"Ella?!" syok Ben melihatnya.
Sementara Adria tak bisa memalingkan muka dari laki-laki di depan mata, Rezil Amar Sargio. Sahabat Zayuno Araja yang sangat mengusik pikiran.
"Kalian," gumam sosok di sebelah Ella. Tanpa pikir panjang putri Ahmadia langsung menarik tangan pemuda itu. Ia tersentak namun tetap mengikutinya. Namun keduanya harus dikejutkan oleh cekalan dari seseorang.
"El!" panggil Ben tiba-tiba. Bahkan tangannya juga lancang menggenggam lengan gadis itu. Rezil yang menyaksikan hanya menyipitkan mata. "K-kamu di sini?"
"Menurut lo?" kedua pemuda itu terkesiap. Air mata luruh bebas di pipi Gabriella, tapi tak ada kata dari Rezil selain diam menonton keduanya. "Lepasin tangan lo. Lo gak seharusnya pegang-pegang tangan gue di depan tunangan gue. Jaga batasan lo, Ben Emanuel Alkarki."
Bagai guntur turun ke hati, seketika cekalan di lengan pun terlepas. Rasanya tak dapat dilukiskan, selain sudut hati dibuat luka oleh ucapan putri Ahmadia. Sontak sorot mata tajam diarahkan Ben pada pemuda yang tangannya masih digenggam sang sahabat.
"Dia tunangan lo?"
"Bukan urusan lo! Ayo, Zil. Kita pergi," tangan cantik yang gemetaran itu terus menarik calon tunangannya. Mengabaikan dua orang di belakang mereka dan kembali menuju mobil.
Sesampainya di sana isak tangis cukup keras menghiasi putri Ahmadia. Sambil tangan mencengkeram pakaian di dada, lambat laun tubuhnya pun jatuh terduduk di sana. Di atas tanah di depan mobil putra keluarga Sargio.
Tapi entah kenapa Rezil hanya diam saja. Tak berniat menenangkan Gabriella selain memandangi keramaian di depan gerbang masuk pasar malam. Mobil miliknya terparkir tepat di area luar.
"Melihat lo kayak gini, apa mungkin ketua Vayrez itu pacar lo?" tubuh dengan tinggi sekitar 180 cm itu pun bersandar di pintu mobil. "Lebih baik lo masuk sekarang sebelum ada yang lihat dan melabeli gue bajingan." Pintu penumpang dibuka dan dibiarkan begitu saja. "Ayo, El. Apa perlu lo gue gendong?"
Tatapan tajam dari mata yang berair pun mewakili tampilan putri Ahmadia. Di saat perasaannya tersiksa justru laki-laki brengsek ini yang bersamanya. Tak terlihat niat menghibur sebagai calon tunangan selain sikap menyebalkan.
Sungguh Gabriella kesal dan menghentak-hentakan kaki saat memasuki mobil Rezil.
Akan tetapi mungkin keduanya tidak sadar. Jika ada sepasang mata dingin yang melirik tak jauh dari mereka.
Wajah tanpa ekspresi di balik jendela mobil terus mengikuti kepergian Rezil dan Gabriella. Sampai akhirnya atensi sosok itu teralihkan oleh sang supir yang baru datang.
"Maaf lama. Nih, diminum dulu," Domario pun menyodorkan sekaleng minuman berperisa apel. Kaia menerimanya tanpa ucapan terima kasih.
Pikirannya masih berkelana pada orang-orang yang tadi dilihatnya. Tak dapat dipungkiri kalau amarahlah memenuhi air muka. Dan itu semua tidak disadari Domario sama sekali.
Malam ini, menjadi saksi untuk beberapa kegagalan. Gagalnya pembahasan pembatalan pertunangan antara Gabriella juga Rezil. Dan juga gagalnya seorang Ben menghubungi sang sahabat yang disukai.
Frustrasi memenuhi sosok putra Alkarki. Pikirannya kalut saat memikirkan ekspresi teman masa kecil. Air mata yang terurai jelas menjadi tanda seberapa kecewanya Gabriella. Karena tepat di depannya ia menyaksikan langsung kemesraan sang pujaan.
Sebuah ciuman di pipi yang bahkan tak pernah ia dapatkan.
Sementara tersangka yang dihadiahi ciuman juga diterpa kegundahan. Merasa panik memikirkan segala kemungkinan. Bahkan tak ragu menghubungi seseorang, siapa lagi kalau bukan Rezil Amar Sargio di seberang telepon.
"Halo."
"Halo, Zil. Ini gue, Adria. Teman sekelasnya Zayuno. Kita tadi sempat ketemu kan di pasar malam?"
Sosok yang dihubungi mengernyitkan dahi. Heran memenuhi rupa, bertanya-tanya dari mana lawan bicara mendapatkan nomornya. Tapi ia tepis itu semua untuk mengetahui niat perempuan di ujung sana.
"Terus?"
"Oh, i-itu ... gue cuma mau bilang kalau gue sama cowok tadi cuma temenan," dustanya.
Tawa pelan tersembur dari sang pemuda. Merasa lucu dengan kalimat yang mengalir ke telinga. Tampang meledek terpatri di rupa walau takkan terlihat bagi Adria.
"Terus hubungannya sama gue apa?"
Adria terbungkam. Ia juga bingung kenapa dirinya bersusah payah menjelaskan. Hatinya hanya takut pada satu kenyataan, kalau sosok yang tidak diharapkan akan berpikiran macam-macam.
Helaan napas pelan pun mengalir di sela-sela bibir sebagai umpan dalam mencari jawaban.
"Karena lo temannya Zayuno, gue cuma gak mau kalau lo sampai bilang yang enggak-enggak tentang gue dan cowok tadi. Gue rasa lo pasti sudah tahu, kalau gue tertarik sama sahabat lo itu."
"Oh, kalau itu sih bukan urusan gue. Udah ya gue mau tidur dulu," panggilan pun diputus seketika. Adria melotot akan kelancangan laki-laki di seberang sana. Tak ada basa-basi dalam berkata-kata seolah pembicaraan mereka tak penting baginya.
Sungguh Adria geram akan tingkah cuek seorang Rezil Amar Sargio yang dikenal sebagai salah satu mostwanted di sekolahnya.
"Cih! Sialan lo! Sok kegantengan, cowok bangsat!" umpatnya kesal.
"Cuma teman tapi ciuman?" pemuda di kediaman bergaya kontemporer itu terkekeh pelan. "Aneh, mau gimana pun lo jelasinnya, lo tetap bukan tipe idaman sahabat gue," ponsel pun ia lempar ke ranjang. "Ben Emanuel Alkarki ya," gumamnya sambil rebahan di sofa. "Kita lihat sampai kapan lo bisa pegang jabatan yang gak seharusnya."
Di sebuah kamar yang hanya dihiasi cahaya rembulan, seorang gadis menatap nanar pemandangan luar. Tampak olehnya gemerlap gumpalan awan mulai meneteskan isinya.
Hujan.
Secara rinai membasahi daratan. Seakan mengerti kesedihan sang penonton di dalam kamar yang terlarut pada sakit di perasaan.
Kaia Vay Availendra.
Tak terasa kristal bening mengalir di sudut mata. Satu tangannya mencengkeram erat sebuah pigura. Dan sangat mengejutkan kalau itu adalah gambar yang sama dengan di ponsel Zayuno Araja.
"Kenapa? Apa gak cukup Zion dan Axel aja? Sekarang Ezil pun lo ambil, sampai kapan lo bakalan puas? Gue benar-benar benci lo, El."
Pagi ini kekesalan sudah menghiasi Gabriella. Tak hanya karena ocehan cerewet Aldo yang mempertanyakan kedekatan dirinya dan Rezil, itu termasuk sindiran saudara tiri.
"Lo serius mau tunangan sama Rezil? Terus Ben gimana? Lo sering mesra-mesraan sama dia kan?" Langkah putri Ahmadia langsung terhenti, padahal tangannya sudah hampir membuka pintu mobil. "Lo keterlaluan tahu gak? Kalau Rezil tahu gimana? Bisa-bisa keluarganya bilang yang enggak-enggak tentang kita."
Raut wajah Gabriella pun mendingin mendengarnya. Moodnya jelas-jelas sudah memburuk gara-gara semalam, tapi sekarang saudara sialannya ikut menambahkan asam pada luka.
"Tahu apa lo tentang gue? Anak tiri kek lo gak usah mikir kejauhan. Mending lo sekolah aja yang bener dari pada urusin kehidupan pertunangan gue."
"Lo—" kalimatnya langsung terputus saat menyadari kehadiran seseorang dari kejauhan. Seketika senyum miring tersungging di bibir Irena. "Iya juga ya. Ngapain gue urusin anak kandung kayak lo? Yang suka dihina dan dikasarin. Cuma tinggal waktu aja sampai nasib lo kayak nyokap lo, Gabri—"
Suara tamparan langsung menghiasi mereka berdua. Irena, dialah korban dari kekerasan saudara tirinya. Napas yang memburu pun terlukis dari sosok Gabriella nan murka.
"Jaga bicara lo brengsek!"
"Ella!" pekik seseorang tiba-tiba. Gadis itu terkesiap akan suara tak asing di telinga, menatap lebar pada kehadiran pemuda di depan mata. Sialnya isak tangis tercerai berai di mulut orang yang baru saja ditamparnya. "Lo, kenapa lo tampar dia?"
"Ini bukan urusan lo!" sambil beruraian air mata Gabriella memasuki kendaraannya. Mengabaikan teriakan Ben yang menggedor-gedor jendela mobil.
Sekilas lirikan mata mereka bertemu. Tapi gadis itu memilih pergi tepat setelah mengusap kristal bening di pipi.
"Sial!"umpat Ben akhirnya. Dirinya sontak berlari menuju motornya, mengendarainya tergesa-gesa dengan harapan menyusul sahabat yang kecewa.
Tapi mungkin keduanya takkan menyangka, kalau Irena yang masih berdiri di tempat sebelumnya, mulai memasang senyum lebar setelah kepergian mereka.
"Bagus."