Saat Ivy membuka pintu berwarna putih itu, dia merasa seperti sedang berada di dalam butik yang memamerkan pakaian dan aksesoris dari merek ternama. Mata Ivy berbinar melihatnya. Selama ini dirinya hanya memiliki beberapa potong setelan kerja. Dan itupun dia membelinya dengan harga yang miring. Jelas pakaian-pakaian miliknya berbeda jauh dari pakaian milik Arelia.
"Wow…Banyak sekali." Ivy melangkah masuk dan terkagum melihat pakaian-pakaian dan akseseoris itu.
Wanita itu berjalan menghampiri lemari dimana banyak setelan kerja wanita yang tergantung rapi. Tangannya terulur untuk menyentuh blazer berwarna cream lembut. Kain blazer itu lebih lembut dan nyaman dibandingkan miliknya. Ivy juga memegang semua baju yang tergantung di sana. Kemudian wanita itu beralih ke rak sepatu berbahan kaca di mana dia bisa melihat sepatu-sepatu cantik tertata rapi. Dia mengambil sebuah sepatu berhak tinggi yang tampak berkilauan karena disetiap bagian kulit luarnya dipenuhi dengan berlian cantik. Sedangkan di bagian atasnya terlihat sebuah batu kristal berwarna cream yang membentuk sebuah pita. Sepatu itu terlihat begitu cantik. Dan Ivy yakin harganya pasti sangat mahal mengingat sepatu itu dari brand Jimmy Choo yang memang terkenal dengan harga sepatunya yang mahal.
"Cantik sekali." Gumam Ivy segera mengembalikan sepatu itu ke dalam raknya. Dia terlalu takut jika sepatu itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke lantai. Dia tidak ingin merusak benda mahal itu.
Ivy melanjutkan penjelajahannya. Dia tengah ruangan ada sebuah meja dengan banyak rak di bagian samping dan terlihat bagian atasnya terbuah dari kaca sehingga Ivy bisa melihat berbagai macam perhiasan di dalamnya. Dari kalung, anting, gelang, cincin bahkan jam pun berasal dari merk ternama yang sering muncul di iklan-iklan. Semua benda yang diidamkan oleh para wanita ada di dalam ruangan itu.
Ivy menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ini bukan saatnya mengagumi semua benda ini, Ivy. Kamu harus segera bersiap-siap." Wanita itu bergegas memilih pakain dan segera mandi. Dia tidak mau Allan menunggunya terlalu lama.
Di tempat lain, Allan yang duduk di kursi belakang mobilnya tampak menyunggingkan senyumam senang. Setelah selesai menelpon Ariel pagi ini, pria itu tidak bisa berhenti untuk tersenyum karena hatinya memang sedang berbunga-bunga.
"Sepertinya sesuatu yang baik terjadi pagi ini, Direktur Allan." Jason Yuan, sekretaris Allan, menatap sang bos dari kaca mobil.
"Kamu tidak akan percaya jika aku mengatakan Ariel sedikit melunak padaku. Dia bahkan memanggilku 'Kakak', Jason." Bibir Allan mengembangkan senyuman.
"Apakah anda yakin itu adalah Presiden Direktur Lin?"
Senyuman Allan lenyap dan dia melayangkan tatapan tajam pada pria yang sedang menyetir mobil itu. "Kenapa kamu tidak percaya pada ucapanku? Apakah kamu berpikir aku mengada-ada?"
Jason menggelengkan kepalanya. "Bukan seperti itu, Direktur. Hanya saja selama ini Presiden Direktur Lin sangatlah dingin. Bahkan saat bersama anda, dia bersikap sangat formal. Karena itu sulit dipercaya jika Presiden Direktur Lin memanggil anda sengan panggilan 'Kakak'."
Allan mendengus kesal. "Aku akan membuktikannya padamu, Jason. Kamu akan melihat Ariel memanggilku 'Kakak'."
Jason tersenyum. "Baiklah, Direktur. Aku akan menantikannya.
***
Ariel menatap penampilan dirinya di cermin yang tergantung di dinding. Dia sudah mengacak-acak isi lemari Ivy dan merasa tidak ada satupun pakaian yang cocok untuk dikenakan. Akhirnya dia terpaksa melabuhkan pilihannya pada sweater coklat kusam dan dipadukan dengan celana kain berwarna coklat susu. Meskipun pakaian ini jauh lebih baik dibandingkan pakaian lainnya, tapi dia merasa tidak nyaman dengan bahan dasarnya yang kasar.
Tatapan Ariel tertuju pada jam dinding berbentuk lebah. Seketika matanya melotot kaget melihat jam sudah berlalu dengan cepat.
"Sial… Aku bisa terlambat."
Ariel bergegas mengambil dan lalu berlari keluar dari kamar. Dia segera mengambil sepatu berwarna pastel dengan hak berukuran sedang. Wanita itu mengenakan sepatu itu dengan gerakan cepat. Mengingat waktu sedang mengejarnya.
"Ivy."
Panggilan itu membuat Ariel menoleh. Dia sudah bertemu dengan ibunya Ivy saat dia hendak mandi. Meskipun masih terasa canggung, tapi Ariel berusaha bersikap sebaik mungkin agar tidak membuat wanita berusia empat puluh lima tahun itu tidak curiga dengannya.
"Ada apa, Ma? Aku buru-buru karena aku bisa terlambat." Ariel selesai mengenakan sepatunya.
Lusi menghampiri putrinya dan menyerahkan kotak bekal padanya. Ariel yang bingung menatap benda itu seolah itu adalah benda asing yang tidak pernah dilihatnya. Kemudian wanita itu menatap Lusi kembali.
"Apa ini? Kenapa kamu memberikannya kepadaku, Ma?" Tanya Ariel bingung.
"Tentu saja itu bekal untukmu. Bukankah biasanya aku memberikannya padamu? Apakah kamu tidak ingat?" tanya Lusi.
Bukan tidak ingat, tapi sayangnya aku bukanlah putrimu. Gumam Ariel dalam hati.
"Ah, tentu saja ingat, Ma. Hanya saja aku terkejut Mama membuatkannya untukku. Mama terlihat begitu lelah. Aku tidak mau merepotkanmu."
Lusi mengulurkan tangannya menyentuh pipi Ariel. Membuat tubuh wanita itu menegang, Dia bisa merasakan kelembutan tangan Lusi membuat tubuhnya bergetar. Pasalnya Ariel sudah lama tidak merasakan sentuhan yang lembut penuh kasih sayang seperti ini.
"Membuatkan bekal untuk putriku sama sekali tidak merepotkan. Justru aku sangat senang bisa melakukannya. Pastikan kamu menghabiskannya. Aku harap kamu menyukainya."
Ariel berusaha menahan diri untuk tidak tersentuh dan menangis. Dia bahkan memaksakan bibirnya untuk tersenyum. "Aku pasti akan menghabiskannya. Aku berangkat dulu."
Lusi menganggukkan kepalanya lalu melambaikan tangannya. "Hati-hati di jalan, Ivy."
Lee yang melihat dari balik tembok hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah Ariel yang sangat tidak sopan. Pada umumnya seseorang akan mengucapkan terima kasih jika diberi sesuatu. Tapi sayangnya wanita berhati dingin seperti Ariel tidak tahu caranya berterima kasih.
Ariel berjalan tanpa tahu harus ke mana. Pasalnya ini adalah pertama kalinya dia berjalan di daerah ini. Apalagi selama ini jika Ariel pergi, Calvin yang akan mengantarkannya ke manapun. Sehingga Ariel buta jalan.
"Aku harus naik apa hingga sampai ke kantor? Biasanya Calvin yang selalu mengantarku. Jika aku menelpon Calvin, dia akan curiga dengan perubahan ini. Lagipula dia tidak akan percaya jika aku terperangkap dalam tubuh Ivy." Ariel menggelengkan kepalanya menyingkirkan ide itu.
Kemudian matanya berbinar saat sebuah ide muncul di pikirannya. Segera wanita itu mengeluarkan ponselnya. "Mungkin lebih baik aku bertanya pada Ivy. Dia bisa memberitahu aku harus naik apa."
Karena Ariel sudah menyimpan nomornya ke dalam kontak dalam smartphone Ivy, sehingga dia hanya perlu mencari namanya dan menghubungi nomornya sendiri. Sembari berjalan, Ariel bisa mendengar nada tunggu. Bahkan sampai nada tunggu itu habis, Ariel tak kunjung mendengar suara Ivy.
"Sialan…. Kemana wanita itu? Kenapa dia tidak mengangkat panggilan dariku? Aku akan mencobanya lagi."
Ariel kembali menghubungi Ivy untuk kedua kalinya. Namun hasilnya sama saja, Ivy tidak kunjung mengangkat panggilan itu. Tentu saja hal itu membuat Ariel mendengus marah
"Wanita sialan itu… Awas saja jika aku melihatmu, aku akan memberimu pelajaran." Kesal Ariel yang memutuskan mencari tahu sendiri cara untuk mencapai kantornya.
***