Rooftop.
Menjadi saksi dari kegalauan seorang pemuda. Siapa lagi kalau bukan Ben Emanuel Alkarki.
Sungguh ia tak menyangka, kalau pertengkarannya dengan Gabriella tadi pagi benar-benar melumpuhkan kerja otaknya. Sehingga tak bisa berpikir normal selain membayangkan bagaimana perasaan gadis itu sekarang.
Semua ingatan dari emosi yang dilontarkan sang sahabat menari terus bersamanya.
Tiba-tiba helaan napas pelan terdengar dari sosok yang masuk ke sana dan menggelengkan kepala.
"Ngenes bener lo bos," lirih orang itu dan duduk di sofa terbengkalai lainnya. "Rokok?" sodornya.
Ben berdecak mendengar tawaran di depan mata. "Lo gila? Ini sekolah."
"Terus?"
"Sialan lo!" umpat ketua geng Vayrez. Posisinya yang bersandar di punggung sofa pun bergeser menjadi rebahan. Ia menatap tak percaya laki-laki itu. Di mana tangannya dengan cekatan menyalakan pemantik untuk membakar ujung rokok di tangan kanan. "Bisa-bisanya ketua OSIS kek lo ngerokok. Otak lo emang udah rusak, Os."
Lawan bicara yang mengembuskan asap dari mulutnya itu tertawa. Seolah-olah merasa lucu dengan lirihan teman gengnya. Perlahan ia tarik kacamata di wajah dan memasukkan benda tersebut ke saku jas sekolah.
"Selama gak ketahuan gak masalah kan? Nih, mana tahu lo juga mau," sahutnya sambil melempar sebungkus rokok tadi.
Sontak Ben langsung menangkapnya namun menaruhnya begitu saja di pinggiran sofa. Ia tak berniat meniru Oscar karena sosoknya memang bukan perokok seperti sang teman.
Entah sejak kapan ketua OSIS itu mulai melakukannya tapi satu hal yang pasti, di antara teman-temannya hanya dirinya yang kecanduan.
Bahkan ia juga orang pertama yang mengotori anak-anak geng Vayrez untuk ikut ke club dan merasakan pesona dunia malam. Ditambah uang sebagai raja dunia jelas mempermudah mereka berlalu lalang walau saat itu usia masih belum mencapai batas legalnya.
Walau tak terlibat dengan obat-obatan ataupun wanita penggoda, tapi menilik latar belakang keluarganya yang sangat baik dan terpandang jelas itu akan mempengaruhi mereka kalau sampai ketahuan.
"Masih mikirin Ella?" Ben tidak menjawab. Pertanyaan itu seakan melebur ke udara bersama embusan angin kasar di sekitar mereka. "Kalau lo cuma anggap dia sahabat, gak masalah kan kalau gue pacarin dia?"
"Maksud lo apa bangsat!" hardik pemuda itu tiba-tiba.
Terlihat guratan emosi terpampang jelas di wajah. Dengan mata menatap tajam, tangannya juga terkepal erat. Menahan diri agar tak menghajar sahabat di depannya.
Oscar hanya tersenyum tipis dan kembali menyemburkan asap rokok. Penampakannya itu justru semakin mempertegas kesan berandal miliknya. Sungguh mencoreng gelar ketua OSIS teladan dan taat aturan di sekolah.
"Lo marah? Padahal gue cuma bercanda."
"Lo pikir yang barusan candaan? Lebih baik lo tutup mulut lo sebelum gue hajar. Gue gak main-main, Os. Gue gak suka Ella dijadikan bahan guyonan. Ingat itu!" ancamnya dan pergi dari sana.
Bahkan pintu rooftop ia banting dengan kasar saking emosinya. Oscar yang menyaksikan itu pun terkekeh pelan.
"Padahal gue beneran bercanda. Untung aja gak di bogem sama dia." Rokok di tangan pun terjatuh begitu saja lalu diinjak. Perlahan pemuda itu menengadah dan menggumamkan kata-kata tak terduga. "Gue gak mungkin pacarin El, Ben. Lagian kan gue suka sama sahabatnya."
Ketika jam istirahat tiba Gabriella memilih tidak ke kantin. Sebagai gantinya Kaia lah yang membeli makanan. Tapi langkahnya justru terhenti karena melihat sosok tak asing di persimpangan koridor.
Tatapan yang saling bertemu mengejutkan salah satunya. Dan Kaia menyeringai sekilas sambil memasang kode agar orang itu mengikutinya.
"Mau apa lo?"
Gadis berambut cepol itu dengan sigap mendudukkan dirinya di pinggiran wastafel. Menatap sinis lawan bicara dan mengundang gemuruh di perasaan sosok yang menyaksikan.
"Gak ada ucapan terima kasih? Gue udah berbaik hati lho bikin lo gak dapat hukuman," sindirnya.
Agnes yang mendengar lirihan barusan terkejut. Masih tak menyangka kalau gadis di depan mata tidak lemah lembut seperti gosip di luar sana.
Tak diragukan lagi kalau pujian seberapa sopan tutur kata serta sikapnya tidak lebih dari sekadar omong kosong belaka.
"Muka dua," Agnes mencibir.
Tapi Kaia tak peduli. Tangan yang bersedekap di dada melambangkan keangkuhan serta senyum miring di bibirnya, mempertegas kalau sosoknya enggan berpura-pura di depan putri Donatur itu.
"Lo nyindir gue? Lo pikir kita dewa? Sudah jelaslah kalau manusia itu bermuka dua," ucapnya sambil terkekeh pelan. Salah satu tangannya terangkat sambil memamerkan kuku. Dan dengan anggun Kaia pun meniupnya.
"Apa mau lo sebenarnya? Gue tahu kalau ulah lo yang bikin gue gak jadi dihukum itu ada tujuannya."
Perlahan Kaia kembali meliriknya. Memang seperti perkataan Agnes, gadis itu memiliki niat lain sehingga rela beradu argumen dengan Oscar tadi pagi agar para pembully tak jadi dihukum dan dipanggil orang tuanya.
Walau laporan itu sudah sampai ke telinga guru tapi dengan kegigihan Kaia, Agnes serta teman-teman hanya mendapatkan teguran tanpa hukuman.
"Gue mau lo jadi temen gue."
"Hah?" Agnes terbelalak. Masih mencerna ucapan barusan, takut kalau telinganya sudah rusak dan salah menangkap lirihan. Nyatanya adik kelasnya itu hanya menatap datar. "Gue gak salah dengar? Lo! Lo mau gue jadi temen lo? Lo gila?!"
Tak ada jawaban. Tatapan tenang Kaia seakan sudah memperjelas apa yang diinginkan olehnya. Agnes yang menyaksikan itu pun terkesiap. Sampai pembicaraan mereka buyar karena pintu kamar mandi terbuka dan menampilkan dua siswi kelas satu yang hendak masuk.
"Eh," salah satunya tergagap. Tampak ragu untuk melangkah setelah melihat siapa yang ada di dalam. "M-maaf, Kak. Kami gak bermaksud mengganggu, sekali lagi maaf!" ia pun menarik tangan temannya agar bisa kabur dari sana.
Akibat ulahnya yang membiarkan pintu terbuka, Kaia pun berdecak kasar. Ia turun dari wastafel dan mendekati Agnes. "Pilih, Agnes. Jadi teman gue atau fakta aborsi lo gue sebar sekarang juga. Keinginan gue gak rumit kan? Anggap aja kalau gue cewek kesepian," selesai mengatakan itu dirinya pergi dari sana.
Meninggalkan putri Donatur sekolah yang masih membeku di tempatnya. Jelas gadis itu bertanya-tanya apa yang sebenarnya diinginkan Kaia sampai meminta kakak kelas sepertinya menjadi seorang teman.
Benar-benar tak tertebak dan membuat tidak nyaman.
Sepeninggalan Kaia, Gabriella dibuat meradang. Sudah sejak tadi ia menunggu sahabatnya, tapi gadis itu masih tidak menampakkan muka. Dan sekarang justru ketua geng Vayrez yang muncul di pintu UKS.
Semakin menusuk ketenangan putri Ahmadia karena masih merasa sakit hati pada sahabat laki-lakinya.
"Eh, Kai. Baru ke kantin lo?" pertanyaan dari Edgar itu berhasil menghentikan langkahnya. Ia dan anak-anak geng Vayrez berpapasan di koridor. Sambil dihiasi tatapan memuja kaum hawa tak sedikit pula yang melirik sinis ke arah Kaia.
"Iya, tadi kan habis temenin, Ella."
"Mending lo cepetan ke kantin deh sebelum bel keburu bunyi. Mau gue temenin gak?"
Gadis itu menggeleng. "Gak usah, aku sendiri aja. Aku duluan ya," pamitnya yang diikuti tatapan aneh Alen.
"Kenapa lo lihatin dia kayak begitu?" bingung Edgar.
Belum sempat Alen menjawab, bel sudah terlanjur berbunyi sehingga mengalihkan perhatian mereka.