Ivy menempelkan plester berwarna cream ke pipi Nick setelah membersihkan sedikit darah yang keluar.
"Sudah selesai." Wanita itu terlihat puas dengan hasil pekerjaannya.
Nick yang duduk di hadapan Ivy menyunggingkan senyuman. "Terima kasih, Ivy. Dan juga terima kasih sudah membantuku saat rapat tadi." Pria berusia dua puluh delan tahun itu mengambil kacamata yang diletakkan di atas meja lalu mengenakannya.
"Kamu tidak perlu berterima kasih, Kak. Itu sudah menjadi tugasku. Tapi apakah kamu tidak apa-apa, Kak?"
Nick menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku tidak apa-apa. Ini hanya luka kecil. Bahkan sudah tidak terasa sakit lagi."
Ivy menghela nafas berat. "Bukan itu yang aku tanyakan, Kak. Aku bertanya mengenai perasaanmu. Padahal Kakak sudah bekerja keras mempersiapkan proposal ini. Tapi wanita penyihir itu dengan jahatnya melemparkannya ke muka Kakak."
Tiba-tiba pintu ruangan Nick terbuka terlihat tiga karyawan yang berada dalam devisi Produk langsung melangkah masuk. Ren Wei, Jane Wu, dan Elvira Liu berbaris menatap Nick dan Ivy.
"Apakah benar proposal yang kita buat ditolak, Kak?" tanya pria berkacamata tebal, Ren Wei.
Jane Wu yang mengenakan dress merah sexy itu mengusap air matanya dengan saputangan berwarna merah. "Aku sudah menduganya. Penyihir itu tidak akan semudah itu menyetujui proposal kita."
Sedangkan Elvira Liu meninju tangannya yang gempal dengan tatapan kesal. "Penyihir jahat itu! Kalau saja aku bisa, aku ingin menghajarnya sampai babak belur."
Ivy menganggukkan kepalanya setuju dengan ucapan teman-teman kerjanya. "Aku juga ingin menghajarnya. Penyihir itu dengan kejam melemparkan proposal kita di wajah Kak Nick."
Ren, Jane, dan Elvira melotot kaget mendengar ucapan Ivy. Membuat kebencian mereka terhadap Ariel semakin besar. Nick menghela nafas berat melihat sikap mereka. Meskipun dia senang mereka marah untuk hasil pekerjaan mereka yang tidak dihargai, tapi tetap saja dia tidak suka jika semua orang menjelekkan Ariel.
"Sudah, jangan marah-marah dulu. Kalian terlalu cepat mengambil kesimpulan. Nona Lin tidak sepenuhnya menolak proposal kita. Dia mengatakan jika kamu bisa melakukan survei yang menunjukkan produk ini bisa menguntungkan perusahaan, maka Nona Lin akan memberikan izin." Nick berusaha menyemangati rekan-rekan kerjanya.
Sayangnya ucapan Nick bukannya membuat mereka senang, tapi justru bahu mereka melorot kecewa.
"Bukankah ini sama saja ditolak?" Ren mulai menangis.
Jane menganggukkan kepalanya. "Benar, Ren. Ini sungguh kejam. Penyihir itu kita melakukan survei itu mudah apa?"
"Aku semakin ingin menghajarnya." Elvira meninju-ninju telapak tangannya.
"Aku berpikir sebaiknya kalian menjaga ucapan kalian. Bagaimana jika seseorang mendengar ucapan kalian dan melaporkannya pada Nona Lin? Kemungkinan besar dia akan memecat kalian." Nick mengungkapkan kalimat yang mengerikan itu dengan senyuman menghiasi wajahnya.
Seketika wajah Ivy, Ren, Jane, dan Elvira memucat. Mereka menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak, aku tidak mau dipecat. Aku masih membutuhkan pekerjaan ini." Ucap Ivy.
"Aku juga tidak mau dipecat. Nanti bagaimana aku bisa memberi makan Ikan?" Ren mengingat anjing berjenis Bichon Frisé warna putih miliknya.
"Kalau aku dipecat, aku tidak bisa membeli kosmetik yang aku inginkan." Sedih Jane.
"Aku juga tidak bisa makan enak." Elvira mengelus perutnya yang gendut.
Nick senang mereka menyadari betapa pentingnya pekerjaan ini. "Kalau begitu sebaiknya kalian kembali bekerja. Elvira, persiapkan produk untuk diuji coba. Jane buat lembar kuesioner berkaitan dengan produk White Cell DNA. Dan untukmu Ren, cari dan survei tempat yang cocok untuk mengadakan survei. Cari tempat yang kira-kira dikunjungi wanita berumur dua puluh tahun ke atas."
"SIAP, PAK!" Seru Ren, Jane dan Elvira bersamaan sebelum akhirnya berjalan meninggalkan ruangan Nick untuk mengerjakan pekerjaan yang diberikan oleh Nick.
"Kenapa aku merasa kamu membela Nona Lin, Kak Nick?" tanya Ivy membuat pria dengan tinggi seratus delapan puluh tiga sentimeter itu menoleh.
"Apa maksudmu, Ivy? Aku tidak membela siapapun." Nick menggeser kursinya sehingga kembali seperti semula kemudian dia duduk di atasnya.
Ivy yang tidak terima jawaban itu mengambil pena yang hendak digunakan Nick untuk kembali bekerja. "Jangan membohongiku, Kak. Apakah kamu menyukai Nona Lin? Karena itulah kamu tidak ingin kami menjelek-jelekan dia?"
Nick mendongak dan melihat sekretaris yang sudah bekerja selama dua tahun bersamanya. "Sebenarnya bukan suka, tapi lebih tepatnya adalah aku mengaguminya."
Seketika Ivy melotot kaget mendengar ucapan atasannya. "Mengaguminya? Bagaimana bisa Kakak mengagumi wanita kejam seperti itu? Dia bahkan memperlakukanmu dengan sangat buruk dan tidak menghargai hasil kerja kerasmu. Tapi kakak masih mengaguminya?"
Nick menganggukkan kepalanya. "Dia melakukannya karena ingin yang terbaik untuk perusahaan Saluter, Ivy. Dan ya, aku masih mengaguminya. Aku sudah bekerja di sini sebelum Nona Lin menggantikan mendiang Tuan Dylan Lin. Pertama kali melihatnya, dia berbeda sekali dengan sekarang. Dia gadis yang tak akan kamu duga menjabat menjadi sebagai Presiden Direktur di sini. Nona Lin dididik dengan begitu keras oleh ayahnya untuk menjadi penerusnya. Meskipun terkadang aku melihatnya menangis tapi dia tak pernah mengeluh dan pantang menyerah. Karena itulah aku mengaguminya."
Ivy tidak menyangka melihat binar kekaguman terpancar di mata Nick. Dia tidak bisa mengerti kenapa Nick masih mengagumi wanita kejam itu. Jika Ivy menjadi dia, pasti Ivy akan membenci Ariel. Tapi Ivy sadar jika dia tidak bisa memaksakan seseorang untuk berhenti mengagumi orang lain. Hal itu juga berlaku untuk Nick.
"Apakah masih ada yang ingin kamu bicarakan, Ivy? Karena aku membutuhkan penaku untuk merencanakan survei." Nick menunjuk ke arah pena yang masih dipegang oleh Ivy.
Wanita yang saat ini mengenakan kemeja biru yang dipadukan dengan sweater coklat tanpa lengan itu langsung memberikan pena itu kembali kepada pemiliknya.
"Kalau begitu aku akan ke toilet dulu. Permisi." Ivy berjalan keluar menuju pintu ruangan Nick.
Setelah keluar dari ruangan itu Ivy bisa melihat Ren, Jane dan Elvira menoleh ke arahnya. Tapi tanpa berkata apapun Ivy memilih pergi dari ruangan itu.
"Ada apa dengan Ivy? Apakah dia bertengkar dengan Pak Nick?" tanya Jane penasaran.
Ren mengangkat kedua bahunya. "Entahlah, yang pasti itu bukan urusan kita."
Elvira menganggukkan kepalanya. "Benar, kita harus bekerja dan membuktikannya pada penyihir itu."
Mereka bertiga menganggukkan kepalanya. Seketika api semangat berkobar-kobar di mata mereka. membuat mereka bertiga semakin bersemangat untuk bekerja.
Sedangkan di dalam toilet wanita, Ivy membasuh wajahnya dengan air. Kemudian dia mengambil tisu dan mengelapnya. Tatapannya tertuju pada pantulan dirinya di cermin. Kemudian dia teringat saat Ariel melemparkan kertas proposal ke wajah Nick. Hal itu membuat Ivy semakin membenci wanita itu.
"Mentang-mentang pemilik perusahaan hanya bisa marah-marah dibalik mejanya tanpa tahu apa-apa. Wanita dingin, arogan, sombong dan menyebalkan. Dasar Ariel si nenek sihir." Gerutu Ivy kesal.
"Nenek sihir?"
***