Saat ini Ivy dan Allan sedang sarapan bersama di ruangan kantor milik Ariel. Ivy terkejut saat melihat Allan datang membawa kotak-kotak makanan. Kemudian pria itu memintanya untuk sarapan bersama dengannya.
Saat Ivy menggunakan sumpit untuk mengambil mie dengan ayam goreng mentega, matanya berbinar senang. Pasalnya rasa makanan itu sangat enak. Allan yang melihat reaksi Ivy hanya bisa tersenyum.
"Jadi kamu menyukainya?" tanya Allan.
Ivy menganggukkan kepalanya. "Ya, sangat menyukainya. Mie dengan ayam goreng mentega ini terasa sangat lezat. Terima kasih sudah membelikannya untukku, Kak Allan."
"Tidak perlu sungkan, Ariel. Aku juga sangat menyukainya ketika kita bisa sarapan bersama."
Ivy tersenyum mendengar ucapan pria itu. Namun senyuman wanita itu lenyap saat ada sesuatu yang menarik perhatian Ivy.
"Kak, kamu tidak apa-apa?" tanya Ivy terlihat cemas.
Allan menghentikan makannya dan menatap Ivy dengan tatapan bingung. "Memang ada apa denganku?"
"Wajah Kakak terlihat sangat pucat. Apakah Kakak sakit?"
Ivy meletakkan kotak makanan berwarna putih yang dipegangnya ke atas meja. Kemudian wanita itu mengulurkan tangannya untuk menyentuh kening Allan. Mata Ivy melotot kaget saat merasakan panas menyentuh punggung tangannya.
"Kak Allan, tubuhmu panas sekali. Sebaiknya aku mengantarkanmu ke rumah sakit." Ivy berdiri dan menarik tangan Allan.
Namun pria itu tidak mau berdiri. Dia meletakkan kotak makanannya ke atas meja. Lalu pria itu menarik tangan Ivy sehingga wanita itu terjatuh ke atas pangkuannya. Ivy memekik terkejut dengan tindakan pria itu. Saat dia menoleh, tubuhnya membeku. Pasalnya saat ini wajahnya dengan wajah Allan begitu dekat. Bahkan Ivy bisa merasakan hembusan nafas Allan yang panas menerpa kulit pipinya.
Pria itu memejamkan matanya. Dia meletakkan kepalanya di bahu Ivy. "Aku tidak mau ke rumah sakit, Ariel."
"Tapi Kak Allan sakit. Kak Allan harus ke rumah sakit." Ivy tidak mau bergerak karena tidak mau mengganggu Allan yang sedang menikmati posisinya saat ini.
Allan menggelengkan kepalanya. "Aku tetap tidak mau pergi. AKu lebih suka di sini. Menikmati waktu bersama denganmu, Ariel. Karena itu jangan mengusirku pergi."
Ivy menghela nafas mendengar betapa manjanya Allan ketika sedang sakit. "Aku tidak mengusirmu pergi, Kak. Hanya saja aku khawatir dengan keadaanmu."
Allan menegakkan kepalanya menatap wanita yang berada di atas pangkuannya. Bibirnya menyunggingkan senyuman dengan bibir yang pucat.
"Aku akan baik-baik saja setelah minum obat dan beristirahat. Aku juga akan bilang pada Jason jika aku tidak akan berangkat bekerja hari ini. Aku yakin setelah itu aku akan merasa lebih baik." Allan berusaha menenangkan tunangannya.
Ivy menghela nafas berat. Dia mengulurkan kedua tangannya untuk menangkup pipi Allan. "Aku tidak suka ketika melihat Kak Allan sakit. Aku akan pergi bersamamu dan merawatmu di rumah."
Allan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak perlu, Ariel. Aku hanya akan tidur seharian. Aku akan membuatmu merasa sangat bosan."
Ivy menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak, aku tidak akan bosan. Aku hanya ingin merawatmu ketika sedang sakit."
"Sebenarnya aku tidak suka ide itu."
Ivy memicingkan matanya. "Tidak suka dengan ide itu? Maksud Kakak, kamu tidak suka jika aku merawatmu?"
"Jangan berpikir buruk dulu, Ariel. Bukannya aku membencinya. Hanya saja aku tidak suka memperlihatkan diriku yang lemah ini di hadapanmu. Karena itu, aku tidak ingin kamu merawatku. Lagipula kamu masih memiliki banyak pekerjaan. Kamu hanya akan merasa bosan menungguku tidur." Allan menjelaskan alasannya.
Wanita yang saat ini mengenakan blouse hitam dan rok putih itu menghela nafas berat. "Jika itu adalah alasanya, aku tidak bisa berbuat apapun. Tapi bisakah aku mengunjungimu saat aku pulang bekerja?"
Allan menganggukkan kepalanya. "Aku pikir itu ide yang bagus. Kita bisa makan malam bersama."
Ivy tersenyum mendengarnya. "Kalau begitu sudah diputuskan jika nanti malam aku akan datang ke rumahmu. Tapi aku ingin kamu menghubungiku jika terjadi sesuatu padamu."
Allan menganggukkan kepalanya. Dia kembali menyandarkan kepalanya di bahu Ivy. Rasanya begitu nyaman dan Allan ingin bisa melakukan hal ini seharian. Bibirnya menyunggingkan senyuman senang. Dia begitu bahagia merasakan perhatian yang diberikan oleh tunangannya.
***
Di tengah lorong tampak Allan yang kesulitan untuk berjalan. Dia berusaha terlihat kuat di hadapan Ivy. Tapi setelah berjalan keluar dari ruangan sang tunangan, Allan merasa tubuhnya begitu lemah. Bahkan dia harus berjalan dengan satu tangan menempel pada dinding. Sedangkan satu tangan lagi memegang kepalanya yang terasa sakit. kepalanya terasa seperti baru saja menghantam baru besar yang sangat keras.Dia juga merasa berkunang-kunang dan nyari kehilangan keseimbangan.
Tak jauh dari pria itu, Ariel berdiri terkejut dengan menunjuk ke arah Allan. Lee yang berdiri di samping Ariel juga ikut terkejut melihat kondisi Allan yang tidak baik.
"Bukankah dia adalah tunanganmu? Namanya Allan Feng." Lee menoleh ke arah Ariel yang sudah menurunkan tangannya.
Wanita itu menganggukkan kepalanya. "Benar, dia adalah Allan Feng, tunanganku."
"Ada apa dengannya? Sepertinya dia dalam kondisi yang tidak baik." Lee bisa melihat Allan yang berjalan tertatih.
Ariel mengangkat kedua bahunya. "Entahlah. Aku tidak melihatnya lagi sebelum jiwaku tertukar dengan Ivy."
Kaki Allan tak mampu lagi menahan beban tubuhnya hingga pria itu jatuh terduduk di atas lantai yang dingin. Dia menyandarkan kepalanya pada dinding. Ariel bisa melihat wajah Allan yang terlihat begitu pucat bahkan keringat keluar membasahi wajahnya.
"Kamu tidak mau menolongnya? Kondisinya sangat buruk." Lee menatap penuh harap ke arah Ariel.
Ariel menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu. Masih banyak yang harus kukerjakan. Lagipula akan ada orang lain yang akan menolongnya."
Ariel berbalik pergi meninggalkan Lee yang berdiri dengan ekspresi tidak percaya. Mendengar ucapan Ariel membuat Lee menyadari jika Ariel masih memiliki hati yang dingin. Meskipun wanita itu sebelumnya menolong seorang ibu yang melahirkan, tapi tetap saja hatinya yang dingin belum juga berubah.
Lee menahan tangan Ariel. Tidak membiarkan wanita itu untuk pergi. "Bukankah dia tunanganmu? Kenapa kamu tidak mau menolongnya?"
Ariel menghela nafas berat. "Kami memang bertunangan, Lee. Tapi pertunangan kamu bukan karena cinta. Pertunangan itu hanya sebuah politik bisnis. Karena perusahaannya membutuhkan bantuan perusahaanku. Dan aku juga membutuhkanya untuk mengusir para orang menyebalkan yang berusaha mendekatiku. Jadi untuk apa aku memperdulikannya?"
"Apa hatimu terbuat dari batu, HUH?!" Untuk pertama kalinya Ariel melihat Lee benar-benar marah. "Meskipun kamu tidak menyukainya tapi tidak bisakah kamu menunjukkan belas kasihanmu HUH?!"
Ariel tersenyum sinis. "Belas kasihan? Jika aku menunjukkan belas kasihanku pada semua orang, mereka pasti akan memanfaatkanku."
Mulut Lee terbuka tak percaya mendengar ucapan Ariel yang begitu dingin. "Jadi inikah yang diajarkan Papa-mu?"
Ariel melayangkan tatapan tajam kearah Lee saat mendengar kata 'Papa'. Malaikat itu memang benar, selama ini ayahnya selalu mengajarkannya untuk tidak memiliki belas kasihan ataupun perasaan lainnya yang akan membuat wanita itu menjadi lemah.
"Baiklah, terserah kamu jika ingin dihukum seperti Papa-mu. Kamu sendiri yang akan menanggung akibat dari perbuatanmu sendiri."
Tiba-tiba Lee menghilang dengan kesal. Sedangkan Ariel masih terdiam di tempat. Wanita itu menoleh kearah Allan yang masih berada ditempatnya semula. Dia tidak menyadari jika perlahan salah satu mutiaranya berubah menjadi merah seperti lava membara. Ariel itu menggeleng-gelengkan kepalanya sebelum akhirnya memilih untuk berbalik meninggalkan Allan.
"Ariel."
Langkah wanita itu terhenti mendengar namanya dipanggil. Tubuhnya membeku saat menyadari jika suara itu adalah suara Allan. Wanita itu berbalik dan kembali mengamati mata Allan yang saat ini terpejam.
"Ariel." Panggilan itu kembali keluar dari mulut Allan yang putih pucat.
"Disaat seperti ini kenapa dia justru menyebut namaku?" Heran Ariel.
Ada perasaan berat merasuki hatinya. Dia tidak mengerti kenapa Allan memanggilnya. Sejenak dia berpikir jika mengetahui jika Ariel berada dalam tubuh Ivy. Tapi setelah mengetahui jika Allan hanya mengigau, tetap saja ada keraguan merasuki hatinya.
Wanita itu kembali menatap wajah Allan yang sangat pucat. Lalu dia mempertimbangkan keputusan apa yang akan diambilnya. Apakah dia harus menolong Allan? Atau dia harus meninggalkan pria itu seperti rencana sebelumnya?
***