Chereads / Tunangan CEO Yang Tertukar / Chapter 3 - 3. Nenek Sihir

Chapter 3 - 3. Nenek Sihir

Seorang pelayan meletakkan piring salad sayuran yang dicampur dengan udang tepat di hadapan Ariel. Sedangkan pelayan lain meletakkan sepiring steak daging sapi lengkap dengan sayuran di hadapan Allan. Setelah itu kedua pelayan itu pergi meninggalkan mereka agar Ariel dan Allan bisa menikmati makanannya.

"Sepertinya mood-mu benar-benar buruk. Apakah pekerjaan membuatmu frustasi?" tanya Allan mengiris daging steak di hadapannya dan memakannya.

"Bukan urusanmu, Allan. Sudah kukatakan aku tidak mau membicarakan pekerjaan denganmu." Ariel melayangkan tatapan tajamnya ke arah tunangannya.

"Baiklah, baiklah. Aku tidak akan bertanya apapun lagi tentang pekerjaan. Kalau begitu bagaimana jika kita membicarakan tentang pesta ulang tahun kakekku." Allan menyunggingkan senyuman membuat pria itu terlihat semakin tampan terutama karena dia memiliki lesung pipi.

Ariel memicingkan matanya. "Pesta ulang tahun kakekmu? Kapan diadakan?"

"Dua hari lagi. Karena itulah aku ingin membelikanmu gaun untuk ke pesta itu."

Ariel pernah bertemu dengan kakek Allan saat pesta pertunangannya dengan pria itu. Meskipun terlihat menyeramkan, tapi Arthur Feng termasuk pria yang ramah. Dan Ariel tidak mengalami kesulitan menghadapinya.

"Kamu bisa menjemputku nanti malam. Kita bisa memilih pakaian yang serasi." Ariel menyendok salad miliknya dan memakannya.

Allan menganggukkan kepalanya. "Baiklah. Aku akan menjemputmu sepulang kerja nanti."

***

Ariel sudah kembali ke perusahaannya setelah Allan mengantarkannya. Dia memilih pergi ke toilet lebih dahulu sebelum kembali ke ruangannya. Saat Ariel menyentuh gagang pintu dan hendak membukanya, dia bisa mendengar suara seseorang.

"Mentang-mentang pemilik perusahaan hanya bisa marah-marah dibalik mejanya tanpa tahu apa-apa. Wanita dingin, arogan, sombong dan menyebalkan. Dasar Ariel si nenek sihir."

Bibir Ariel menyunggingkan senyuman sinis mendengar hinaan itu. Kemudian dia membuka pintu kamar mandi itu dengan kasar sehingga membuat Ivy terlonjak kaget.

"Nenek sihir?"

Saat itulah Ivy bisa melihat pantulan Ariel dari dalam cermin. Kemudian dia menoleh untuk meyakinkan dirinya apakah yang dilihatnya memang benar-benar bosnya. Kemudian Ariel teringat dengan ucapan Nick.

Aku berpikir sebaiknya kalian menjaga ucapan kalian. Bagaimana jika seseorang mendengar ucapan kalian dan melaporkannya pada Nona Lin? Kemungkinan besar dia akan memecat kalian.

Oh, tidak. Apakah aku akan dipecat? Aku sudah mengusik singa yang tidur. Kamu benar-benar bodoh, Ivy. Omel wanita itu dalam hati.

"Jadi 'Nenek sihir' adalah sebutan untukku?" tanya Ariel berjalan menghampiri Ivy.

Ivy segera menggeleng. "Tidak, Presiden Direktur Lin. Anda salah dengar."

Ariel tersenyum sinis. Langkahnya berhenti tepat di hadapan Ivy. "Salah dengar? Dasar munafik."

Ivy melotot kaget mendengar ucapan wanita kejam di hadapannya. "Apa yang kamu katakan?"

"Didepanku kamu tersenyum dan membungkuk. Tapi di belakangku kamu menghinaku seenaknya sendiri. Bukankah kamu begitu munafik sehingga aku muak melihatnya. Wanita miskin dan bodoh sepertimu tidak akan mengerti bagaimana menjalankan perusahaan ini."

"Wanita miskin dan bodoh? Bukankah anda sudah sangat keterlaluan dengan ucapan anda, Nona Lin? Aku menyebutmu nenek sihir karena kamu tidak bisa menghargai hasil pekerjaan orang lain. Kamu tidak tahu bagaimana Kak bekerja keras untuk proposal itu tapi mulutmu yang sampah itu tidak bisa menerimanya dengan baik." Ivy tampak tersinggung mendengar hinaan Ariel.

"Mulut sampah? Memang kenapa? Apakah kamu tidak terima dengan ucapanku? Kamu seharusnya sadar dimana posisimu berada. Kamu hanya sekretaris Nick Si. Karena itu sampai kapanpun kamu tidak akan bisa menjadi diriku. Lebih baik kamu bereskan barang-barangmu, karena hari ini adalah hari terakhir kamu bekerja di sini." Ariel tersenyum sinis ke arah Ivy sebelum akhirnya berbalik meninggalkan wanita itu.

Tapi sebelum Ariel mencapai pintu, Ivy melangkah menghampiri wanita itu. Dia menarik bahu Ariel dan melayangkan sebuah tamparan yang sangat keras.

"Wanita jalang, apa yang sudah kamu lakukan, HUH?" bentak Ariel sangat kesal. Dia menyentuh pipinya yang berdenyut.

"Aku memang wanita miskin dan bodoh seperti yang kamu katakan. Tapi setidaknya aku masih memiliki hati untuk tidak melukai perasaan orang lain. Apa kamu tahu mengapa semua orang di sekelilingmu bersikap munafik, Presiden Direktur Lin?"

Ariel terdiam tak menjawab pertanyaan Ivy. Karena dia sendiri pun tidak memiliki jawaban atas pertanyaan itu.

"Semua orang di sekelilingmu bersikap munafik, karena sikapmu sendiri. Sikapmu yang tak pernah memikirkan perasaan orang lain yang membuat semua orang bersikap seperti itu padamu. Sehingga sampai selamanya tidak akan akan ada orang yang bersikap tulus padamu, Presiden Direktur Lin. Selamanya kamu hanya akan sendiri sampai kamu mati." Ivy berjalan pergi meninggalkan Ariel yang tampak terguncang mendengar ucapan Ivy. Seakan ucapan wanita itu menusuk tepat di tengah hatinya. Membuat kepercayaan diri Ariel hancur berkeping-keping.

***

"Ariel, Ariel, kamu mendengarku?"

Seseorang memanggil dan mengguncangkan bahu Ariel sehingga membuat wanita itu tersadar dari lamunannya. Dia bisa melihat Allan berdiri di hadapannya dengan tatapan cemas.

Ariel pun tersadar sekarang dirinya sedang berada di butik ternama untuk memilih gaun yang akan digunakan ke pesta ulang tahun kakaknya. Namun sejak pertengkarannya dengan Ivy, Ariel tidak bisa mengenyahkan ucapan Ivy dari dalam pikirannya.

"Ariel, apakah kamu baik-baik saja? Bahkan pipimu tampak merah. Apakah seseorang menamparmu?" Allan menyentuh pipi kiri Ariel yang tampak memerah karena tamparan Ivy.

Ariel menepis tangan Allan dengan kasar. "Apa karena aku adalah Presiden direktur Salute, Allan?"

Allan memicingkan matanya menatap Ariel. "Apa maksudmu, Ariel?"

"Aku tahu kita bertunangan untuk menguntungkan perusahaan kita. Jadi jangan melibatkan perasaanmu. Berhentilah berpura-pura perhatian padaku. Karena aku membencinya. Aku sedang tidak mood memilih gaun. Kamu pilihkan saja dan kirim ke rumahku. Aku akan memakai apapun yang kamu berikan padaku."

Ariel berjalan meninggalkan Allan yang terbengong melihat sikap wanita itu. Bahkan tatapan Allan tidak bisa lepas dari punggung wanita yang berjalan semakin menjauh darinya.

"Jika saja kamu tahu aku tidak berpura-pura, Ariel. Aku benar-benar menyukaimu." Ucap Allan menghela nafas. Dia merasa dirinya begitu menyedihkan.

Diluar Ariel mengambil ponsel dari dalam tasnya. Dia segera memanggil seseorang.

"Ada apa, Nona Lin?" Terdengar suara Calvin dari ujung telpon.

"Calvin, aku akan mengirimkan posisiku saat ini. Jadi kamu bisa menjemputku sekarang."

"Baik, Nona Lin." Tanpa bertanya Calvin segera menutup telpon.

Ariel menunggu di taman di depan butik. Dia duduk di salah satu bangku untuk menunggu sekretarisnya. Tak lama kemudian mobil sedan hitam berhenti tepat di hadapannya. Ariel berdiri lalu masuk di kursi penumpang di samping Calvin. Kemudian mobil itu pun melaju pergi. Calvin yang sedang menyetir tampak melirik ke arah Ariel yang sedang menatap keluar jendela. Dia bisa melihat bosnya itu tampak lebih murung daripada biasanya.

"Jika aku bukan Presiden Direktur Salute apa semua orang akan memperlakukanku berbeda, Calvin?" tanya Ariel tanpa mengalihkan pandangannya dari luar jendela.

"Kenapa tiba-tiba anda berkata seperti itu, Nona Lin?" Calvin tampak tak mengerti apa yang Ariel maksud.

"Mereka hanya bisa tersenyum dan berlaku manis padaku padahal tujuan mereka hanya ingin mengambil keuntungan dari Salute. Aku muak melihat mereka. Jika saja aku terlahir menjadi orang lain."

"Padahal semua wanita ingin menjadi anda, Nona Lin. Wanita yang kaya, cantik, pintar dan memiliki tunangan yang tampan, aku yakin banyak gadis rela menukar apapun untuk menduduki posisi anda."

Ariel mendengus tak percaya. "Mereka tidak mengerti dalam hidupku hanya dikelilingi orang-orang yang berakting dihadapanku. Banyak orang yang siap menjatuhkanku. Dan mungkin banyak orang yang ingin membunuhku. Karena itu aku berharap bisa menjadi gadis biasa."

***