Nick menghela nafas berat. Tatapannya tertuju sebuah rumah besar yang berdiri begitu megah di hadapannya. Terlihat sudah banyak tamu yang berjalan masuk ke dalam rumah itu. Ingin sekali Nick tidak datang pesta yang diadakan dalam rumah itu. Namun karena kakeknya yang sudah memaksanya membuat Nick tak mampu menolak. Dengan malas Nick melangkahkan kakinya menuju rumah itu.
"NICK!!!"
Panggilan itu membuat Nick mendongak. Dia bisa melihat seorang pria berusia mencapai tujuh puluh tahun itu berjalan menghampirinya. Leo Feng tampak masih bugar meskipun sebagian besar rambutnya sudah berubah putih. Langkah pria tua itu terhenti di hadapan Nick dan langsung memeluk cucunya itu.
"Dari tadi aku sudah menunggumu, Nick. Aku pikir kamu tidak datang. Aku sudah hampir menyuruh seseorang menyeretmu kemari." Ucap Leo melepaskan pelukannya.
"Maafkan aku terlambat, Kakek. Tadi aku ada sedikit urusan." Alasan sebenarnya adalah Nick tidak berniat datang ke pesta ini.
"Tidak masalah jika kamu terlihat baik-baik saja. Ayo kita masuk, Nick." Leo meraih tangan cucunya itu dan menariknya masuk.
Namun Nick menahan tangan kakeknya. "Tunggu sebentar, Kakek. Aku ingin memberikan sesuatu untukmu."
Leo menoleh dan melihat Nick mengeluarkan sebuah kotak berwarna hitam dengan pita berwarna putih menghiasi bagian atasnya. Nick menyerahkan benda itu pada sang kakek.
"Selamat ulang tahun, Kakek."
"Apa-apan ini, Nick? Kamu tidak perlu membawa hadiah."
Nick menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa datang kemari dengan tangan kosong, Kakek. Aku juga ingin memberikan hadiah untukmu jadi aku mohon Kakek mau menerimanya."
Kakek itu menerima kotak itu dari Nick. Kemudian dia membuka kotak. Matanya berbinar senang saat melihat sebuah dasi berwarna biru polkadot.
"Dulu saat aku masih kecil Mama pernah bilang jika Papa sering memakai dasi itu dulu. Itu bukan dasi baru, aku hanya mengambilnya dari barang lama milik Papa. Aku berpikir dengan dasi ini aku berharap rindu kakek pada Papa bisa terobati."
Mata Leo mulai berair hingga akhirnya air mata jatuh membasahi pipinya. Dia pun teringat pada putranya yang sudah tiada. Putra yang yang merupakan ayah Nick. Leo itu ingat betul itu adalah dasi kesayangan putranya. Karena dasi itu adalah hadiah istrinya pada ayah Nick saat pertama kali bekerja.
Leo mendongak dan tersenyum pada Nick. Dia semakin bisa melihat sosok putranya dalam dalam diri Nick. Kemudian sang kakek menepuk pelan bahu cucunya.
"Ini adalah kado yang paling berharga yang aku dapatkan. Apakah kamu merindukan Papa-mu, Nick?"
Nick menyunggingkan senyuman lemah. "Aku tidak hanya merindukannya, Kek. Tapi aku juga ingin bertemu dengannya walaupun hanya sekali. Sayang sekali harapan itu mustahil untuk diwujudkan."
Leo memeluk cucunya kembali. "Maafkan, Kakek. Seharusnya Kakek tidak mengatakan pertanyaan bodoh itu. Tentu saja kamu pasti merindukannya."
Nick yang berada dalam pelukan Leo menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu meminta maaf, Kek. Itu bukan kesalahan, Kakek."
Meskipun tidak suka berada di tengah-tengah keluarga Feng, tapi tetap saja Nick menyayangi satu-satunya anggota keluarga Feng yang begitu menyayanginya. Yaitu sang Kakek.
***
Kata 'membantu' yang dikatakan oleh Ariel adalah dengan ikut datang ke pesta kakeknya Allan. Saat ini Ariel yang sudah mengenakan pakaian yang dia ambil dari lemari pakaian di rumahnya sedang berdiri di pinggir ruangan itu. Dia mengedarkan pandangannya untuk mencari seseorang.
"Untuk apa kamu datang ke pesta ini? Bukankah kamu tidak diundang?" Tanya Lee yang sudah berdiri di samping Ariel.
Ariel menoleh dan menatap kesal Lee yang sedari tadi tidak berhenti bertanya. Pasalnya sejak dari tadi Ariel tidak mau menjawab pertanyaan apapun dari Lee. Karena dirinya tidak ingin dianggap gila.
"Ayolah, Ariel. Tidak bisa kamu menjawab satu pertanyaanku saja? Atau kamu sudah kehilangan kemampuan bicara?" tanya Lee yang mampu membuat Ariel murka.
"Tidak bisakah kamu diam?" geram Ariel kesal.
"Tidak sebelum kamu menjawab pertanyaanku."
Ariel melihat ke sekelilingnya. Dia mendapati orang-orang tengah menatapnya aneh. Wanita itu tahu apa yang sedang mereka pikirkan. Ariel jadi terlihat seperti wanita aneh karena berbicara sendiri. Tentu saja semua itu karena mereka tak bisa melihat sang Malaikat yang berdiri di sampingnya. Sehingga Ariel terlihat seperti sedang berbicara sendiri. Ariel memilih untuk berjalan meninggalkan Lee tanpa menjawab apapun pertanyaan Malaikat itu.
"YA!! Kamu mau ke mana? Kenapa kamu meninggalkanku sendirian? Kamu juga belum menjawab pertanyaanku." Lee menampilkan ekspresi cemberut saat berjalan mengikuti Ariel.
"Karena aku tidak mau dianggap gila karena harus berbicara sendiri." Gumam Ariel dengan suara pelan agar tidak seorangpun mendengarnya.
"Kamu tidak akan gila berbicara dengan malaikat." Lee mengatakannya dengan santai.
Ariel memutar bola matanya malas. Lagi-lagi dia pergi meninggalkan Malaikat itu. Namun tiba-tiba langkah Ariel terhenti saat menemukan orang yang dicarinya. Ariel bisa melihat Ivy bersama Allan tengah mengobrol bersama kedua orang tua Allan. Ariel bisa melihat Ivy memilih gaun satin berwarna silver panjang dengan tali tipis menggantung di bahunya. Gaun itu tampak berkilauan di bawah cahaya. Kemudian Ivy memilih sepatu hak tinggi dengan berwarna silver.
Pilihan pakaiannya tidak buruk. Paling tidak dia tidak merusak pesta ini, pikir Ariel.
"Jadi kamu kemari ingin memastikan Ivy tidak membuat kesalahan?" tebak Lee yang sudah berdiri di samping Ariel.
"Kamu bisa membaca pikiranku?" bisik Ariel tampak kesal.
Lee menoleh dan menyunggingkan senyuman lebar kemudian dia menganggukkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan Ariel.
"Membaca pikiran adalah salah satu keahlianku."
"Kenapa kamu tidak memberitahuku sebelumnya?"
Lee mengangkat kedua bahunya. "Kamu tidak bertanya padaku."
Ingin sekali Ariel menendang Malaikat menyebalkan di sampingnya. Sehingga dia tidak lagi mengganggunya.
"Kamu tidak bisa menendangku. Lagipula jika kamu melakukannya, maka satu mutiaramu akan berubah warna menjadi merah lagi." Lee menunjuk pada gelang mutiara di pergelangan tangan Ariel.
Tak bisa membantah ucapan Malaikat itu, Ariel memilih berjalan kembali meninggalkannya. Ariel sudah terbiasa menghadiri pesta seperti ini. Hanya ada kalangan orang atas yang diundang. Semakin tinggi jabatanmu, semakin besar perusahaan yang kamu miliki, maka semakin tinggi pula orang akan menghormatimu. Karena itu tidak heran banyak orang mendekati Ariel dan berharap bisa bekerja sama dengan Perusahaan Salute. Tapi Ariel sudah mengajarkan Ivy untuk menepis semua hal itu dengan mengatakan agar mereka membicarakannya langsung di kantor bukan di pesta ini. Ariel berharap Ivy tidak melakukan kesalahan apapun.
Langkah Ariel terhenti saat tatapannya melihat seseorang yang begitu familiar dengannya. Dia bisa melihat seorang pria yang berdiri di sudut ruangan dengan tatapan yang bosan. Di tangannya dia memegang sampanye dan hanya meminumnya dalam jumlah yang sedikit. Tapi Ariel tidak mengerti mengapa pria itu berada di pesta ini.
"Apa yang kamu lihat? Kenapa kamu begitu terkejut?" tanya Lee yang berhasil menyusul Ariel.
"Nick Si? Bagaimana bisa dia berada di pesta ini?" heran Ariel.
Segera wanita itu berjalan menghampiri pria itu. Langkahnya terhenti saat berada di dekat pria itu.
"Aku baru tahu kamu memiliki hubungan dengan keluarga Feng, Manajer Si?"
Nick mendongak dan terkejut melihat Ariel dalam tubuh Ivy. "Kamu membuatku terkejut, Ivy. Apa yang kamu lakukan di sini?"
"Kamu belum menjawab pertanyaanku, Manajer Si. Apa hubunganmu dengan keluarga Feng? Aku pikir kamu tidak dekat dengan mereka. Dan mengingat posisimu sangat mustahil kamu diundang di pesta ini." Ariel menuntut jawaban.
Nick menghela nafas berat. "Bisakah aku tidak menjawabnya, Ivy?"
Ariel memicingkan matanya. "Kenapa? Apa ada hal yang ingin kamu sembunyikan?"
Nick menggelengkan kepalanya. "Tidak. Hanya saja itu bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan."
***