"Tolong…."
Suara itu kembali terdengar membuat tubuh Ariel merinding.
"Suara siapa itu?" tanya Ariel.
Wanita itu menggelengkan kepalanya. "Tidak… Tidak mungkin itu hantu. Aku tidak percaya pada hantu. Aku pikir itu hanya halusinasiku saja."
"Tolong… Tolong aku….."
Terdengar lagi suara wanita dari bilik lainnya. Bilik itu tampak tertutup sehingga Ariel yakin ada seseorang di dalamnya. Dengan memberanikan diri sendiri, wanita itu berjalan menghampiri pintu bilik toilet itu. Langkahnya terhenti tepat di depan pintu bikik itu.
"Itu bukan hantu, Ariel. Jadi kamu tidak perlu takut." Ariel mengatakan pada dirinya sendiri. Kemudian dia menarik nafas panjang sebelum akhirnya membuka pintu itu.
"UWAAAH...." Seru Ariel yang terkejut melihat pemandangan dibalik pintu itu.
Lee yang berdiri di luar toilet mendengar seruan Ariel. Karena berpikir sesuatu yang buruk terjadi pada wanita itu sehingga malaikaty itu tanpa ragu langsung masuk ke dalam toilet.
"Ada apa, Ariel?" Tanya Lee melihat wajah Ariel yang berubah pucat.
Dengan masih terpana Ariel menunjuk ke dalam bilik itu. Lee menghampiri Ariel untuk melihat apa yang membuat Ariel berteriak terkejut. Saat itulah Lee bisa melihat seorang wanita hamil duduk di atas lantai seraya memegang perutnya. Wajahnya terlihat pucat karena menahan rasa sakit yang teramat sakit. Wanita itu mengulurkan tangan dengan lemah seraya meminta tolong. Melihat kondisi lantai yang berair jelas sekali ketubannya sudah pecah.
"Aku akan pergi mencari bantuan." Ucap Ariel hendak bergegas pergi dari area toilet.
Tapi Lee menahan tangan wanita itu. "Tidak, Ariel. Kamu tidak boleh pergi."
Ariel melotot kaget mendengar ucapan Malaikat itu. "Apa kamu gila? Dia akan segera melahirkan dan kamu melarangku untuk memanggil bantuan."
Lee menghela nafas berat. "Justru karena dia mau melahirkan, kamu haru tetap di sini, Ariel. Bayinya akan segera keluar. Tak ada waktu lagi untuk memanggil bantuan. Kamu harus membantunya sebelum semuanya terlambat."
"APA? Tapi aku bukan dokter kandungan ataupun bidan. Bagaimana aku bisa membantunya? Bagaimana jika aku membuat kesalahan? Masalah ini menyangku dengan nyawa dua orang, Lee." Ariel menggelengkan kepalanya merasa tidak mampu melakukan apa yang diinginkan oleh Malaikat itu.
"Tenanglah Ariel, aku akan membantumu. Jika saat ini kamu pergi memanggil bantuan, wanita itu akan melahirkan dengan sendirinya. Jika wanita itu terlalu kelelahan hingga pingsan, maka bukan hanya nyawa bayinya saja yang terancam, tapi juga nyawa ibunya. Hanya kamu satu-satunya harapan mereka, Ariel." Lee berusaha membujuk Ariel.
Tatapan Ariel kembali tertuju pada wanita yang mengenakan gaun silver dengan bagian perut yang longgar. Wanita itu terlihat sangat pucat. Dan Ariel yakin ucapan lee benar. Wanita itu pasti akan pingsan setelah melahirkan.
Ariel menghela nafas berat. "Baiklah, aku akan menolongnya. Kamu harus memberikan instruksi yang jelas, mengerti?"
Lee tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Mengerti. Sekarang berjongkoklah dan lihat apakah kepala bayi sudah terlihat?"
Ariel mendekati wanita itu dan berjongkok. "Nyonya aku akan membantumu. Jadi apakah tidak masalah jika aku melihat bagian dalam rokmu?"
Wanita itu menganggukkan kepalanya. Ariel mengangkat ujung gaun itu untuk melihat bagian kewanitaan ibu itu. Karena masih mengenakan celana dalam sehingga Ariel tidak bisa melihatnya.
"Nyonya aku akan melepaskan celana dalammu untuk melihat apakah kepala bayi sudah mulai terlihat atau belum. Apakah kamu bisa membantuku untuk sedikit mengangkat pantatmu?"
Wanita itu kembali menganggukkan kepalanya. Dengan satu tangan diletakkan di atas kloset duduk dan satu tangan disandarkan pada dinding bilik kemudian ibu itu mengangkat sedikit tubuhnya sehingga Ariel bisa menurunkan celana dalam wanita itu. Setelah berhasil meloloskan celana dalam berwarna pink lembut itu dari kedua kaki wanita itu, Ariel melebarkan kaki wanita itu untuk melihat apakah sudah ada tanda bayi akan lahir. Seketika Ariel terkejut saat melihat puncak kepala bayi sedikit muncul dari dalam kewanitaan ibu itu.
Ariel menoleh ke arah Lee yang berdiri di sampingnya. "Aku melihatnya, Lee. Kepala bayi itu sudah mulai terlihat."
"Aahh….. Sakit…." Rintih ibu itu sembari memegang perutnya ketika kontraksi kembali menyerangnya.
"Kalau begitu suruh ibu itu untuk berbaring di lantai. Cari apapun yang bisa digunakan untuk bantal. Lalu bantulah dia untuk bernafas secara teratur." Perintah Lee.
"Tunggu sebentar, Nyonya."
Ariel berdiri kemudian dia mengelilingi toilet itu untuk mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menjadi bantal. Kemudian Ariel bisa melihat kabinet yang terletak di samping bilik-bilik toilet. Saat membukanya, dia melihat beberapa tumpukan handuk di sana. Ariel mengambil beberapa handuk untuk di bawanya. Lalu dia meletakka semua handuk itu di lantai. Wanita itu mengambil satu handuk untuk dilebarkan di atas lantai. Dia juga menumpuk dua handuk di ujungnya agar bisa digunakan menjadi bantal. Setelah selesai, Ariel kembali menghampiri wanita itu.
"Nyonya, apakah kamu bisa berdiri sebentar? Kamu harus berbaring di sana agar proses persalinan bisa dilakukan dengan baik."
Wanita itu terengah-engah karena harus menahan rasa sakit karena kontraksi. Karena sekarang sakit itu menghilang, dia pun menganggukkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan Ariel. Dengan bantuan Ariel, wanita itu pun berdiri dan melangkah perlahan menuju handuk yang digelar di atas lantai. Setelah membaringkan wanita itu di atas lantai, Ariel melebarkan kaki wanita itu sehingga dia bisa melihat puncak kepala bayi semakin terlihat jelas.
"Ahhh… Sakit lagi…" Ibu itu meringis kesakitan ketika kontraksi datang kembali.
"Bantu dia untuk mengatur nafasnya. Tarik perlahan dari hidung lalu hembuskan melalui mulut. Dengan begitu rasa sakitnya akan sedikit berkurang." Pintu Lee yang sudah berjongkok di samping Ariel.
"Nyonya, kamu harus mengatur nafasmu. Terik perlahan melalui hidung lalu hembuskan melalui mulut." Ariel memperagakan apa yang dikatakannya.
Wanita itu mengikuti apa yang diminta oleh Arelia. Meskipun cara itu tidak bisa menghilangkan rasa sakit sepenuhnya, tapi setidaknya cara itu membantu wanita itu menahan rasa sakitnya.
"Bilang padanya jika sudah merasa ingin mengejan maka minta dia untuk tidak menahannya. Dia harus menejakn sekuat tenaga dan tugasmu adalah mengulurkan tanganmu untuk memegang bayinya." Ucap Lee kembali menginstruksikan pada Ariel.
"Aku? Aku yang harus memegang bayinya?" Ariel melotot kaget..
Lee menghela nafas berat. "Tentu saja kalau bukan kamu siapa lagi."
Ariel tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya. Tapi melihat bayi yang hendak keluar dari bagian kewanitaan sang ibu membuat Ariel tidak tega membiarkan bayi itu keluar begitu saja tanpa perlindungan.
"Nyonya, jika kamu sudah merasa ingin mengejan, jangan menahannya. Kamu harus mengejan sekuat tenanga. Tidak perlu khawatir dengan bayinya, karena aku akan memegangnya."
Wanita itu tampak terengah-engah merasakan sakit yang luar biasa di perutnya. Ariel mengulurkan kedua tangannya untuk bersiap memegangi bayi yang akan keluar. Tak berapa lama wanita itu merasa ingin mengejan.
"Ini adalah waktunya. Aku… aku akan mengejan." Ucap wanita itu seraya mengejan dengan sekuat tenaga.
Kelahiran seorang bayi memang sangat menakjubkan. Ariel terpana saat melihat kepala bayi mulai keluar ketika sang ibu mengejan.
"Kepalanya sudah terlihat, Nyonya. Ayo dorong lagi." Seru Ariel menyemangati sang ibu..
Wanita itu kembali mengejan sekuat tenaga hingga akhirnya Ariel bisa melihat tubuh bayi itu pun keluar sehingga Ariel menangkapnya dengan kedua tangannya. Bayi itu begitu mungil dan berlumuran dengan darah dan air ketuban.
"Kamu harus membersihkan hidung dan mulutnya agar bayi itu bisa bernafas." Lagi-lagi Lee memberikan instruksi.
"Kenapa harus aku?" Ariel tampak jijik melihat lendir di hidung dan mulut bayi.
"Karena hanya kamu satu-satunya harapan bayi itu. Kamu harus segera melakukannya. Jika tidak bayi itu tidak akan bisa bernafas."
Ariel tampak mengalami dilema. Dia tidak ingin menyedotnya. Selain tidak tahu bagaimana caranya, dia juga merasa jijik melihat lendir itu. Tapi jika dia tidak segera melakukannya, maka nyawa bayi itu terancam.
Bagaimana ini?
***