Chereads / Pseudo : THE CHEATER'S SONG / Chapter 20 - 20. Rencana perjodohan

Chapter 20 - 20. Rencana perjodohan

Setelah gagal kerja kelompok dengan Kaia, Gabriella sekarang harus dipaksa untuk menghadapi keadaan tak terduga. Sebuah fakta di mana sang kepala keluarga memaksanya untuk hadir pada acara makan malam yang sangat tidak disukainya.

"Apa pun yang akan dibahas nanti, jangan sampai kalian mempermalukan nama Ahmadia. Karena bagaimanapun juga, keluarga mereka merupakan kolega penting bisnis kita," selesai mengatakan itu sosok Aldo pun berlalu meninggalkan istri dan putrinya.

Gabriella berdecih. Dengan wajah yang tidak bersahabat ia pun pergi meninggalkan saudara serta ibu tiri.

"Sepertinya penting banget ya? Sampai-sampai kita disuruh bersiap-siap dari sekarang." Indira pun menoleh pada anaknya. Irena yang sedang memakan cemilan di ruang keluarga kembali melanjutkan ocehan. "Lagian daripada mencemaskan itu, bukannya papa seharusnya lebih khawatir sama anaknya? Putri kandungnya yang pembangkang dan juga keras kepala."

"Hush! Irena," sela ibunya dengan nada tidak suka. Bagaimanapun ia tak ingin jika ucapan putrinya justru akan memicu konflik nantinya. "Jaga bicara kamu, lebih baik kamu segera bersiap dan ajak saudaramu ke butik. Mama gak mau saat papamu pulang tapi kalian masih belum kembali."

Decakan kasar terlontar dari putrinya. "Iya-iya," balasnya dengan langkah malas meninggalkan Indira.

Di kamar terlihat sosok Gabriella sedang bersiap-siap. Walau sebenarnya malas mau tak mau ia terpaksa melakukan itu semua. Karena bagaimanapun dirinya harus pergi ke butik untuk mencari pakaian demi makan malam keluarga mereka.

"Memangnya sepenting apa orang-orang itu? Sampai aku dipaksa seperti ini," keluhnya.

Di satu sisi, Rezil Amar Sargio baru saja kembali. Di sebuah kediaman bergaya kontemporer yang mewah terlihat seorang wanita menyambutnya.

Rambut disanggul tinggi, dengan terusan coklat selutut membuatnya tampak seperti anak muda. Padahal sosok itu sebaya dengan Indira.

"Sayang, akhirnya kamu pulang juga," sapanya sambil merentangkan tangan pada pemuda berseragam basket itu.

"Oh ayolah, Ma. Aku udah besar, gak perlu peluk-pelukan segala," balasnya sambil menggelengkan kepala.

Wanita cantik yang ia panggil mama itu pun memanyunkan bibir. "Iih ... kamu. Padahal dulu kalau pulang sekolah sehari gak peluk mama aja cengengnya minta ampun.

Rezil pun menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Merasa malu saat mengingat kembali masa lalunya. "Jadi, kenapa Mama suruh aku buru-buru pulang?"  

Langkah berhias ketukan high heels itu mendekat ke arah sang putra. "Papa kamu suruh kita bersiap-siap buat acara makan malam."

"Makan malam?"

"Iya, sama kolega. Jadi kamu jangan kelayapan dan dandan yang tampan. Mengerti?" tunjuknya tepat ke wajah Rezil.

"Mm," anaknya pun mengangguk sekilas dan memilih pergi dari sana. Sesampainya di kamar, Rezil pun melempar tasnya ke sembarangan arah. Menidurkan tubuhnya dengan kasar ke ranjang. "Makan malam ya," lirihnya pelan.

Di saat bersamaan namun lokasi berbeda terlihat Kaia sedang menyantap makan siangnya. Ini benar-benar sudah terlambat, mengingat jarum jam menunjukkan pukul 15.54.

Dalam keadaan masih memakai seragam, tangan kirinya sibuk menggeser layar ponsel. Fokus matanya berseluncur di sosial media. Sesekali berdecih entah kenapa.

"Enak banget ya," lirihnya dengan lirikan tajam. "Sementara di sini, ada korban keganasan kalian," entah apa maksud ucapan Kaia, hanya saja di layar ponsel ada foto Irena dan mamanya, juga Gabriella di sebuah butik ternama.

Malam ini di salah satu Hotel berbintang di pusat kota, dalam area privat restoran di lantai tiga, pertemuan antara dua keluarga sedang terjadi di dalamnya. Canda tawa dari kaum dewasa pun menari di sela-sela makan.

Tapi tiga sosok remaja tampak mengukir ekspresi berbeda.

Salah satunya memperlihatkan ketidaknyamanan. Lainnya terlihat sesekali tersenyum dan yang terakhir menebar rasa kagum.

"Perhatian semuanya," selaan yang tiba-tiba dari kepala keluarga Ahmadia menarik atensi mereka. "Malam ini pada pertemuan hangat kita, aku dan juga sahabat baikku Betrand, kami berniat menjodohkan Rezil juga Gabriella sebagai tanda ikatan keluarga."

Semua terbungkam, kecuali bunyi sendok yang berdenting dengan piring milik putri kandung keluarga Ahmadia.

Syok menerpa Gabriella, bahkan mungkin bukan hanya dirinya, tapi hampir semuanya kecuali kedua pria yang menjadi kepala keluarga di sana.

Ini benar-benar di luar prediksi dua sosok yang disebut namanya.

"Bohong," gadis itu berdiri tiba-tiba. "Ini semua bohong."

"Ella," panggil Indira.

"Ini semua pasti bohong. Aku gak mau dijodohkan," suaranya tiba-tiba meninggi. "Apa pun alasannya aku gak mau dijodohkan, titik!"

"Ella!"

Tapi terlambat, gadis itu mengabaikan panggilan sang ayah. Dirinya sudah pergi dari sana, meninggalkan keterkejutan sekitar akan respons miliknya.

"Maafkan aku, aku benar-benar tidak menyangka kalau putriku akan seperti itu."

"Santai saja, Aldo. Kami memakluminya. Mungkin saja putrimu memiliki kekasih yang tak bisa ditinggalkan olehnya." Akhir kata bahkan dihiasi tawa. Walau kepala keluarga Sargio berhasil meluluhkan suasana, namun gemuruh di dada sang putra tidaklah sirna.

Bahkan jika dirinya tidak mengatakan apa-apa, ataupun senyum ramah tetap terpatri di bibirnya, nyatanya sosoknya tidaklah baik-baik saja.

Hati kecil Rezil jelas tak setuju dengan rencana perjodohan konyol yang akan mengekang hidupnya.

Tapi di balik itu semua, mungkin takkan ada satu pun yang menyadarinya. Kalau seseorang telah mengukir ekspresi puas di sana. Merasa senang dengan kebodohan Gabriella yang menentang rencana perjodohan dan pastinya mengundang amarah kepala keluarga.

"Apa maksud Papa?"

Di kediaman bergaya kontemporer itu, pertanyaan Rezil menghentikan pergerakan kedua orang tuanya. Jamuan makan malam telah selesai, kedua keluarga sudah kembali ke rumah masing-masing.

"Apa masih kurang jelas? Papa berencana menjodohkan kamu dengan putri om Aldo."

Decak kasar langsung berkumandang di mulut sang putra. "Dijodohkan? Apa Papa tidak lihat respons anaknya? Dia tidak suka, begitu pula aku. Lebih baik batalkan sebelum kalian menyesali semuanya."

Suasana langsung menegang. Perubahan raut wajah Betrand Sargio membuat istrinya meneguk ludah kasar.

"Pa," panggil Clara dengan suara lembutnya. "Bagaimana jika kita pikirkan ini semua sekali lagi? Lagi pula Rezil dan Gabriella kan masih muda. Biarkan mereka menentukan pilihan."

"Tapi aku dan Aldo—"

"Kalian memang sudah merencanakannya," potong istrinya. "Walaupun cuma perjodohan dan bukan pernikahan, tapi setidaknya biarkan anak kita yang menentukannya. Tanpa itu semua, kalian tetap kolega kan? Bahkan Aldo merupakan sahabatmu sejak dahulu kala."

Tapi keadaan yang tak sama melukiskan peristiwa luar biasa. Jika di kediaman Sargio sosok Clara berhasil menenangkan sang suami agar tidak memarahi anak mereka, Indira justru tak bisa melakukan hal serupa.

Gabriella, ditampar bahkan dihujani cerca oleh sang papa.

"Kurang baik apalagi aku sebagai ayahmu? Kau benar-benar anak tidak berguna!"

Gadis itu tertunduk di lantai. Sambil beruraian air mata perlahan ia gigit bibir bawahnya. Menyalurkan sakit di pipi yang membiru warnanya.  

"Aku tidak mau tahu. Apa pun alasannya, kau harus tetap bertunangan dengan putra Sergio. Atau aku tidak akan segan-segan menarik semua fasilitas yang kau punya, dan mengirimmu ke rumah nenekmu!"