivy.
"Baik, Presiden Direktur Lin. Tolong tunggu sebentar."
Ivy meletakkan gagang telpon itu kembali pada tempatnya. Dia menunggu Calvin menyambungkan panggilan dengan kantor Allan. Kakinya terus bergerak tidak sabaran. Dan tangannya juga bergerak gelisah. Tiba-tiba terdengar deringan telpon yang mengejutkan Ivy. Segera wanita itu meraih gagang telpon kembali.
"Saya sudah menghubungi kantor Tuan Feng. Anda bisa berbicara langsung dengan sekretarisnya Tuan Feng bernama Jason Yuan," jelas Calvin.
"Terima kasih, Calvin."
Setelah suara Calvin menghilang, kemudian Ivy bisa mendengar suara dari sekretarisnya Allan.
"Selamat pagi. Saya Jason Yuan, sekretaris dari Direktur Feng. Ada yang bisa saya bantu, Presiden Direktur Lin?" Terdengar suara Jason mengangkat panggilan itu.
"Sekretaris Yuan, aku menelponmu karena aku ingin tahu apakah Allan sudah memberitahumu jika dia sakit sehingga dia tidak berangkat bekerja?" tanya Ivy penasaran.
"Maafkan saya, Presiden Direktur Lin. Tapi Direktur Feng belum menghubungi saya. Saya hanya tahu jika beliau sarapan bersama dengan anda."
"Aku dan Allan memang sarapan bersama tadi. Tapi wajahnya pucat dan tubuhnya panas sekali. Dia mengatakan jika dia akan pulang ke rumah. Dia juga bilang akan menghubungimu jika dia tidak bisa berangkat bekerja." Ivy menjelaskan apa yang terjadi.
"Terima kasih sudah memberitahu saya, Presiden Direktur Lin. Saya akan pergi ke apartemennya untuk mengecek apakah dia ada di sana atau tidak."
"Bisakah kamu menghubungiku jika kamu sudah sampai di sana, Sekretaris Yuan?" pinta Ivy.
"Baiklah, Presiden Direktur Lin. Saya akan menghubungi anda setelah saya sampai di apartemen Direktur Feng."
"Terima kasih, Sekretaris Yuan." Ivy meletakan gagang telpon itu dan menghela nafas berat.
"Kenapa Allan belum menghubungi sekretarisnya? Dia sudah pergi setengah jam yang lalu. Seharusnya dia sudah menghubungi sekretarisnya. Apakah terjadi sesuatu padanya?"
Ivy mengambil ponselnya dan segera berjalan keluar. Saat membuka pintu, Ivy bisa melihat Calvin terkejut melihat dirinya. Pria yang saat ini duduk di depan komputer itu segera berdiri.
"Apakah anda akan pergi, Presiden Direktur Lin?" tanya Calvin.
"Ya, aku akan pergi, Calvin. Allan pergi dengan kondisi sakit. Dan dia juga belum menghubungi sekretarisnya. Apakah kamu bisa membantuku untuk mengecek keberadaan Allan di gedung perusahaan ini, Calvin?"
Pria itu menganggukkan kepalanya. "Tentu saja bisa, Presiden Direktur Lin. Saya bisa mengecek rekaman CCTV untuk mencari keberadaan Direktur Feng."
"Tolong bantu aku menemukannya, Calvin."
Pria itu tampak terkejut. Karena biasara Ariel tidak peduli dengan Calvin. Bahkan wanita itu selalu terkesan dingin. Tapi sekarang wanita itu justru mengkhawatirkan tunangannya. Calvin menyingkirkan perasaan aneh itu. Saat ini yang terpenting adalah menemukan keberadaan Allan.
***
Setelah mengetahui Allan dibawa ke ruang kesehatan, Ivy bergegas menuju tempat itu. Rasa cemasnya membuat dadanya terasa sesak. Dia tidak menyangka jika Allan akan pingsan. Padahal wanita itu ingin sekali merawatnya. Tapi Allan menolak ide itu.
Langkah Ivy berhenti di depan ruang kesehatan yang ada di dalam perusahaan. Biasanya ruangan itu digunakan untuk karyawan yang membutuhkan pertolongan karena sakit atau terluka. Tangannya terulur untuk meraih gagang pintu ruang kesehatan.
"Ariel."
Ivy yang hendak membuka pintu itu langsung mengurungkan niatnya saat mendengar panggilan itu. Dia sangat yakin jika suara itu adalah milik Allan dan terdengar di balik pintu. Wanita itu membuka sedikit untuk mengintip keadaan di dalam. Setelah berhasil memberikan sedikit celah di pintu, Ivy bisa melihat Allan berbaring di atas ranjang. Tapi pria itu tidak sendirian. Ada seseorang yang duduk di samping ranjang tempat Allan berbaring. Meskipun wanita itu dudul membelakangi dirinya, tapi Ivy tahu benar itu adalah Ariel yang berada dalam tubuhnya.
"Ariel." Allan kembali mengigau menyebeut nama tunangannya.
Ivy menyingkir dari celah pintu itu. Dia menyandarkan punggungnya di dinding. Tangannya terulur menyentuh dadanya yang terasa sangat sakit. Kemudian wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kak Allan hanya mencintai Presiden Direktur Lin, Ivy? Sadarlah, kamu hanya menggantikan tempat Presiden Direktur Lin untuk sementara waktu." Rutuk Ivy pada dirinya sendiri.
Wanita itu menutup matanya yang memanas. Berusaha menahan air matanya untuk tidak keluar. Dia menyentuh dadanya yang terasa sangat sesak.
"BODOH!! Kamu benar-benar bodoh, Ivy. Kak Allan tidak mungkin mencintaimu."
Ivy membuka matanya. Dia tidak bisa menahan tangisnya. Sehingga air mata jatuh membasahi pipinya. Dengan menggunakan jemarinya Ivy menghapus titik air mata di sudut mata gadis itu.
"Kamu harus menghapus perasaan itu, Ivy. Jika kamu tidak melakukannya, maka pada akhirnya kamu sendiri yang akan tersakiti." Ucap Ivy pada dirinya sendiri.
Wanita itu memilih berjalan pergi meninggalkan tempat itu. Dia mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan Allan. Karena tunangan pria itu yang sebenarnya sudah menjaganya.
Sedangkan di ruang kesehatan Ariel menatap Allan yang masih tertidur. Dokter jaga sudah meletakkan plester kompres di dahi pria itu.
"Bodoh! Kenapa juga kamu memanggil namaku saat sedang sakit?" Ariel mendengus kesal.
"Itu karena dia menyukaimu, Bodoh!"
Ariel menoleh ke samping di mana Lee sudah berdiri di sampingnya. Dia mendengus kesal menatap Malaikat itu. "Ada apa datang lagi? Bukankah kamu marah padaku?"
"Aku marah karena kamu tidak menolong tunanganmu. Tapi karena kamu sudah menolongnya, jadi aku kembali lagi."
Ariel hanya menggeleng-gelengkan kepalanya menatap Malaikat itu. Tiba-tiba ponsel Ariel berdering. wanita itu mengambilnya dari saku roknya. Nama 'Kak Nick' terpampang di layar ponselnya.
"Ivy, apakah kamu baik-baik saja?" tanya Nick terdengar sangat cemas.
"Ya, aku baik-baik saja. Memang ada apa, Manajer Si?"
Terdengar helaan nafas lega dari ujung telpon. "Kamu pergi lama sekali. Aku jadi khawatir terjadi apa-apa padamu."
Ariel teringat tadi dia ke toilet dan belum juga kembali ke mejanya. Sehingga tidak heran Nick sangat cemas padanya.
"Ada sedikit masalah jadi aku akan terlambat kembali." Tatapan Ariel tertuju pada Allan yang menjadi sumber masalahnya.
"Masalah apa? Apakah kamu terluka?"
Ariel menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak, aku tidak terluka. Tapi aku tidak sengaja melihat Allan.. maksudku Direktur Feng yang sakit. Jadi aku membantunya ke ruang kesehatan."
"Aku akan segera ke sana."
Seketika Ariel melotot kaget mendenagr ucapan Nick. "Tidak perlu, Manajer Si. Lagipula sebentar lagi aku akan kembali. Kamu tidak perlu kemari."
"Kamu yakin?"
"Sangat yakin, Manajer Si. Masalah sudah teratasi dan aku segera kembali."
Nick menghela nafas berat. "Baiklah, kalau begitu aku akan menunggumu."
Setelah sambungan telpon itu terputus, Ariel memasukkan kembali benda itu ke dalam sakunya. Tiba-tiba sebuah erangan terdengar membuat Ariel menoleh. Perlahan Allan mulai membuka matanya sehingga Ariel melotot kaget.
****