"Masih belum dibalas?" tanya Edgar.
Terlihat wajah kusut milik Ben di depan mata. Mereka sedang bolos sekarang, menghabiskan waktu di rooftop sekolah.
Anak-anak geng Vayrez yang lain juga ikutan, terkecuali Oscar. Sudah pasti ketua OSIS teladan itu enggan melanggar aturan.
"Lagian lo kebangetan sih. Untung cuma di usir, kalo dibantai gimana? Udah ngelayat kan kita," cerca Ellio. Tangannya sibuk memainkan game di ponsel, sementara posisinya yang rebahan di sofa memakai paha Alen sebagai bantal membuat pemuda itu berdecak.
Sudah berkali-kali ia jauhkan bocah itu darinya, tapi sikap keras kepala Ellio memaksanya pasrah.
"Kai juga udah gue hubungi, tumben banget dia gak balas."
Ben pun melirik Alen yang bersuara. Teman-temannya sudah tahu kejadian dirinya dengan Gabriella semalam. Apalagi jejak memar di tangan kanan itulah penyebab mereka bolos sekolah.
Para sahabatnya merasa kasihan pada ketua Vayrez yang tampak menyedihkan. Lalu sepakat untuk tidak mengikuti pelajaran.
Walau Oscar mengetahui itu, akhirnya ia memilih untuk tidak menghukum mereka. Tentunya dengan beberapa sogokan berupa uang jajan yang tak sedikit jumlahnya.
Memang teman setan sekaligus mata duitan.
"Lagian lo ribet banget, kalau suka ya gas aja. Kenapa pake ttm-ttm an gitu sih? Heran gue," Edgar mencibirnya. Wajar saja ia begitu, siapa juga yang tidak jengah dengan sikap Ben?
Bahkan Alen tadi hampir saja mencekik leher ketuanya saat menceritakan itu semua. Benar-benar bodoh menurutnya dan sangat tidak peka.
"Lagian kalian kan sama-sama suka, kalau lo takut keluarga lo kecewa ya lepasin aja Ella. Lo pikir ada yang tahan apa dijadiin selingkuhan. Dia tuh cewek ya, sahabat lo pula, tega bener lo jadi orang," Ellio pun geleng-geleng kepala.
Ia sudah berhenti bermain game dan membenarkan duduknya. Sorot matanya sekarang melirik sinis sang sahabat. Ben hanya tertunduk mendengarkan ocehan.
"Sebenarnya apa sih alasan lo gak mau pacaran sama Ella?" sekarang giliran Edgar yang bertanya. "Lo suka kan sama dia? Kalau iya putusin aja pertunangan lo sama Adria."
Tapi entah kenapa Ben malah mengepalkan tangan. Respons itu membuat Alen juga Roma menyipitkan mata. Namun atensi mereka teralihkan karena Ellio mengangkat panggilan secara tiba-tiba.
"Halo, Kai. Lo di mana? Kok baru telepon sekarang."
Begitu mendengar nama itu semuanya sontak memandangi ketua klub basket secara bersamaan.
Di satu sisi lawan bicara Ellio sedang memainkan kukunya. Dengan mata tetap terfokus pada televisi yang menampilkan siaran.
"Aku di apartemen."
"Lo gak sekolah? Kenapa? Gue dengar dari Ben, Ella sama lo ya," tanya sosok di seberang.
"Iya. Kami ketiduran ya jadinya begitu. Tapi bukannya sekarang masih jam pelajaran ya? Kok bisa telponan? Jangan-jangan kamu sama yang lain bolos ya."
Ellio yang mendengarnya malah cengengesan. Walau tak terlihat oleh Kaia, tapi anak-anak Vayrez di sekitar memandang aneh sang pemuda.
"Ngapain lo? Sawan?" Edgar menyela. Ucapannya sontak membuat ketua klub basket terbelalak.
"Diam lo!"
Kaia membisu. Mengernyitkan dahi akibat bentakan Ellio di seberang telepon. "Kamu suruh aku diam?"
"Eh bukan gitu, Kai! Gue nyuruh si Ed, bukan lo kok. Sorry ya jangan tersinggung."
"Oh, kirain aku tadi."
Namun belum sempat membalas ucapan Kaia, Ben merebut ponsel Ellio begitu saja. Sekarang beralih dirinya yang berbicara dan topiknya jelas-jelas tak jauh dari sosok Gabriella.
"Kai, Ella masih di apartemen lo kan? Gue ke sana ya sekarang."
Gadis itu langsung mengedarkan pandangan jengah. Untung saja hanya dirinya di dalam kamar, karena kalau sampai ekspresi barusan terlihat Gabriella, entah apa yang akan dikatakan olehnya.
Bagaimanapun Kaia tak pernah memamerkan raut seperti itu selain tampang ramah penuh senyuman di depan teman-temannya. Namun sekarang penampakan tak bersahabat terlontar di muka.
"Yakin kamu mau ke sini? Ella masih kesal lho."
"Gue harus bicara sama dia," Ben bersikukuh.
Pegangan di ponsel kian erat sekarang. Garis rahang Kaia juga menegas seolah menyiratkan kebencian. Benar-benar sosok yang berbeda dari biasanya.
"Aku tanyain dulu ya biar gak kayak semalam. Kamu tenang aja, Ben. Aku pasti bakalan bujuk Ella. Oke?"
Butuh sejenak waktu bagi sang pemuda untuk menyetujui. Tapi dirinya juga tak punya pilihan karena apa yang diucapkan Kaia merupakan kebenaran.
Selesai mandi Gabriella kembali duduk bersama pemilik apartemen di kamar.
Sesekali matanya melirik sekitar dan terhenti pada rupa tenang gadis di sebelah.
"Kai," panggilnya tiba-tiba. "Gue boleh tanya sesuatu gak?" Walau tidak melirik, anggukan menjadi balasan. Dan Gabriella tak ragu lagi melontarkan hal yang membuatnya penasaran. "Kita udah temanan lebih dari setahun lho, tapi gue kok gak pernah lihat nyokap sama bokap lo? Mereka ke mana? Gak tinggal bareng lo?"
Kaia terdiam. Walau sorot mata tetap fokus ke televisi dengan tenang, namun gemuruh di dada tidak baik-baik saja. Tangan dan kakinya perlahan berkeringat. Temannya yang menyaksikan kebungkaman itu pun mengerutkan dahi.
"Kai?" panggilnya membuyarkan lamunan.
"Nyokap sama bokap gue sibuk kerja, El. Makanya jarang kelihatan."
"Kerja apa?"
"Jualan makanan."
Dua kata namun menimbulkan keanehan. Lebih dari setahun mereka berkenalan tapi orang tua gadis itu tidak pernah menampakkan muka. Padahal Gabriella sudah sering ke apartemennya, dan foto keluarga sukar ditemukan.
Setelah dipikir-pikir, putri Ahmadia memang tidak tahu apa pun tentang temannya. Kecuali Kaia itu sosok yang lemah lembut dan peka.
Tak peduli orang memakai gue dan lo dalam berbicara, tutur bahasanya tetap sopan menanggapi. Dan dia selalu menyunggingkan senyuman.
Menilik apartemen juga mobil yang dipakai, temannya agak ragu dengan profesi berjualan orang tua Kaia. Tapi ia tak ingin bertanya lagi, takutnya nanti malah menyinggung perasaan.
"Kalau memang sulit buat lo cerita, gue gak bakalan maksa kok. Tapi lo perlu tahu, Kai. Kalau gue akan selalu ada buat lo," Gabriella tiba-tiba merangkulnya.
Perlakuan mendadak itu membuat Kaia membisu. Tanpa disadari perlahan senyum miring tercetak di muka. Dan ia pun menenggelamkan wajah di ceruk leher Gabriella.
"Terima kasih."
Menjelang sore barulah Gabriella pulang ke rumah. Dengan diantar Kaia agar Aldo tak begitu marah. Alasan kondisi wajah putri Ahmadia yang tak memungkinkan untuk sekolah, rupanya bisa diterima pria itu.
Walaupun nyatanya dalam menjelaskan Kaia sedikit menyindirnya. Entah ayah temannya peka atau tidak, senyuman juga bujukan untuk sering-sering membantu Gabriella dalam belajar juga tercetus ketika berbicara.
Aldo bahkan tak terlihat bersalah setelah menyakiti putrinya.
Dan sepanjang perjalanan pulang hanya muka dingin yang tertera. Saat pengamen di lampu merah meracaukan hiburan, ataupun ketika seorang anak gadis menyodorkan setangkai mawar sebagai dagangan, gadis pengendara jeep unlimited tetap enggan tersentuh keadaan.
Begitu mobilnya melewati area tanah pemakaman, dia berhenti. Melirik sinis pada salah satu gundukan di kejauhan dan bergumam.
"Nyokap sama bokap gue memang sibuk kerja, El. Mereka sibuk di mimpi gue."