Rooftop menjadi tempat persinggahan gadis itu. Tak ada lagi keramahan di wajahnya, semua sirna setelah bentakan pada sang sahabat.
Pasti banyak yang bertanya-tanya kenapa murid sesopan Kaia Vay Availendra, akhirnya memakai kata kasar dalam berbicara pada temannya.
Tak dapat dipungkiri kalau pemandangan semalam memang memicu sifat aslinya. Ia benar-benar benci dan marah melihat kebersamaan Gabriella dan Rezil di pasar malam.
"Ini, serius nih? Gosip El sama Kai," tanya Ellio sambil memainkan ponsel. Di sana terlihat jelas video rekaman Kaia dan Gabriella. Dan bisa dipastikan anak-anak geng Vayrez sudah melihatnya. "Baru kali ini gue lihat Kai kayak gitu. Biasanya aku kamu, sekarang lo gue lho."
Tapi Roma yang mendengarkan terlihat tak peduli. Dirinya tetap fokus dengan komiknya, sampai guru akhirnya masuk ke dalam kelas.
Dan respons yang berbeda terlukis di wajah sang ketua OSIS. Kelasnya juga heboh dengan gosip barusan tapi sosoknya lebih memilih mengabaikan.
Karena bagaimanapun guru sudah datang untuk memulai ajaran.
Menjelang istirahat Kaia tak kembali ke kelas. Tasnya masih tertinggal di meja pojokan diiringi tanda tanya memenuhi pikiran orang-orang, kenapa gadis teladan itu bolos di jam pelajaran.
Walau beberapa murid yakin kalau penyebabnya mungkin saja pertengkarannya dengan Gabriella pagi tadi.
"El," panggil Rio si ketua kelas. "Lo sama Kaia ada masalah apa?"
Mata gadis itu menyipit sempurna. Satu hal yang pasti, dirinya tak begitu akrab dengan siswa di kelas. Tapi Kaia berbeda, dirinya cukup aktif dan sering diajak bercengkerama. Terlebih oleh pemuda di hadapan putri Ahmadia.
Bahkan tak jarang perhatian juga diberikan Rio kepadanya.
"Gak ada."
"Lo yakin? Tapi Kaia—"
"Bukan urusan lo," selesai mengatakannya ia memilih pergi dari sana. Meninggalkan tatapan penasaran murid-murid di sekitar. Gosip pun disemarakkan oleh mereka.
"Lo lihatkan? Gue yakin si Ella pasti udah lakuin sesuatu yang enggak-enggak. Kalau gak, gak mungkin kan Kaia semarah itu?"
"Iya tuh, sok banget mentang-mentang primadona. Cantik aja siapa tahu dia jalang. Lihatkan gimana centilnya dia sama anak-anak geng Vayrez? Apalagi sama Ben. Jijik gue lihatnya."
"Bener tuh, sok kecakapan."
Dan masih banyak lagi sindiran dari siswi cewek lainnya. Rio sang ketua kelas hanya bisa menggelengkan kepala, melirik sekilas ke arah tas Kaia di ujung sana.
Muka memerah dan sedih tak dapat dienyahkan dari wajah Gabriella. Jangan lupakan pula tatapan sinis pengikutnya. Sayangnya semua di dominasi kaum hawa dengan dengki menggelora.
"El!" panggil seseorang.
Namun sosoknya tetap mengabaikan. Walau pandangan diedarkan suara di belakang tak mampu menembus pendengaran.
"El!" tepukan di bahu berhasil menyentak kesadarannya. Ia terperangah saat mendapati dua remaja laki-laki menghampiri. "Lo kenapa sih? Gue panggil dari tadi juga."
"Sorry, gue gak dengar," ekspresi bersalah terlihat jelas di wajah sang gadis.
Edgar dan Alen pun saling melirik sekilas. Sekarang gantian putra Maravel yang bersuara. "Lo sebenarnya ada masalah apa sih?"
Perlahan kepala tertunduk itu terangkat. Matanya juga berkaca-kaca membuat kedua laki-laki di hadapan merasa iba. Akhirnya Alen dan Edgar pun mengajaknya ke taman belakang sekolah.
Berbeda dengan di rooftop, keheningan terasa nyata. Antara seorang gadis berwajah datar dan lawannya yang tampak tenang. Sebotol minuman diberikan sosok berkacamata. Lirikan matanya begitu lekat pada perempuan di sebelah.
Angin kasar berkumandang di antara mereka. Menghempaskan surai berkuncir milik Kaia. Tanpa aba-aba sentuhan lembut Oscar memegang rambutnya, menyelipkan ke belakang telinga.
Kaia tak sedikit pun menoleh. Fokus mata ke depan sana menyiratkan sebuah makna. Dan ketua OSIS itu sadar ada beban berat menghimpit hati pujaannya.
Ya, tak perlu ditutupi lagi kalau gadis di sampingnya inilah pemilik hati Oscar Fujioka.
"Kalau ada masalah, lo bisa cerita. Gue siap kok dengerin semuanya." Perlahan botol minuman di tangan ditaruh ke pinggiran. Kaia masih belum menerima, jadi tak ada alasan bagi sang pemuda terus memegangnya. Dan sekarang tanpa keraguan ia elus lembut kepala sosok yang disukainya. "Kai?"
"Gue rasa—" kalimatnya tertahan jeda. Seperti ada beban di mulut untuk mengatakan lanjutan. Suara embusan napas panjang menghiasi Kaia. Dirinya menoleh ke arah ketua OSIS.
"Kai?"
"Lo tahu, Os? Gue rasa lebih baik kita berjauhan. Karena jalan kita memang terlalu berseberangan."
Kaia pun langsung bangkit dari duduknya. Bahkan bukan hanya dirinya, Oscar juga sama. Sofa tua yang tampak usang namun layak pakai tergeser ke belakang akibat tingkah kasar sang pemuda.
"Maksud lo apa?" cengkeraman di lengan memaksa Kaia menundukkan kepala. Entah apa yang ada di otaknya, tapi tampaknya Oscar takkan melepaskan dirinya begitu saja.
"Gak ada."
"Kai!"
"Lepasin gue, Os." Gadis itu berusaha menepis tangannya.
"Lepas?" suara pemuda itu tiba-tiba memberat. Bukan hanya perubahan nada bicara, raut wajahnya ikut mendingin di depan Kaia. Sepertinya sang gadis muda baru saja memantik emosi terpendam ketua OSIS SMA Astoris Panama. "Setelah lo seenaknya bilang kayak gitu sekarang lo mau pergi gitu aja? Lo pikir gue bakal biarin itu semua? Gak, Kai. Jelasin sama gue apa maksud lo sebelumnya."
Tapi atensi keduanya teralihkan oleh nada dering ponsel Kaia. Oscar langsung melepaskan cengkeraman begitu gadis itu mengambil benda pipih di saku. Raut wajahnya terlihat tidak bersahabat. Ia berdecak kasar dan jelas baru pertama kali bagi sang pemuda melihat ekspresinya.
Jujur ia sangat terkejut mendapati sisi baru pujaan hati di depan mata.
"Halo?"
"Halo, Non," jawab sosok di seberang telepon.
"Ada apa?"
"Rumah sakit telepon, Non. Katanya den Zion ngamuk-ngamuk terus manggil nama Non."
Raut muka masam, itulah tampilan yang memenuhi rupa seorang Kaia. Tak peduli tatapan penuh selidik yang disematkan ketua OSIS padanya, dia tak ingin lagi berpura-pura.
Tidak di saat otaknya sedang dipenuhi sosok kembarannya. Tanpa aba-aba Kaia berbalik dan hendak pergi dari sana, namun cekalan Oscar menghentikan langkahnya.
Jangan lupakan tatapan dingin yang menggetarkan dada. Benar-benar asing untuk orang yang menyaksikan perubahan Kaia. Seolah-olah dirinya adalah gadis yang berbeda.
"Apa?" suaranya terdengar berat. Sambil mematikan panggilan, ia tepis pelan sentuhan di lengan. Memiringkan kepala menunggu jawaban Oscar, tapi entah kenapa perawakannya juga terlihat menantang lawan.
Oscar tertegun sejenak sebelum mengeluarkan isi hatinya.
"Sebenarnya lo kenapa? Apa maksud lo sebelumnya? Tolong jelasin ke gue, Kai. Atau gue bakalan mimpi buruk melihat perubahan lo yang kayak gini."
Mendengarnya Kaia mundur sejenak. Ia terkekeh pelan entah kenapa, dan jangan lupakan senyum miring di bibir ranum itu, ukiran yang mencoreng keramahan miliknya.
Sekarang dia terlihat lebih angkuh dan sulit digapai. Bohong jika Oscar tidak merasa risih, karena perubahan Kaia seakan membangun tembok tinggi untuk mendekatinya.
Ia tak sanggup kehilangan gadis yang biasanya selalu mengisi hati namun belum digenggam sepenuhnya.
"Gue?" sambil menunjuk diri sendiri. "Gue gak kenapa-kenapa." Perlahan dirinya mendongak menatap langit. "Mungkin gue hanya kecewa, karena sudah lelah berpura-pura." Ia tiba-tiba tersenyum, anehnya guratan di wajah tak seperti perkataannya. Tersirat luka di sana dan Oscar yakin kalau gadis di depannya tidak baik-baik saja. Perlahan dirinya mendekat namun Kaia menggeleng dan terus mundur ke belakang. "Seandainya waktu bisa diulang gue harap kita gak pernah ketemu, Oscar."