Chereads / Tunangan CEO Yang Tertukar / Chapter 26 - 26.Aura Hitam

Chapter 26 - 26.Aura Hitam

"Presiden Direktur Lin pergi? Dia pergi ke mana?" tanya Ariel yang terkejut mendengar Calvin memberitahunya jika Ivy pergi.

"Maafkan saya, Nona Bei. Tapi saya tidak tahu ke mana Presiden Direktur Lin pergi. Beliau hanya mengatakan jika dia ada urusan penting dan meminta saya menunda pekerjaan." Calvin memberitahu Ariel yang sebenarnya. Sang bos tidak mengatakan apapun. Meskipun Calvin sebenarnya tahu ke mana Presiden Direktur Lin pergi, tapi dia memutuskan untuk tidak memberitahu wanita yang berdiri di hadapannya. Karena itu adalah masalah pribadi Presiden Direktur Lin.

"Apakah kamu juga tidak tahu kapan dia kembali?" tanya Ariel kembali.

Calvin menggelengkan kepalanya. "Saya tidak tahu, Nona Bei. Presiden Direktur Lin tidak memberitahu saya."

Ariel mendengus kesal. "Baiklah, kalau begitu aku akan kembali lagi nanti."

Setelah itu Ariel berjalan pergi meninggalkan Calvin. Pria itu memandangi punggung Ariel yang semakin menjauh. Dia merasa aneh dengan sikap wanita itu. Pasalnya sikap Ivy Bei sangat jauh berbeda. Ivy yang pernah Calvin temui adalah wanita yang sopan dan sangat ramah. Berbeda dengan sikapnya yang sekarang terkesan arogan.

"Mungkin hanya perasaanku. Kali saja Nona Bei sedang dalam kondisi mood yang tidak baik." Calvin menggeleng-gelengkan kepalanya untuk berhenti memikirkannya. Dia memilih untuk kembali bekerja.

***

Tatapan mata Ivy tertuju pada kotak bekal di tangannya. Sebelum datang ke apartemen Allan, Ivy memutuskan membeli bahan-bahan makanan yang akan dimasak menjadi bubur. Wanita itu berpikir dengan kondisi tubuh yang tidak baik, satu-satunya makanan yang mudah dicerna adalah bubur.

Wanita itu mengulurkan tangannya untuk menekan bel pintu. Suara bel yang keras menggema di dalam apartemen Allan. Ivy menunggu sesaat namun pintu belum kunjung dibuka. Wanita itu kembali menekan bel kembali dan kali ini terdengar suara langkah kaki yang diseret dari balik pintu. Seseorang membuka kunci lalu pintu itu terbuka sehingga memperlihatkan Allan yang tampil berantakan. Berbeda dengan setelan jas yang biasa dikenakannya, kali ini pria itu mengenakan kaos hitam dan celana training panjang abu-abu yang terlihat lebih santai. Rambut hitam legamnya itu tampak acak-acakan menandakan pria itu baru bangun dari tidurnya. Dan yang membuat Ivy semakin cemas adalah wajah Allan yang terlihat begitu pucat.

"Ariel? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Allan tampak sangat terkejut melihat Ivy berdiri di depan pintu apartemennya.

"Aku merasa sangat khawatir padamu, Kak. Karena itu aku ingin membuatkan bubur untuk Kak Allan." Ivy menunjukkan kantong belanjaan yang dibawanya.

"Untukku? Benarkah kamu akan membuatkan bubur itu untukku?" tanya Allan tak percaya

"Tentu saja. Karena itu aku ingin meminjam dapurmu. Itupun jika kamu tidak keberatan, Kak."

Allan menyunggingkan senyuman. Kemudian dia mundur satu langkah ke belakang dan membuka pintunya lebar-lebar. "Aku sama sekali tidak keberatan. Masuklah, Ariel!"

Wanita itu berjalan masuk ke dalam apartemen Allan. Ariel menatap sekelilingnya. Apartemen Allan terlihat sangat bersih. Tidak banyak barang pribadi seperti foto-foto Allan bersama keluarganya. Mungkin karena Allan jarang menghabiskan banyak waktu di rumah sehingga tidak begitu banyak barang di apartemen itu.

"Di mana dapurnya, Kak?" tanya Ivy menoleh ke belakang di mana Allan baru saja menutup pintu.

"Dapurnya ada di sana. Kamu bisa menggunakan peralatan apapun." Allan menunjuk ke arah dapur yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri.

Akhirnya Ivy melangkah menuju dapur yang ditunjuk oleh Allan. Dia mengeluarkan bahan-bahan pelengkap untuk membuat bubur. Seperti daging dan sayuran. Ivy mendengar langkah kaki mendekat. Wanita itu menoleh dan melihat Allan berjalan menghampirinya.

"Apa yang Kakak lakukan di dapur?" tanya Ivy.

"Melihatmu memasak."

Ivy menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak boleh. Kakak baru sakit. Jadi sebaiknya Kak Allan duduk saja."

"Tidak mau. Aku mau melihatmu memasak." Allan bersikeras sehingga dia terlihat seperti anak kecil yang tak ingin ditinggal ibunya.

Dengan meletakkan satu tangan di pinggang dan satu tangan lagi menunjuk kursi disertai tatapan tajam, cukup membuat Allan Feng menurut. Setelah ditinggal sang pasien, Ivy mengambil celemek dengan corak stroberi. Kemudian wanita itu segera membersihkan sayuran dan daging yang hendak di masaknya.

Sedangkan Allan yang duduk di sofa, tidak bisa berhenti mengamati tunangannya berada di dapur. Bibirnya menyunggingkan senyuman melihat pemandangan tunangannya yang sedang memasak. Allan mengambil ponselnya yang ada di atas meja. Kemudian dia menyalakannya dan membuka aplikasi kamera. Pria itu mengambil gambar Ariel yang sedang memasang. Tidak hanya satu, tapi pria itu mengambil beberapa foto. Dia bahkan menyunggingkan senyuman melihat hasil fotonya.

Tiga puluh menit kemudian, Ivy selesai memasak. Dia membawa nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air putih lalu berjalan menghampiri Allan yang tengah menunggunya. Dengan mata berbinar, Allan melihat bubur yang tampak lezat itu di atas meja.

"Makanlah buburnya, Kak. Tapi hati-hati buburnya masih panas." Ivy duduk di samping Allan.

"Baiklah, aku akan memakannya. Ini adalah makanan pertama yang kamu buat untukku. Aku tidak akan menyisakannya."

Allan segera melahap bubur itu satu sendok demi satu sendok. Ivy tersenyum melihat Allan tidak terlihat begitu bersemangat memakan bubur itu. Dalam waktu sepuluh menit bubur itu sudah habis tak tersisa.

"Jadi dimana obatnya?" Tanya Ivy.

"Di kotak obat di dekat dapur sana."

Ivy berdiri lalu berjalan menuju tempat yang diinstruksikan oleh Allan. Wanita itu melihat kotak yang dimaksud. Namun kotak itu terlalu tinggi untuk bisa dicapai oleh wanita itu. Dengan berjinjit Ivy berusaha mencapai kotak itu namun sayang jaraknya terlalu jauh.

"Sudah kuduga kamu tidak sampai."

Tubuh Ivy membeku saat merasakan punggungnya menempel dengan dada Allan yang sedang berdiri di belakangnya. Pria itu mengulurkan tangannya untuk mengambil obat. Ivy menyadari satu hal saat mengalami kontak fisik itu. Dia bisa merasakan punggungnya memanas karena suhu tubuh Allan yang tinggi. Wanita itu langsung berbalik. Kemudian dia mengulurkan tangannya untuk menyentuh kening pria itu.

"Tubuhmu panas sekali Allan."

Allan tersenyum lemah. "Tidak apa-apa, Ariel. Aku akan meminum obat lalu beristirahat. Aku yakin tubuhku akan membaik."

Allan melepaskan tangan Ivy dan kembali ke tempat duduknya. Pria itu segera meminum obatnya dibantu dengan air putih yang sudah Ivy sediakan. Wanita itu menghampiri Allan dengan wajah yang khawatir. Pria itu kembali tersenyum.

"Kamu tenang saja, Ariel. Setelah beristirahat panasnya pasti akan turun." Allan berusaha menenangkan wanita itu.

Allan berdiri namun tiba-tiba kepalanya terasa pusing membuat keseimbangan pria itu oleng. Dengan cepat Ivy menahan tubuh pria itu. Namun wanita itu begitu terkejut saat wajah mereka begitu dekat. Bibir Allan menyunggingkan senyuman melihat wajah tunangannya. Tangannya terulur menyentuh pipi Ivy. Tanpa wanita itu duga Allan menarik wajahnya mendekat hingga bibir mereka bertemu.

Tubuh Ivy membeku merasakan ciuman Allan yang lembut namun panas. Pria itu membuka mulutnya melumat bibir Ivy. Tak ada perlawanan ataupun balasan dari Ivy karena wanita itu masih terlalu kaget. Ciuman itu tak berlangsung lama karena Allan berangsur tak sadarkan diri.

"KAK ALLAN!!!" seru Ivy berusaha keras menahan tubuh pria itu agar tidak terjatuh.

Perlahan Ivy membaringkan tubuh Allan ke sofa. Wanita itu berlari kecil menuju dapur untuk mengambil baskom yang diisi dengan air dingin serta handuk kecil. Ivy kembali ke ruang tamu dan segera mengompres dahi pria itu. Wanita itu mengamati wajah Allan terutama bibirnya yang terlihat pucat. Tangan Ivy menyentuh bibirnya sendiri mengingat ciuman pria itu.

"Kak Allan menciumku?" gumam Ivy.

Wanita itu menggelengkan kepalanya dengan keras. "Tidak, Bodoh! Apa yang sedang kamu pikirkan? Kak Allan bukan menciumku tapi Presiden Direktur Lin." Ucap Ivy meyakinkan dirinya sendiri.

* * * * *

Wajah Nick tampak dingin berbeda dengan ekspresi ramah yang biasa ditunjukkannya. Matanya tertuju pada foto ayahnya yang tergeletak di meja. Tangan pria itu mengepal menahan amarah yang dipendamnya.

"Karena itu aku mohon kembalilah ke perusahaan Feng, Nick. Hanya kamu satu-satunya harapan kakek untuk meneruskan Perusahaan Spica," ucap Leo.

Nick mendongak dan melihat kakeknya yang sedang memohon padanya.

"Ini demi ayahmu, Nick. Kakek mohon padamu." Leo masih berusaha membujuk pria itu.

Entah mengapa aura hitam keluar dari tubuh Nick. Salah satu sudut bibir pria itu terangkat membentuk senyuman sinis yang menakutkan.

"Aku akan kembali, Kakek. Aku pasti akan membalaskan dendam Papa." Ucap Nick dengan mantap.

***