Chereads / Pseudo : THE CHEATER'S SONG / Chapter 14 - 14. Bernand Shiruma

Chapter 14 - 14. Bernand Shiruma

Suara bersin menggelora di dalam sebuah sedan hitam. Pelakunya seorang pria berusia sekitar 35 tahun. Tapi penampakan rupa serta dandanan miliknya terlihat jauh lebih muda. Rambut undercut, satu anting hitam di telinga kiri, setelan serba gelap tanpa jas dan dasi, ditambah sebatang rokok  hinggap di antara jari-jari tangan kanan.

"Sial, korek apinya mana?"

"Tolong jangan merokok di dalam mobil," sosok yang menjadi supir memperingatkan. Tampaknya ia jauh lebih muda dari pria di sampingnya. Rambut acak-acakan, baju kaos putih yang di bungkus kemeja senada sebagai luaran. Jeans serta sneakers gelap untuk bawahan, dan jangan lupakan mata panda di wajah tampannya.

"Cih! Kau terlalu banyak aturan."

Tapi sang supir tidak peduli. Sorot matanya tetap fokus ke depan, pada jalan raya yang sialnya dipenuhi kemacetan.  

Seharusnya ia tidak lupa kalau ini hari minggu, jadi bisa memilih rute tikus atau motor sebagai kendaraan.

"Bagaimana kabar Ava?" tanya pria yang terpaksa membuang rokoknya begitu saja.

"Baik."

"Dia tidak aneh-aneh kan?"

"Aneh apanya?"

"Berbuat gila."

Sang supir mendengus sebal. Pandangannya mengedar sesaat akibat mobil sudah bisa dilajukan. Walau sesekali klakson kendaraan lain begitu berisik akibat tak sabaran, sosoknya malah ikut-ikutan. 

"Dia tidak akan melanggar janjinya."

"Benarkah? Aku jadi ragu, apalagi kalau melihat dirimu."

Pengemudi itu berdecak kasar. Tadi kemacetan, sekarang ponselnya yang mengganggu kenyamanan. Minggu ini benar-benar menjadi hari tersialnya karena tidak bisa tidur dengan tenang.

"Memangnya aku kenapa?"

"Kau penuh dendam."

"Kau menyuruhku menjemputmu pagi-pagi buta brengsek! Seharusnya kau cari saja taksi untuk pulang!"

Sosok yang di umpat terkekeh pelan. Atensinya teralihkan pada ponsel rekannya itu, dengan lancang memeriksa panggilan. Terlihat sosok bernama Devan Samilio menghubungi dan sudah lima kali. Tapi semuanya tidak di jawab.

"Aku heran, bagaimana bisa pak tua itu betah denganmu? Kalau aku, sudah kucari saja CEO lain menggantikan dirimu."

Akan tetapi di saat yang bersamaan namun lokasi berbeda, suasana mencekam menghiasi ruang tamu kediaman Kaia. Siapa lagi kalau bukan Karina penyebabnya.

Pembelaan yang dilakukan sang keponakan benar-benar tak bisa diterima.

"Bisa-bisanya kamu membela pria itu? Dia orang asing Ava! Dia tak ada hubungannya dengan kita! Seharusnya kamu itu sadar kalau dia hanya ingin harta Dirvia saja!"

Tuan rumah yang mendengar bentakan tidak terlihat ketakutan. Wajahnya tetap tenang dan bahkan tak sedikit pun mengalihkan pandangan. Sepupunya juga sudah ikutan geram. Karisa sesekali menyela dan meledek kebodohan Kaia, seolah-olah hanya sosoknya serta sang ibu saja yang pintar.

"Tapi dia tidak terlihat seperti itu."

"Memangnya dia harus terlihat seperti apa? Perampok! Kamu itu mana mengerti urusan begituan! Yang kamu tahu itu cuma belajar dan sekolah. Jangan sampai gara-gara kebodohan kamu, harta kakakku jatuh ke tangannya. Masih belum terlambat untuk kamu menghubungi Devan, Ava. Dan biarkan tante yang mengurus semuanya. Karena bagaimanapun juga, tante itu adik ayah kamu. Cuma tante satu-satunya orang yang pantas jadi wali kamu!" 

Wajah Karina memerah setelah melontarkan semua itu. Deru napasnya juga memburu seperti kekurangan pasokan oksigen di rumah Kaia.

Terlihat secercah guratan puas karena telah berhasil menyampaikan semua unek-uneknya. Bagaimanapun juga keponakannya itu harus segera sadar. Kalau membiarkan Bernand Shiruma sebagai walinya merupakan sebuah kesalahan.

Walau penyebabnya tak lain adalah Kris Dirvia sendiri. Padahal ia punya putri yang berhak untuk menjadi wali Kaia juga kembarannya. Tapi dengan cerobohnya pria itu menunjuk Bernand sebagai penanggung jawab kekayaan sang putra.

Berharap sosoknya bisa mengelola aset Kenan dengan baik sampai cucunya mencapai usia legalnya.  

Tiba-tiba tawa muncul memecah suasana. Milik seorang pria yang masuk tanpa permisi. Di sisinya ada laki-laki bertampang lelah. Mereka berdua adalah sosok pengendara sedan tadi.

Karina yang melihat kehadiran tidak diharapkan pun semakin marah. Diraihnya tas di sofa dan berlalu sambil menarik lengan putrinya.

Mereka pergi tanpa pamit bahkan menorehkan tatapan tajam pada dua pendatang itu. Sementara Kaia hanya diam saja tidak mencegatnya.

"Padahal masih pagi tapi sudah membahas harta gono-gini," cibir pemilik tawa. Langkahnya mendekati Kaia namun seenak hati duduk di sofa.

Sementara laki-laki satunya lagi menuju ruang makan. "Ayo sarapan," ajaknya sembari berjalan. Gadis pemilik rumah mengangguk dan menuruti langkahnya.

"Wah ... Tuan Dom, Tuan Bernand, anda ke sini?" sapa Arma.

"Iya. Gimana kabar Bibi?"

Wanita itu tersenyum sambil menyiapkan piring saji. "Baik, Tuan."

Sedangkan Bernand, begitu duduk sosoknya langsung memakan apel di meja. Sesekali matanya melirik interaksi Domario dengan Arma dan berakhir pada muka datar Kaia.

"Ava, bagaimana sekolahmu?" tanyanya dengan mulut masih dipenuhi apel.

"Baik."

"Benarkah?" Kaia mengedarkan pandangan malas. Tak menjawab dan memilih menyantap sajian nasi goreng di depan mata. Hal yang sama juga dilakukan Domario. Laki-laki itu duduk di seberang sambil menatap lekat sang gadis muda. Ikut mengabaikan ucapan Bernand yang agak jengkel dengan keduanya. "Benar juga, sudah kuputuskan. Kamu akan tinggal di rumah Dom mulai sekarang."

"Apa!" ucap Domario dan Kaia bersamaan.

"Kau gila?" laki-laki itu menatap tak percaya.

"Kenapa? Lagi pula kalian bersaudara kan? Walau cuma angkat."

Kaia terdiam tapi raut wajahnya melukiskan keengganan. Pertanda kalau sosoknya jelas tidak setuju dengan keputusan Bernand. Diraihnya segelas juice dan meminumnya sebelum memutuskan bersuara.

"Apa kamu yakin? Keputusanmu menyusahkan, Tuan Bernand."

Pria itu tersenyum miring. Entah apa yang ada di otaknya sementara tangan kirinya sibuk mengaduk sajian di piring. Penampakan telur mata sapi menawan sekarang berantakan. Kedua penonton di pinggiran hanya melirik aneh padanya.

"Aku akan lebih senang jika kamu langsung di bawah pengawasan."

"Lalu rumah ini?"

"Biarkan saja. Lagi pula selama ada aku, wanita cantik itu takkan bisa apa-apa."

"Tapi aku tinggal di apartemen, Bernand," Domario menyela. 

"Pindah ke rumahmu, Dom. Dan bibi," tatapannya beralih pada Arma yang berada tak jauh dari mereka. "Tolong bereskan barang-barang Ava, dia akan pindah."

"Baik, Tuan."

Mendengar itu kakak-beradik di meja makan hanya bisa melanjutkan sarapan. Tak ada lagi yang dapat mereka lakukan selain patuh pada keputusan.

Walau Bernand tak ada ikatan darah dengan keduanya, tapi itu tidak menolak kenyataan kalau dirinya merupakan wali Kaia juga Domario.

Dua koper milik gadis itu sudah berada di ruang tamu. Seorang bodyguard membawanya, memasukkan ke sedan Domario. Walau mukanya tak menyiratkan kehangatan, namun perlakuan sopan tetap dipancarkan Kaia.

Arma juga beberapa pekerja lain tampak melepas kepergian majikan muda mereka sambil beruraian air mata.

Padahal gadis itu hanya pindah kediaman, lokasinya tak jauh bahkan bisa ditempuh sekitar 15 menit berkendaraan. Tapi para bawahannya pastilah kesepian. Mengingat mereka sudah bersama semenjak Kaia masihlah di dalam kandungan ibunya.

Jelas tak mudah untuk berpisah lagi setelah semua yang dilalui bersama-sama.