Ivy menghela nafas lega setelah terbebas dari orang-orang yang mengelilinginya. Ivy memilih berdiri di teras yang menampilkan pemandangan taman yang indah dan terawat. Wanita yang saat ini mengenakan gaun satin berwarna silver panjang itu menyentuh pipinya karena pipinya terasa sakit. Sepertinya karena Ariel jarang sekali tersenyum sehingga ketika Ivy berusaha untuk tersenyum terasa sangat sulit.
"Bukankah di sini terlalu dingin?" tiba-tiba saja Allan menghampiri Ivy dan menyampirkan jasnya di bahu wanita itu.
Ivye tersenyum merasakan perlakuan manis dari seorang pria untuk pertama kalinya. Dia menoleh dan melihat Allan lebih tampan saat pria itu mengenakan kemeja putih lengkap dengan dasi kupu-kupunya. Pria itu menyisir rambutnya ke belakang sehingga terlihat semakin menawan. Sehingga tidak heran banyak wanita yang menatap ke arah Allan.
"Tapi aku perlu udara segar. Dan tempat ini sangat cocok seperti yang aku butuhkan."
"Apakah kamu merasa lelah? Aku bisa mengantarkanmu pulang."
Ivy menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu, Kak. Aku baik-baik saja. Aku hanya butuh udara segar sejenak. Setelah itu aku bisa masuk lagi."
Allan mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi Ivy yang terasa dingin. "Kamu yakin, Ariel? Aku tidak ingin kamu memaksakan dirimu."
Ivy menyunggingkan senyuman meskipun dia kembali merasakan sakit di pipinya. "Aku tidak memaksakan diri, Kak. Aku pasti akan memintamu mengantarkanku pulang jika aku sudah merasa tidak sanggup lagi."
Allan menghela nafas berat. Kemudian pria itu melakukan sesuatu yang membuat wanita itu merasa terkejut. Allan maju satu langkah membuat jarak di antara mereka sangat dekat. Saat Ivy mendongak dan seketika tubuhnya membeku ketika dirinya menyadari betapa dekatnya Allan dengannya. Tatapan Allan tertuju lurus pada mata tunangannya. Membuat dada Ivy berderbar-debar.
Aku seharusnya tidak boleh merasakan ini, Ivy. Allan adalah tunangan Presiden Direktur Lin. Ivy memperingatkan dirinya sendiri.
Sayangnya tidak ada yang bisa dilakukan oleh Ivy tatkala Allan membungkuk untuk mencium bibir wanita itu. Tubuh Ivy bergetar merasakan ciuman itu. Wanita itu bisa merasakan lidah Allan mendesak namun menggoda. Begitu lembut namun terasa panas. Tak pernah Ivy merasakan perlakuan yang begitu lembut seorang pria seperti yang dilakukan oleh Allan. Godaan itu terlalu besar hingga membuat Ivy menyerah. Wanita itu membuka mulutnya memberikan akses bebas bagi Allan. Tidak hanya itu, Ivy juga membalas ciuman pria itu. Meskipun tidak pernah memiliki pengalaman dalam hal berciuman, tapi Ivy pernah menonton adegan ciuman seperti di drama. Dia hanya berusaha untuk sedikit berinisiatif.
Beberapa saat kemudian, Allan melepaskan ciuman itu. Nafas mereka terengah-engah karena tidak ada udara yang masuk dalam paru-paru mereka sesaat. Saat tatapan Ivy tertuju pada Allan, seketika tubuhnya menegang menyadari kesalahan yang baru saja dilakukannya. Seketika Ivy mendorong Allan. Karena gerakan yang tiba-tiba itu menyebabkan Allan terjatuh ke lantai yang keras. Nafas Ivy tercekat melihat pria itu meringis kesakitan.
"Oh, tidak. Apa yang sudah aku lakukan? Maafkan aku, Kak. Aku tidak bermaksud untuk membuatmu terjatuh. Aku benar-benar minta maaf." Ivy mengulurkan tangan untuk membantu Allan berdiri.
Setelah berhasil kembali berdiri, Allan menepuk-nepuk pantatnya untuk menyingkirkan debu yang menempel. Tatapan Allan tertuju pada Ivy yang terlihat begitu menyesal. Bibirnya menyunggingkan senyuman karena reaksi gadis itu begitu menggemaskan. Tangannya terulur untuk menyentuh pipi Ivy membuat gadis itu mendongak menatapnya.
"Tidak apa-apa, Ariel. Ini adalah kesalahanku membuatmu terkejut karena aku tiba-tiba saja menciummu. Aku terlalu senang dengan perubahan yang terjadi pada dirimu. Sehingga membuatku terlalu bersemangat dan sepertinya aku terlalu bersemangat hingga membuatmu terkejut. Maafkan aku."
Tidak, sebenarnya ini bukan salah Kak Allan. Kesalahan ada pada dirinya yang seharusnya tidak berada dalam tubuh Ariel. Sedih Ivy dalam hati.
"Ariel."
Panggilan itu membuat Ivy dan Allan menoleh. Mereka bisa melihat orang tua Allan berjalan menghampiri mereka. Ivy pun membungkuk memberikan salam untuk mereka.
"Halo, Tuan dan Nyonya Feng." Ivy memberikan salam kepada Connor dan Selina.
"Ya, ampun Kau terlihat sangat cantik, Ariel. Apakah Allan mengurus penampilanmu dengan baik?" Selina, wanita berusia empat puluh tujuh tahun itu menghampiri Ivy dan menyentuh pipi wanita itu dengan lembut.
Ivy menganggukkan kepalanya. "Kak Allan mengurusnya dengan baik."
Selina menganggukkan kepalanya. "Baguslah, aku senang mendengarnya."
"Ariel, sudah lama sekali tidak bertemu denganmu. Ada sesuatu yang sudah lama ingin aku tanyakan padamu." Ucap Connor membuat tubuh Allan menegang karena pria itu tahu apa yang ingin ayahnya tanyakan.
"Apa yang ingin anda tanyakan, Tuan Feng?" tatapan Ivy tertuju pada ayah Allan.
"Jadi kapan kamu akan menentukan tanggal pernikahan dengan Allan? Kalian sudah bertunangan selama dua tahun tapi tidak kunjung menikah. Kamu selalu menundanya. Kamu tahu bukan jika kakek Allan tidak sabar ingin melihat anak kalian?"
"Pernikahan?" Kaget Ivy.
"Pa, tidak bisakah kita membicarakan lain hari?" Allan berusaha menyingkirkan pembicaraan tentang 'pernikahan'.
"Jika tidak dibicarakan sekarang, mau kapan lagi, Allan?" tanya Connor menatap putranya dengan tatapan tajam. Lalu tatapan Connor tertuju pada Ivy. "Jadi bagaimana keputusanmu, Ariel?"
Ivy berusaha tersenyum meskipun canggung. "Saya akan segera membicarakannya dengan Kak Allan, Tuan Feng."
"Sebaiknya jangan terlalu lama." Terlihat jelas ayah Allan tidak suka dengan jawaban yang dilontarkan oleh Ivy.
Presiden Direktur Lin pasti akan membunuhku. Ucap Ivy dalam hati.
* * * * *
Setelah berbincang dengan Nick sejenak, Ariel mengatakan dia harus pergi ke toilet. Sehingga saat ini wanita itu berada di salah satu bilik toilet setelah menyelesaikan proses eksresi tubuh. Namun saat hendak membuka pintu pilik toilet itu, Ariel bisa mendengar ada orang yang masuk dalam area toilet. Tapi yang membuat Ariel tertarik adalah karena dua orang yang baru saja masuk itu tengah membicarakan Nick.
"Apa kamu melihat Nick datang?" Tanya wanita berambut coklat muda yang sedang membenarkan make up mereka.
Ariel memilih menunggu di dalam bilik toilet untuk mendengar percakapan dua wanita itu lebih lanjut.
"Tentu saja aku melihatnya. Ciihh…. Anak itu masih saja tak tahu malu berani sekali datang kemari." Wanita mengenakan gaun merah itu menggeleng-gelengkan kepalanya sembari bercermin.
"Kamu benar. Seharusnya kakek tak mengundang anak haram itu."
Tubuh Ariel menegang saat mendengar kata 'Anak haram'.
"Aku sudah selesai. Ayo kita kembali."
Terdengar suara langkah kaki berjalan keluar dari toilet. Dengan begitu akhirnya Ariel bisa berjalan keluar dari bilik toilet itu. Kemudian wanita itu menghampiri wastafel. Menghidupkan keran dan mencuci tangannya. Kemudian Ariel menatap bayangan dirinya sendiri di cermin.
"Nick adalah anak haram?" gumam Ariel. Kemudian dia teringat jawaban Nick saat Ariel bertanya apa hubungan Nick dengan keluarga Feng.
Hanya saja itu bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan.
Tentu saja menjadi anak haram bukanlah status yang patut untuk dibanggakan. Alasan ini juga yang mengingatkan Ariel jika pria itu tidak datang saat pesta pertunangannya dengan Allan.
"Tolong…."
Tubuh Minhee membeku saat mendengar suara minta tolong yang sangat lirih.
***