Chereads / Tunangan CEO Yang Tertukar / Chapter 10 - 10. Berubah Merah Seperti Lava

Chapter 10 - 10. Berubah Merah Seperti Lava

Ivy duduk dengan gelisah tatkala tatapan tajam mengarah padanya. Meskipun tubuh dan mata yang digunakan Ariel adalah tubuh Ivy, tapi tetap saja tatapan tajam wanita itu tetap sama.

"Jadi kemana saja kamu dari tadi HUH? Aku sudah menghubungimu berkali-kali dari tadi." Tanya Ariel setelah berada di ruangannya seperti yang dikatakannya saat ditelpon pagi tadi.

"Maafkan aku, Presiden Direktur Lin. Tadi ponselku di dalam tas jadi aku tidak mendengarnya."

"SIalan. Gara-gara kamu, aku jadi terlambat satu jam lebih. Untung saja Nick tidak memarahiku." Ariel mendengus kesal.

Ivy menyunggingkan senyuman mendengar nama atasannya. "Tentu saja karena Kak Nick sangat baik."

"Baik?" Ariel memicingkan matanya menatap Ivy.

Ivy menganggukkan kepalanya. "Ya, Kak Nick adalah atasan yang baik. Dia tidak pernah marah padaku ataupun pada Ren, Kak Jane atau Kak Elvira. Bahkan saat kami membuat kesalahan, Kak Nick hanya mengatakan jika semua manusia bisa melakukan kesalahan. Setelah itu Kak Nick membantu kami menyelesaikan masalah."

Ariel terdiam mendengar penjelasan panjang lebar dari Ivy mengenai Manajer produk perusahaan Salute. Ariel tidak mengerti kenapa Nick bersikap seperti itu. Dia tidak hanya memaklumi kesalahan bawahannya tapi dia juga membantu mereka menyelesaikan mereka. Jika Ariel berada dalam posisi Nick, dia pasti akan mengomeli mereka.

"Itulah kenapa kamu berbeda dengan Nick. Dia seperti malaikat bagi semua orang. Sedangkan kamu seperti iblis bagi semua orang."

Tatapan Ariel tertuju pada Lee yang berbaring santai di atas sofa panjang dalam ruangan itu. Ivy mengikuti arah pandangan Ariel. Tapi dia tidak mengerti kenapa tiba-tiba Ariel menatap ke arah sofa dengan tatapan kesal. Ariel tidak mau menanggapi ucapan Malaikat itu. Ada hal lebih penting yang harus dilakukannya.

"Sebenarnya ada yang ingin kutanyakan padamu, Ivy." Ucap Ariel dengan begitu serius.

"Apa yang ingin kamu tanyakan, Presiden Direktur Lin?"

"Menurutmu, apa itu kebaikan?" tanya Ariel.

Ivy memicingkan matanya mendengarkan kata itu keluar dari mulut Ariel. "Kebaikan? Kalau menurutku kebaikan itu hal bersifat positif yang dilakukan untuk membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan. Memang kenapa kamu menanyakan hal itu, Presiden Direktur Lin?"

"Seorang Malaikat bawel menyuruhku untuk belajar kebaikan."

Seketika Ivy melotot kaget mendengar ucapan Ariel. "Ma-malaikat? Apa maksudmu, Presiden Direktur Lin? Kamu sedang tidak membahas Malaikat yang sebenarnya, bukan?"

Ariel menghela nafas berat. "Apa kamu tidak melihat Malaikat yang berbaring di sofa itu?"

Tatapan mata Ivy tertuju pada sofa yang ditunjuk oleh wanita yang duduk di hadapannya. Tapi karena tidak melihat siapapun, Ivy hanya menggelengkan kepalanya. "Taik, aku tidak melihat siapapun di sana. Apakah kamu baik-baik saja, Presiden Direktur Lin?"

Seketika Ariel melotot mendengar pertanyaan itu. "Kamu pikir aku gila, HUH?"

Ivy mendelik ketakutan mendengar amarah Ariel. Lee yang melihatnya hanya menghela nafas berat.

"Kamu memang dikira gila. Karena dia memang tidak bisa melihatku. Hanya kamu saja yang bisa melihatku." Lee berdiri dan berjalan menghampiri meja Ariel. Dia duduk di samping Ivy kemudian melambaikan tangannya di hadapan wanita itu. namun Ivy terlihat biasa saja. Tidak bereaksi. "Kamu lihat bukan?"

Ariel melayangkan tatapan kesalnya ke arah sang Malaikat itu. "Kenapa tidak bilang dari tadi, HUH?"

"Bilang apa, Presiden Direktur Lin?" bingung Ivy.

Lee hanya tertawa geli melihat Ariel semakin kesal. Akhirnya Ariel menghela nafas berat. Tatapannya beralih pada Ivy.

"Barusan aku sedang tidak bicara denganmu, Ivy. Tapi aku bicara dengan malaikat yang sekarang duduk di sampingmu." Ariel menunjuk ke arah kursi yang ada di samping wanita itu.

Ivy menoleh dan melihat kursi kosong di sampingnya. Dia merasa aneh dengan ucapan Ariel. Dia berpikir mungkin karena jiwa mereka yang tertukar membuatnya jadi aneh.

"Jangan menganggapku gila. Aku tidak peduli kamu mau percaya pada ucapanku atau tidak. Malaikat inilah yang menjelaskan alasan mengapa jiwa kita tertukar. Dia mengatakan jika Tuhan marah padaku karena sikapku yang buruk. Karena itu Tuhan menukar jiwa kita. "

Seketika mata Ivy berbinar. "Lalu apakah Malaikat itu juga menjelaskan cara agar jiwa kita bisa kembali pada tubuh kita masing-masing?"

Ariel menganggukkan kepalanya. "Ya, dia menjelaskan bagaimana caranya agar jiwa kita bisa kembali." Ariel mengangkat tangan kanannya di mana ada gelang mutiara berwarna hitam di tangannya. "Aku harus mengubah mutiara-mutiara dalam gelang ini menjadi berwarna putih. Caranya adalah aku harus membuat tujuh kebaikan yang tulus dari dalam hatiku."

Ivy melotot kaget. "Tujuh kebaikan? Ya, Tuhan, kenapa aku jadi ikut dihukum? Bagaimana bisa dia membuat tujuh kebaikan. Bahkan satu kebaikan saja belum tentu bisa dilakukan."

Ariel mengambil lembaran dokumen dan memukulkannya ke atas kepala Ivy., "Sialan… bagaimana bisa kamu meremehkanku?"

"Ariel, sudah kukatakan kamu tidak boleh memukul ataupun bersikap buruk. Lihatlah gelangmu." Lee menunjuk ke arah gelang di pergelangan tangan Ariel.

Wanita itu menunduk dan dia tampak terkejut saat melihat salah satu mutiara di gelangnya muncul berubah warna menjadi kemerahan seperti warna lava gunung berapi. Seketika Ariel berdiri dan terkejut melihatnya.

"Apa yang terjadi?" tanya Ariel menatap Lee.

"Setiap kali kamu menyakiti orang lain, maka salah satu mutiara itu akan berubah menjadi merah. Jika semua mutiara berubah merah, maka kamu akan langsung diseret ke neraka." Jelas Malaikat itu.

"Kenapa kamu tidak mengatakannya dari tadi?"

Lee mengangkat kedua bahunya. "Aku pikir kamu bisa berubah. Tapi sepertinya tidak. Renungkanlah perbuatanmu, Ariel. Aku pergi dulu."

Tiba-tiba Malaikat itu langsung menghilang. Ivy yang melihat Ariel bicara sendiri dan tampak panik membuatnya berpikir pasti ada sesuatu yang salah.

"Ada apa, Presiden Direktur Lin?"

Tatapan Ariel beralih pada Ivy. Kemudian dia menunjukkan satu mutiara yang berubah warna menjadi merah. "Kamu lihat mutiara ini tiba-tiba berubah menjadi warna merah setelah aku memukulmu. Malaikat itu mengatakan jika aku melakukan sesuatu yang mampu menyakiti orang lain maka mutiaranya akan berubah menjadi merah. Jika semua mutiara berubah merah, maka aku akan langsung diseret ke neraka."

Seketika nafas Ivy tercekat. "Oh, tidak. Lalu bagaimana denganku?"

Ariel menghela nafas berat. "Tenang saja. Aku juga tidak ingin mati. Dan aku juga ingin segera kembali ke tubuhku. Untuk sementara aku meminta bantuanmu untuk menjadi diriku. Aku akan membantumu dalam hal pekerjaan dan lainnya. Jadi jika kamu tidak tahu atau bingung, kamu bisa langsung menelponku."

Ivy menganggukkan kepalanya. "Baik, Presiden Direktur Lin. Aku akan membantumu."

"Satu hal lagi. Pastikan smartphone-ku tidak dalam mode silent. Aku tidak mau kejadian tadi pagi terulang lagi."

"Baik, Presiden Direktur Lin."

"Baguslah. Aku akan membantumu menandatangani dokumen penting." Ariel duduk kembali dan memilah-milah dokumen yang bisa ditandatangani.

Ivy mengamati Ariel yang sedang menandatangani sebuah dokumen. Kemudian dia teringat pada Allan.

"Presiden Direktur Lin, bolehkah aku bertanya?"

"Tanyakan saja." Jawab Ariel tanpa menoleh dari dokumen yang ada di atas meja.

"Apakah Presiden Direktur Lin tidak menyukai Tuan Feng?"

Tangan Ariel yang sedang membuka lembaran dokumen pun terhenti. Wanita itu menatap Ivy tajam. Ingin sekali Ivy menampar mulutnya karena sudah bertanya hal yang sensitif bagi sang Presiden Direktur.

"Aku tidak membencinya tapi bukan berarti aku menyukainya."

"Apa maksud ucapanmu, Presiden Direktur Lin? Bukankah Tuan Feng adalah tunanganmu" Bingung Ivy.

"Pertunangan kami hanyalah berdasarkan bisnis bukan cinta. Jadi kamu mengerti bukan alasanku, bukan?"

Ariel kembali melanjutkan pekerjaannya sedangkan Ivy memilih sibuk dengan pikirannya. Dia berpikir jika saja Allan benar-benar menyukai dirinya bukan Ariel, maka Ivy akan merasa sangat senang.

***