Ariel tampak gelisah mondar-mandir di depan mejanya. Seringkali wanita itu melihat ke arah lift dan berharap orang yang ditunggunya muncul dari balik pintu lift itu. Pasalnya ini sudah jam pulang kerja tapi Nick belum kunjung kembali. Ariel berhenti melangkah. Dia mengambil ponsel yang ada di atas mejanya. Kemudian wanita itu menelpon Nick. Lama sekali Ariel tak kunjung mendengar suara Nick yang begitu khas. Namun Nick tidak segera menjawab panggilannya. Bahkan sampai terdengar suara operator yang memberitahu Ariel jika nomor yang ditujunya tidak kunjung menjawab.
Tentu saja hal itu membuat Ariel semakin khawatir. Dia kembali menelpon Nick. Kemudian dia kembali mondar mandir membuat Lee geram melihatnya.
"YA!! Berhentilah menyapu jalan seperti itu! Membuatku pusing melihatnya." Gerutu Lee yang duduk di kursi Ivy.
"Diamlah! Aku sedang khawatir tahu." Gerutu Ariel tanpa menatap ke arah Malaikat itu. Wanita itu mengirimkan pesan kepada Nick untuk mengangkat panggilannya. Namun Nick tak kunjung mendapatkan respon.
Lee yang sejak tadi memainkan kursi putar Ivy langsung berhenti. Kemudian Malaikat itu menatap wanita yang ada di hadapannya..
"Sejak kapan seorang Ariel Lin mencemaskan seseorang?" heran Malaikat itu.
Langkah Ariel terhenti dan menyadari tingkahnya yang tidak biasa. Untuk orang sedingin Ariel, sangatlah tidak mungkin untuk mengkhawatirkan seseorang. Bahkan wanita itu tidak mempedulikan tunangannya sendiri. Dan kali ini untuk pertama kalinya Ariel mengkhawatirkan seseorang. Wanita itu pun juga bingung dengan dirinya sendiri.
"Aku yakin kamu tidak sadar jika kamu mengkhawatirkan Nick. Mungkin alasan perubahanmu adalah karena kamu menyukai Nick." Lee memberikan teori yang masih akal.
Sebelum Ariel menanggapi ucapan Malaikat itu, deringan telpon terdengar. Ariel melihat nama Nick muncul di layar ponselnya. Segera wanita itu mengangkat panggilan itu. Setelah menggeser tombol hijau, Ariel menempelkan benda itu ke telinganya.
"Nick? Apakah kamu baik-baik saja?" tanya Ariel tidak bisa menyembunyikan nada cemasnya.
Tak terdengar suara apapun di ujung telpon. Bahkan Ariel tidak mendengar suara Nick menjawab pertanyaannya. Dia hanya mendengar suara desiran angin di ujung telpon.
"Nick? Apakah ini kamu?" tanya Ariel kembali.
"Ma-maafkan aku." Hanya kata itu yang bisa Ariel dengar.
Suara Nick berbeda dari biasanya. Suaranya terdengar bergetar seperti sedang menangis. Ariel menyadarinya dengan sangat jelas.
"Nick, apakah kamu menangis?" Ariel yakin jika suara Nick seperti sedang menangis.
"Ma-maafkan aku." Nick hanya mengucapkan hal itu. Dia tidak menjawab pertanyaan Ariel. Dan sekarang Ariel bisa mendengar suara Nick yang menangis.
"Nick, kamu di mana?" Ariel semakin khawatir mengetahui Nick sedang bersedih.
Tak terdengar jawaban dari Nick. Namun Ariel tidak menyerah untuk bertanya. "Nick, kamu di mana sekarang?"
"Aku sedang melihat wanita yang paling kusayangi, Ariel. Wanita yang begitu berarti untukku."
Ariel memicingkan matanya. "Apa maksudmu, Nick? Aku tidak mengerti."
Bukannya menjawab Nick justru menutup telponnya. Ariel menjauhkan samrtphone-nya dari telinga. Kemudian dia menatap layar ponselnya dengan perasaan kesal.
"Sialan! Kenapa dia menutup telponnya?" gerutu Ariel kesal.
Wanita itu semakin cemas karena tidak tahu di mana lokasi Nick saat ini. Dan pria itu sedang bersedih. Ada perasaan yang berat dalam hati Ariel. Seakan wanita itu ingin sekali berada di hadapan Nick sekarang dan memeluknya. Tapi Ariel harus mencari pria itu di mana?
Lalu Ariel teringat ucapan Nick saat di telpon tadi. "Melihat wanita yang paling disayanginya? Wanita yang begitu berarti untuknya? Nick tidak memiliki pacar. Setidaknya itu yang aku tahu."
Kemudian Ariel teringat saat Nick menceritakan tentang ayah dan ibunya setelah pulang dari pesta keluarga Feng. Jika benar, artinya Ariel tahu di mana Nick berada.
"Jadi kamu sudah tahu di mana Manajer Si berada?" Tanya Lee membaca pikiran Ariel.
Ariel menganggukkan kepalanya. "Ibunya. Dia pasti mengunjungi pemakaman ibunya. Tapi di mana pemakaman itu?"
Ariel melihat ke arah Lee dan tersenyum penuh arti. Mengetahui maksud gadis itu Lee langsung menggelengkan kepalanya.
"Tidak mau. Pokoknya aku tidak mau." Lee langsung menolaknya bahkan sebelum Ariel mengutarakan maksudnya.
Ariel menghampiri Malaikat itu kemudian memegang lengan Lee. "Ayolah, Lee yang imut dan tampan! Beri tahu aku dimana pemakaman ibunya Nick berada. Kamu pasti mengetahuinya."
"Aku memang mengetahuinya. Tapi aku dilarang menggunakan pengetahuan Malaikat untuk membantu manusia. Tuhan akan menghukumku." Lee tampak sangat takut.
Ariel mendengus kesal. "Dasar Malaikat pelit!"
Ariel kembali berpikir dimana dia bisa menemukan pemakaman ibunya Nick. Kemudian matanya berbinar senang saat sebuah ide melintas dalam pikirannya.
"Aku tahu siapa yang bisa memberitahu aku keberadaan pemakaman ibunya Nick. Aku tidak perlu bertanya pada Malaikat yang pelit." Ariel menjulurkan lidahnya ke arah Lee sebelum akhirnya berjalan pergi meninggalkan Malaikat itu.
***
Allan membuka matanya setelah setelah tidak sadar selama tiga jam. Dia bisa melihat langit-langit ruang tamu dalam apartemennya. Kemudian pria itu merasakan tangannya begitu berat. Allan menoleh dan melihat Ariel duduk di lantai dan menelungkupkan tubuhnya di tepi sofa. Wanita membaringkan kepalanya di lengannya dengan kedua tangan menggenggam tangan Allan.
Lalu dengan satu tangan Allan melepaskan handuk kecil yang ada di dahinya. Dia menatap handuk itu dan menyunggingkan senyuman. Menyadari jika tunangannya yang sudah merawatnya. Dengan hati-hati Allan mengubah posisi tubuhnya menjadi miring. Sehingga dia bisa mengamati wajah Ariel dengan jelas saat sedang tertidur.
"Meskipun aku senang dengan perubahan ini, tapi aku takut kamu akan berubah, Ariel. Aku ingin kamu selalu seperti ini, Ariel. Aku juga ingin kamu mencintaiku seperti yang aku rasakan, Ariel." Allan menatap wanita itu dengan penuh kasih sayang.
Terlihat mata Ariel berkerut sebelum akhirnya terbuka perlahan. Wanita itu menegakkan tubuhnya dan menguap. Kemudian Ivy yang berada dalam tubuh Ariel menyadari tatapan Allan yang tersenyum melihatnya.
"Kamu sudah bangun, Kak? Bagaimana kondisimu? Apakah sudah merasa lebih baik?" Ivy mengulurkan tangannya untuk menyentuh kening Allan.
Ivy merasa lega karena tubuh Allan tidak lagi panas seperti sebelumnya. "Syukurlah panasnya sudah turun."
Allan yang masih tersenyum itu menarik tangan Ivy sehingga membuat tubuh wanita itu melompat ke atas tubuhnya. Seketika Ivy melotot kaget. Sebelum wanita itu kabur, Allan melingkarkan kedua lengannya dan memerangkap wanita itu dalam pelukannya.
"Kak Allan, aku sangat berat. Biarkan aku turun." Ivy meronta di atas tubuh pria itu.
Allan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak, kamu sama sekali tidak berat. Aku masih bisa menanggung beratmu."
Ivy berhenti meronta. Tatapannya tertuju pada Allan. Pria itu sedikit mengangkat kepalanya dan mencium bibir Ivy sekilas.
"Aku mencintaimu, Ariel."
Tubuh Ivy menegang dan wajahnya merona merah. "Kenapa kamu tiba-tiba berkata seperti itu?"
"Aku hanya ingin kamu mengetahui perasaanku. Bagaimana dengan perasaanmu, Ariel?" tanya Allan penasaran.
"Aku…"
Ivy ingin sekali membalas perasaan itu. Tapi sayangnya dia bukan Ariel. Beruntung bagi wanita itu terdengar suara bel memenuhi apartemen itu. Sehingga menolong Ivy menghindar dari pertanyaan itu.
"Aku akan melihat siapa itu." Ivy kembali meronta.
Akhirnya Allan melepaskan wanita itu sehingga Ivy bisa turun dari atas tubuhnya. Wanita itu bergegas menuju pintu apartemen Allan. Dia membuka pintu itu dan terkejut melihat siapa yang menekan bel.
***