Ivy memasukkan barang-barang pribadinya ke dalam kotak. Terdengar suara tangisan membuat wanita itu menoleh. Dia bisa melihat Ren, Jane dan Elvira menangis di hadapannya.
"Aku yang dipecat kenapa kalian yang menangis? Bahkan aku sama sekali tidak sedih." Ivy menyunggingkan senyuman.
Sedih? Entahlah Ivy tidak merasakan hal itu. dia justru merasa puas setelah menampar wanita sombong itu.
"Tapi kami sedih karena kamu harus pergi, Kak Ivy. Nanti siapa yang akan memberikanku permen lagi?" Ren menghapus air matanya dengan punggung tangan.
Ivy tersenyum mendengar ucapan Ren. "Jangan terlalu banyak makan permen, Ren. Tidak baik untuk gigimu."
"Tapi aku tetap menyukainya Terutama karena permen itu dari Kakak." Lag-lagi Ren menangis.
Jane menghapus air matanya dengan sapu tangannya. "Kenapa hari ini penuh dengan kesedihan? Aku yakin air mataku sudah terkuras habis untuk hari ini. Tapi tetap saja aku sedih harus melihatmu pergi, Ivy."
"Aku juga sedih, Kak Jane. tapi kita bisa bertemu kapan-kapan."
Elvira menyemburkan ingusnya ke tisu. Membuat semua orang yang melihatnya merasa jijik.
"Ivy, kenapa kamu harus pergi? Seharusnya penyihir itu saja yang pergi."
"Sebaiknya kamu jaga ucapanmu, Kak Elvira. Kamu juga bisa dipecat sepertiku nanti." Ivy mengelus lengan Elvira untuk menenangkan wanita itu.
"Ada apa ini?"
Suara itu membuat mereka semua menoleh. Ivy, Ren, Jane, dan Elvira bisa melihat Nick baru saja kembali dari makan siang. Pria itu terlambat makan siang karena terlalu sibuk mempersiapkan rencana berikutnya.
Ivy berjalan menghampirinya atasannya. Dia membungkukkan tubuhnya sejenak. ."Kak Nick, terima kasih sudah memperlakukanku dengan sangat baik saat bekerja di sini. Aku benar-benar senang bisa bekerja denganmu."
"Tunggu dulu. Apa maksudmu ini, Ivy?" Nick masih belum mengerti dengan situasi ini.
"Presiden Direktur Lin memecatku, Kak. Jadi ini adalah hari terakhir aku berada di sini."
"APA?" Seru Nick terkejut. Kemudian pria itu meraih tangan wanita itu dan menariknya ke dalam ruangannya.
Setelah berada di ruangannya, Nick menyentuh bahu Ivy dan menatapnya. "Kenapa Presiden Direktur Lin memecatmu, Ivy? Apakah kamu sudah berbuat salah padanya? Aku akan berbicara padanya agar kamu tidak jadi dipecat."
Ivy menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak, Kak. Kamu tidak perlu melakukan hal itu. Aku memang melakukan kesalahan yang besar. Tapi aku tidak menyesalinya. Karena aku merasa lebih lega."
"Merasa lebih lega? Kenapa kamu merasa lebih lega?" heran Nick.
Ivy menyunggingkan senyuman puas. "Karena aku berhasil menampar Presiden Direktur Lin."
Seketika Nick melotot kaget. "KAMU MENAMPARNYA?"
Ivy terkekeh melihat Nick begitu terkejut. "Aku tahu kamu sangat mengagumi Presiden Direktur Lin, Kak Nick. Tapi aku tidak bisa mentolerir mulut sampahnya itu."
"Memang apa yang dia katakan sehingga membuatmu merasa marah."
"Ah, aku masih ingat jelas kata-katanya. Aku akan mengulanginya untukmu. 'Didepanku kamu tersenyum dan membungkuk. Tapi di belakangku kamu menghinaku seenaknya sendiri. Bukankah kamu begitu munafik sehingga aku muak melihatnya. Wanita miskin dan bodoh sepertimu tidak akan mengerti bagaimana menjalankan perusahaan ini.' Begitulah katanya." Ivy mengatakan setiap kata sama persis seperti yang dikatakan oleh Ariel.
Nick menghela nafas berat. Dia bisa memahami mengapa Ivy tidak bisa menahan amarahnya. Ariel sudah berkata keterlaluan. Sehingga tidak heran Ivy menamparnya.
"Jangan khawatirkan aku, Kak. Aku bisa mencari pekerjaan lain." Ucap Ivy terlihat masih bersemangat meskipun sudah kehilangan pekerjaan.
Nick menghela nafas berat. "Aku akan menghubungi teman-temanku untuk mencari tahu apakah ada lowongan pekerjaan atau tidak. Nanti aku akan menghubungimu lagi jika ada kabar."
"Terima kasih, Kak." Ivy tersenyum dan memeluk Nick.
***
Ivy berjalan menyusuri jalan menuju rumahnya. Kedua tangannya membawa kardus berisi barang pribadinya yang dia bawa dari kantor. Besok dia tidak akan bekerja. Ivy tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Tapi yang lebih penting adalah…
Bagaimana aku harus memberitahu Mama jika aku dipecat? Pikir Ivy dengan ekspresi sedih.
Wanita itu sampai di ujung gang dan mulai berbelok. Tatapannya tertuju pada restoran kecil milik ibunya yang ada diujung jalan. Langkah Ivy terhenti saat melihat meja dan kursi tergeletak kacau di lantai. Sendok dan sumpit pun berserakan diatas lantai beserta bahan makanan lainnya. Lalu Ivy bisa melihat ibunya tengah berlutut di lantai memunguti sumpit dan sendok di lantai. Segera wanita itu berlari berlari menghampiri ibunya.
"Ma? Apa yang terjadi? Apakah mereka datang lagi?" Tanya Ivy berlutut di samping sang ibu dan meletakkan kotak miliknya di lantai tepat di sampingnya.
Wanita paruh baya itu yang mengenakan celemek pink kusam itu menoleh. Saat itulah tubuh Ivy membeku di tempat. Dia bisa melihat pipi kiri Lusi memerah seperti habis ditampar. Seketika tubuh Ivy bergetar melihat kondisi sang ibu. Dia bisa merasakan rasa takut, panik yang pasti dirasakan sang ibu. Tapi Ivy justru bertindak bodoh dengan menampar Ariel yang berujung dirinya dipecat. Dia merasa bersalah karena tidak bisa membantu ibunya.
"Maafkan aku, Ma. Maafkan aku." Ivy mulai menangis.
Lusi terkejut melihat air mata membasahi pipi putrinya. Kemudian wanita berusia empat puluh lima tahun itu memeluk putrinya. Dia mengelus punggung Ivy dengan begitu lembut.
"Kamu tidak salah apapun, Ivy. Untuk apa kamu minta maaf?" Lusi menyandarkan kepalanya pada kepala Ivy.
"Aku minta maaf karena tidak bisa melindungi Mama. Aku minta maaf tidak bisa membantu Mama. Aku minta maaf tidak bisa memberikan kehidupan yang lebih baik lagi. Aku berpikir jika aku bisa bekerja, aku bisa membantu Mama melunasi hutang. Tapi aku justru bersikap egois dan membuat aku dipecat. Aku benar-benar minta maaf."
Lusi pun bisa memahami kenapa tiba-tiba putrinya menjadi lebih cengeng dari biasanya. Wanita dengan rambut yang dikuncir di belakang kepalanya itu melepaskan pelukannya. Dia menghapus air mata putrinya yang terus mengalir.
"Ivy, apakah kamu tahu aku sangat beruntung memilikimu? Kamu adalah anak yang sangat baik. Kamu tidak pernah merengek meminta mainan karena kamu tahu aku tidak memiliki banyak uang. Kamu juga tidak pernah mau ikut kegiatan di luar sekolah dengan alasan kamu ingin belajar di rumah. Padahal kamu tidak ingin aku mengeluarkan uang untuk kegiatan itu. Kamu tidak hanya pintar, tapi kamu juga sering membantuku. Aku sudah sangat bahagia. Jadi jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri atas apapun yang menimpa keluarga kita. Karena Mama tidak pernah menuntut apapun darimu. Jadi tidak masalah jika kamu tidak bisa membantu Mama membayar hutang. Karena Mama tidak pernah memintanya. Mama hanya ingin kamu hidup untuk dirimu sendiri. Melihatmu tersenyum bahagia sudah cukup untuk Mama."
Ivy tidak bisa menahan air matanya lagi. Dia kembali memeluk sang itu. "Aku menyayangi Mama."
Lusi mencium puncak kepala putrinya. "Aku juga menyayangimu, Ivy."
***
Ariel menatap bayangan wajahnya di cermin meja riasnya. Wajahnya sudah dibersihkan dari make up. Tak ada ekspresi apapun di wajah wanita itu. Di tempat lain, Ivy juga tengah menatap wajahnya di cermin yang digantung di dinding kamar mandi.
"Jika saja aku bisa menjadi orang lain." Ucap Ariel dan Ivy bersamaan.
Keduanya menghela nafas bersamaan. Ariel berdiri dan berjalan menuju ranjang berukuran Queen sizenya. Dia menyibakkan selimut dan masuk ke dalam ranjang yang sangat nyaman itu. Wanita itu menoleh ke samping dan melihat fotonya bersama ayahnya. Tangannya mengambil pigura itu dan mengelus foto ayahnya. Lalu dia teringat ucapan Ivy siang tadi.
Semua orang di sekelilingmu bersikap munafik, karena sikapmu sendiri. Sikapmu yang tak pernah memikirkan perasaan orang lain yang membuat semua orang bersikap seperti itu padamu. Sehingga sampai selamanya tidak akan akan ada orang yang bersikap tulus padamu, Presiden Direktur Lin. Selamanya kamu hanya akan sendiri sampai kamu mati.
"Apa dunia Papa selalu dipenuhi dengan sandiwara? Kenapa Papa tidak mengajakku pergi dari dunia yang jahat ini? Aku sangat lelah." Tetesan air mata keluar dari sudut matanya.
"Ingin sekali rasanya aku menghilang sejenak." Ariel menutup matanya dan menghirup nafas panjang lalu mengeluarkannya guna menenangkan dirinya. Dia meletakkan kembali pigura ke meja. Matanya menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih bersih.
"Satu hari lagi yang panjang bisa kamu lewati, Ariel. Besok kita akan mulai bertarung lagi." Ucap Ariel sebelum akhirnya menutup matanya untuk beralih ke dunia mimpi.
Di tempat lain Ivy sudah berbaring di atas ranjang. Wanita itu melihat ke arah ibunya yang sudah tertidur. Wanita itu terlihat lelah membuat Ivy sedih.
"Aku pasti akan bekerja keras membayar hutang itu, Ma. Dan aku akan membuat kita bahagia."
Ivy menunduk untuk mencium pipi ibunya sebelum akhirnya merebahkan tubuhnya. Matanya melihat ke langit-langit kamarnya yang berwarna cream kusam.
"Besok aku pasti akan berjuang keras mencari pekerjaan." Tekad Ivy sebelum akhirnya tertidur.
Di luar kamar, hujan deras mengguyur kota Guangzhou. Petir dengan keras menyambar. Hingga tidak ada yang tahu Tuhan telah menjawab doa dua anak manusia.
***