Ivy yang masih duduk di depan meja rias masih berusaha mencerna situasi yang dialaminya. Dia masih tidak mengerti kenapa dirinya berada dalam tubuh Presiden Direktur Salute. Tatapn Ivy tertuju pada pigura yang diletakkan di atas meja rias bersama beberapa kosmetik. Ivy mengambil pigura foto itu. Dalam foto itu tampak seorang gadis kecil tersenyum memeluk boneka barbie seraya duduk di pangkuan ayahnya. Wajahnya sama persis dengan Ariel hanya jauh lebih cerah karena tersenyum.
"Apa ini adalah Presiden Direktur Lin saat kecil?" Gumam Ivy tersenyum melihatnya. "Cantik sekali."
Namun senyuman Ivy lenyap saat menyadari sesuatu. Jika dirinya berada di tubuh Ariel, maka Presiden Direktur Lin pasti berada di dalam tubuhnya. Padahal dia dan Ariel baru saja bertengkar kemarin. Dan sekarang situasinya menjadi semakin rumit.
"Oh, tidak. Bagaimana ini? Presiden Direktur Lin pasti marah mendapati kita bertukar tubuh." Ivy menghela nafas.
"Aku yakin dia berpikir aku menggunakan sihir hiram agar jiwa kami bisa tertukar. Apa yang harus aku lakukan untuk menghadapinya." Kedua bahu Ivy terkulai lemas.
Deringan telpon mengagetkan Ivy. Wanita itu menyentuh dadanya yang berdegup kencang karena terkejut. Tatapan Ivy tertuju pada smartphone Ariel yang tergeletak di meja tepat di samping ranjang. Ivy berdiri lalu menghampiri meja itu. Dia bisa melihat smartphone lipat itu menyala. Ketakutan menjalari tubuh Ivy saat mengenali nomornya muncul layar samrtphone itu. Wanita itu pun menarik nafas panjang sebelum mendengar omelan dari Ariel.
"Presiden Direktur Lin, apakah itu kamu?" tanya Ivy setelah mengangkat panggilan itu.
"Jadi kamu sudah tahu aku menjadi dirimu, Ivy?" Meskipun suara itu seperti Ivy tapi nada dinginnya sama seperti Ariel.
"Aku hanya berpikir situasi aneh ini memiliki cara kerja dua arah. Aku benar-benar minta maaf, Presiden Direktur Lin. Aku tidak tahu apa-apa soal ini. Aku bersumpah, aku tidak menggunakan ilmu hitam apapun sehingga jiwa kita tertukar. Aku benar-benar berkata jujur, Presiden Direktur Lin."
Tidak terdengar suara apapun di ujung telpon sehingga membuat jantung Ivy berdebar cepat. Dia takut jika Ariel tidak percaya apda ucapannya.
"Aku tahu kamu tidak melakukan apapun. Jadi kamu tak perlu merasa bersalah padaku. Nanti saat jam makan siang aku akan menemuimu di ruanganku. Jadi sebaiknya kamu tidak pergi ke manapun. Aku akan menjelaskan alasan kenapa jiwa kita tertukar."
Ivy memicingkan matanya. "Saat jam makan siang? Tapi bukankah aku sudah dipecat?"
Di dalam kamar Ivy, Ariel mengumpat kesal. Dia lupa jika kemarin dirinya sendiri yang sudah memecat Ivy.
"Aku melupakan fakta itu. Tapi tidak masalah. Aku akan mengirim pesan padamu. Jadi kamu tinggal menyalin pesan itu dan mengirimkannya pada Calvin."
"Pesan? Pesan apa?" bingung Ivy.
"Pesan yang meminta Calvin agar bisa mengumumkan jika aku menyesal dan membatalkan keputusanku memecatku."
Seketika mata Ivy berbinar senang. "Jadi aku tidak akan dipecat?"
"Ya, aku tidak memecatmu. Karena sekarang aku membutuhkanmu."
Senyuman di wajah Ivy seketika lenyap. "Jadi jika jiwa kita kembali ke tubuh masing-masing, kamu akan tetap memecatku."
"Tidak, jika kamu bisa membantuku dengan baik. Tapi jika kamu menghancurkan diriku, aku tidak hanya akan memecatmu. Aku akan mengejarmu dan mencekikmu." Ancam Ariel membuat Ivy bergidik ngeri.
"Ingat untuk belajar kebaikan, Ariel." Tiba-tiba Lee muncul di samping Ariel membuat wanita itu terkejut.Ivy yang bera
"Tidak bisakah kamu muncul dengan cara normal?" Ariel mendengus kesal.
Ivy yang masih tersambung dengan telpon Ariel memicingkan matanya bingung. "Muncul dengan cara normal bagaimana, Presiden Direktur Lin?"
"Ah, tidak. Lupakan apa yang aku katakan tadi. Setelah nanti kamu mengirimkan pesan, kamu bersiap dan berangkat kerja. Untuk sementara kita akan bertukar posisi tapi jangan ada siapapun yang tahu soal ini. Kamu mengerti?"
Ivy menganggukkan kepalanya. "Ya, aku mengerti, Presiden Direktur Lin."
"Satu hal lagi, Ivy. Jangan memanggilku seperti itu saat berada di tempat umum atau saat ada orang lain bersama kita. Orang-orang akan curiga jika mendengar kamu memanggilku seperti itu karena saat ini aku berada di tubuhmu."
"Ah, kamu benar, Presiden Direktur Lin. Aku akan memanggilmu 'Ivy' jika tidak sedang berdua."
"Baguslah. Kalau begitu aku akan bersiap untuk berangkat kerja."
Ivy meletakkan kembali smartphone itu setelah Ariel menutup telpon itu. Dia duduk di pinggir ranjang untuk menantikan pesan dari Ariel. Wanita itu bernafas lega karena tak mendengar omelan Ariel.
"Kenapa Presiden Direktur Lin tidak marah? Dia juga mengatakan akan menjelaskan apa yang terjadi di antara mereka saat makan siang nanti. Aku jadi penasaran sebenarnya apa yang terjadi pada kami."
Tiba-tiba terdengar bunyi notifikiasi pesan masuk. Wanita itu mengambil kembali benda itu. Dia bisa melihat pesan Ariel dari nomor poselnya. Setelah menyimpan nomornya sendiri di ponsel Ariel, Ivy pun mengikuti perintah sang Presiden Direktur untuk mengirimkan pesan pada Calvin. Ivy ingat Calvin adalah sekretaris Ariel. Dia selalu mendampingi Ariel ke mana pun. Ivy tidak yakin jika dia bisa membohongi pria itu.
Ponsel di tangan Ivy berdering membuat wanita itu terlonjak dan nyaris menjatuhkan benda di tangannya. Dia bisa melihat nama 'Allan Feng' di layar ponsel. Wajah Ivy seketika berubah ceria membayangkan mengingat wajah Allan. Selama ini Ivy beberapa kali mengagumi pria itu saat mengunjungi Ariel. Dia tidak bisa berhenti mengagumi pria tampan itu.
"Apa yang harus kulakukan? Bagaimana jika dia sadar aku bukanlah Presiden Direktur Lin?" Panik Ivy.
Namun dia juga tak ingin membuat Allan menunggu lama jadi dia segera mengangkatnya. Dia menempelkan benda itu di telinganya.
"Ha-Halo?" Sapa Ivy dengan sangat gugup.
"Ariel, apakah kamu sudah merasa baikan?" tanya Allan terdengar khawatir.
"Baikan? Tapi aku tidak merasa sakit." Bingung wanita itu.
"Kamu memang tidak sakit. Tapi kamu kemarin terlihat lelah sekali. Karena itulah aku sangat mengkhawatirkanmu. Apa kamu sudah merasa baikan sekarang?"
Ivy tersenyum senang bisa mendengar suara Allan yang begitu lembut. Bahkan kedua pipinya sudah merona merah karena senang.
"Terima kasih sudah mengkhawatirkanku, Kak. Tapi akku sudah merasa baikan sekarang."
"Kak?" Terdengar Allan terkejut.
Tubuh Ivy membeku di tempat. Dia selalu menyebutkan panggilan itu. Tapi dia tidak tahu bagaimana Ariel memanggil tunangannya sendiri.
"Apa ada yang salah? Apakah aku tidak boleh memanggilmu dengan panggilan 'kakak'?" tanya Ivy.
Allan yang masih berada di kamarnya dan bersiap berangkat kerja tersenyum mendengar panggilan itu keluar dari mulut Ariel. "Tidak, aku sangat menyukai panggilan itu. Karena kemarin aku tidak mengantarmu pulang, bagaimana jika hari ini aku mengantarmu ke kantor?"
"Mengantarku ke kantor?" mata Ivy berbinar senang.
"Ya, apakah kamu tidak menyukai ide itu?"
Mana mungkin aku tidak suka? Ini bahkan seperti mimpi. "Aku menyukainya, Kak. Aku akan menunggumu."
"Baiklah kalau begitu, aku akan segera menjemputmu. Sampai bertemu nanti."
"Ya, sampai bertemu nanti, Kak."
Ivy mematap layar smartphone yang menunjukkan sambungan telpon dengan Allan sudah terputus. Terlihat jelas matanya menunjukkan tatapan tak percaya.
"Allan Feng akan mengantarku?" Ucap Ivy yang masih tak percaya. "Ini benar-benar terasa seperti mimpi."
Ivy naik ke ranjang Ariel dan meloncat-loncat senang. Dia bahkan berteriak-teriak tidak jelas saking senangnya. Namun gerakan wanita itu terhenti saat menyadari sesuatu.
"Kak Allan sudah dalam perjalanan kemari. Aku harus cepat bersiap-siap."
Ivy turun dari ranjang Ariel dan mencari lemari di sekitar kamar. Wanita itu tampak bingung karena tak menemukan kotak lemari di kamar itu. Jika tidak ada lemari, bagaimana cara dia mengganti pakaian?
"Dimana lemarinya? Aku harus cepat menemukannya. Aku tidak mungkin ke kantor dengan piyama seperti ini kan?"
Ivy melihat piyama sutra berwarna pink mudanya. Kemudian tatapan Ivy beralih ke sebuah pintu berwarna putih. Penasaran wanita itu menghampiri pintu itu dan membukanya. Seketika matanya melotot melihat apa yang ada di balik pintu.
***