Rezil terlihat tak percaya dengan kalimat yang baru saja dilancarkan Zayuno. Gelengan kepala darinya hanya dibalas kekehan pelan sang sahabat.
Tapi alunan kalimat selanjutnya benar-benar di luar perkiraan.
"Kalau seandainya Vay, gimana? Lo mau?"
Rahang Rezil menegang. Sorot matanya tiba-tiba menajam, suasana berubah mencekam seakan ocehan barusan adalah kata terlarang. Tak ada suara yang terdengar hanya tatapan bermain di sana dan mungkin mereka sudah sama-sama tahu apa isi pikiran masing-masing.
Ziovay Avadirvia.
Seorang anak remaja berperawakan seperti laki-laki lincah. Bahkan mungkin keduanya akan terus mengira sosoknya begitu sampai seorang Renaldo Adiomas membawakan fakta, membongkar siapa sebenarnya teman masa lalu mereka.
Kalau nyatanya sahabat yang terus bersama dari kelas satu SD adalah perempuan manis pemilik segudang rahasia. Dia dan kembarannya benar-benar menghantui Rezil dan Zayuno dengan hilangnya keberadaan mereka.
Di tengah kemelut pikiran yang melanda, ponsel salah satu dari mereka berdering. Sang pemilik mengernyitkan dahi merasa heran kenapa nama asing itu menghubungi.
"Halo."
"Halo, Rezil? Ini gue Gabriella anaknya om Aldo. Gue dapat nomor telepon lo dari nyokap lo," jelasnya. Jujur saja pemuda itu juga serupa, dia mendapatkan nomor telepon pihak yang menghubungi lewat ibunya.
Berharap agar mereka lebih akrab tapi Rezil cuma menyimpannya. Tak berniat mendekatkan diri sama sekali.
"Oh, terus ada apa?" suaranya terdengar datar. Mengundang tatapan penasaran sang sahabat. Wajahnya terlihat begitu tak berminat seakan sosok di seberang telepon benar-benar gangguan kehidupan.
"Bisa ketemu gak? Gue—"
"Gak bisa, gue sibuk," ucapnya tanpa pandang bulu. Sungguh lancang, memotong kalimat yang belum terselesaikan. Muka memerah langsung menghiasi Gabriella, dirinya geram dan berharap bisa memukul lawan bicara.
Seumur-umur baru kali ini ada pemuda yang sangat jutek padanya dan putri Ahmadia itu jelas takkan membiarkan penghinaan barusan.
"Oh, sibuk? Padahal gue mau bahas rencana pertunangan kita. Gue mau membatalkannya!" tekannya dengan emosi menggebu-gebu. Bahkan pegangan di ponsel berubah menjadi cengkeraman seperti ingin menyalurkan amarah terpendam.
"Oke. Kapan ketemuannya?" Gabriella terbelalak. Benar-benar tak menyangka kalau laki-laki ini akan merespon cepat jika berkaitan dengan pembatalan pertunangan. Batinnya mengumpat merasa direndahkan, tapi setidaknya sudut hati juga bersyukur kalau Rezil tak punya perasaan padanya.
Berarti mereka tidak saling suka dan harapan gagal bersama semakin nyata.
"Nanti malam gimana? Tapi lo jemput gue ke rumah."
"Oke."
"Dan tolong minta izin sama bokap gue, biar dia gak sadar sama rencana kita."
"Hm ... sudah ya, gue matiin."
Dan benar saja, Rezil langsung memutus panggilan. Menimbulkan decakan kasar Gabriella dengan tindakan seenaknya. Tak menyangka kalau ini akan sangat lancar namun tak menolak kenyataan jika anak kolega ayahnya begitu menyebalkan.
"Kenapa lo senyum-semyum begitu?" Zayuno tampak kebingungan. Perubahan ekspresi yang tiba-tiba dari temannya seketika membuatnya tidak nyaman.
"Lo tahu?"
"Tahu apaan? Lo belum ngomong."
"Shit! Dengar dulu!" anak lelaki Sargio itu mendadak kesal. "Ternyata tuh cewek mau bahas rencana pembatalan pertunangan! Bukannya ini keberuntungan gue?! Gue harus siap-siap!" dirinya langsung berdiri dari duduknya. Meraih tas dan tak henti-hentinya melebarkan senyuman. Bahkan kedipan gila juga ditebarkan sembarangan. Zayuno yang menyaksikan hanya memasang muka jijik padanya. "Gue cabut dulu. Dadah, Yuno."
Dan jangan lupakan lambaian tangannya yang menghilang setelah keluar kamar. Tawa pelan bersenandung di mulut temannya, sambil diiringi gelengan kepala mengingat tingkah seorang Rezil Amar Sargio.
Tak dapat dipungkiri kalau sosok itu mampu menghiburnya, dan hanya dia satu-satunya sahabat Zayuno yang tersisa. Tapi sekarang justru ekspresi dingin terpatri di wajah. Dan perlahan matanya menyusuri pemandangan di dalam layar ponsel.
Menampilkan sebuah foto yang sama seperti sebelumnya. Di mana enam anak remaja tersenyum lebar termasuk dirinya dan Rezil salah satunya.
Langit sore telah bersembunyi. Tergantikan oleh hiruk-pikuknya kegelapan malam. Dan penerangan dari lampu-lampu bangunan juga jalanan menghiasi sepanjang kawasan.
Bisa terlihat oleh Kaia, kalau gumpalan awan gelap tampak nyata. Mungkin tak lama lagi hujan akan membasahi mobil milik kakaknya.
"Makan di mana?"
"Terserah."
"Restoran keluarga?"
"Boleh," tapi tatapan gadis itu terfokus ke luar jendela. Penampakan di seberang begitu bercahaya. Tampak keramaian menghiasinya, hal wajar dari sebuah pasar malam di tengah kota.
Domario melirik adiknya. Dan beralih pada sumber atensi Kaia, lambat laun senyum hangat pun terpatri di bibir.
"Mau ke sana?"
"Apa—"
"Pasar malam."
Tak ada jawaban. Namun dirinya terlihat jelas berpikir keras. Tanpa menunggu persetujuan Domario langsung mengarahkan kendaraan. Memecah jalanan menuju tempat yang sudah lama tak di datangi mereka.
Begitu turun dari mobil ekspresi Kaia seperti orang kebingungan. Sang kakak yang menyadarinya pun menggenggam tangannya.
"Ayo, kapan lagi kita menikmatinya? Sekalian kita cari jajanan di sana."
Kaia sangat lambat dalam menanggapi kalimat kakaknya. Laki-laki itu sudah terlanjur menariknya, memasuki kawasan dengan berisik para penikmat malam.
Cukup aneh karena hujan belum datang. Padahal gemuruh telah terdengar dan sekitar tak panik karenanya. Bagi mereka yang penting tetaplah menikmati sensasi di sana.
"Mau naik apa? Kakak lapar, makan dulu gimana?"
"Oke."
Dan di kediaman mewah yang dikenal sebagai tempat tinggal keluarga Ahmadia, terlihat sosok Aldo begitu menyambut calon tunangan putrinya. Merasa puas dengan hubungan mereka berdua.
"Kalau begitu kami pergi dulu, Om."
"Baik, hati-hati di jalan. Dan Rezil, saya titip Gabriella karena bagaimanapun dia itu putri kesayangan saya."
Tak lupa bahu sang pemuda disentuh kepala keluarga itu. Sayangnya anak gadisnya tiba-tiba merasa ingin muntah. Bisa-bisanya orang yang sering menamparnya mengatakan omong kosong di depannya.
Benar-benar mengerikan dan bermuka dua.
"Ke mana?" Rezil mulai menghidupkan mesin mobil.
"Cafe aja." Baru menempuh delapan menit perjalanan tanpa pembicaraan, Gabriella pun mengganggu fokus Rezil. "Zil! Zil! Rezil! Kita ke pasar malam aja. Gue udah lama gak ke sana!" pekiknya dengan tampang semringah.
"Yang benar aja, kita mau bahas pembatalan pertunangan lho."
"Gue tahu, tapi kita bahasnya di sana aja sekalian jalan-jalan."
"Cih! Iya! Iya!" bahkan pemuda itu tak ragu berdecih di dekatnya. Gabriella tak peduli karena pasar malam merupakan destinasi kesukaannya. Dia juga sudah cukup lama tak pergi ke sana. Terakhir dengan Ben, dan ketika mengingat sosok itu batinnya meradang.
Mengingat sang pemuda sudah jarang mengajaknya jalan-jalan malam. Apalagi karena kesibukan Ben yang dipaksa kakeknya untuk belajar mengurusi bisnis keluarga. Walau ada sang kakak yang akan menjalankan kekuasaan utama, namun dirinya juga dituntut harus serba bisa.
Demi melebarkan sayap bisnis Alkarki yang sudah harum namanya.
"Iih, Ben! Cobain!" suara dari sosok cantik itu terlihat memaksa pasangannya. Tapi sang pemuda terus menolak permintaan Adria karena ia enggan mencicipi jajanan milik gadis di depannya. "Kenapa sih? Kamu jijik makan satu sendok sama aku?" ia terlihat kecewa.
"Bukan begitu, Dri. Masalahnya aku sudah kenyang. Kamu aja yang makan ya?"
"Alasan! Padahal ini makanan kesukaan kamu. Bilang aja kalau kamu itu jijik sama aku, iya kan?"
"Dri, bukan git—"
"Sudahlah! Capek ngomong sama aku! Aku pulang!"
"Dri! Adria!" Ben pun mengejarnya. Tetesan demi tetesan kristal bening mulai membasahi pipi, dan langkah terburu-burunya berhasil disusul laki-laki yang memegang lengannya. "Adria, kamu—"
Tapi sosok itu memilih membuang muka. Dia sudah terlanjur kecewa dengan sikap sang pemuda. Padahal banyak orang yang berpacaran saling bermesraan di depan mereka, namun sebagai tunangan pasti Adria tak bisa melakukan hal yang sama.
Walau sudah menyatakan perasaan, jawaban masih mengambang seperti di tiang gantungan. Bahkan jika mereka bertunangan, Adria hanya bisa menyentuh raga pasangannya dan sayangnya hati sang pemuda tetap bukan miliknya.
Dia jelas-jelas ingin memiliki Ben seutuhnya dan mencengkeram sang pemuda dengan sikap mesra mereka.
"Dri, dengar dulu," lirihan Ben diiringi sentuhan lembut ke pipi tunangannya. Perlahan ia usap air mata sehingga memaksa Adria menatap lekat padanya. "Aku bukannya jijik makan satu sendok sama kamu. Aku benar-benar kenyang, Dri. Tapi kalau kamu maunya begitu, bakal aku lakukan. Sekarang suapi aku," ia melirik tangan gadis itu. Namun tak ada jajanan yang tadi digenggamnya. "Makanannya mana?"
"Udah aku buang," ketusnya.
Senyum pun tersungging di bibir Ben. Ia elus lembut kepala Adria dan berganti memegang tangannya. "Nah, sekarang gimana? Kalau kita beli makanan lain aja gimana? Kamu masih lapar? Atau mau coba naik wahana?"
"Aku mau ciuman."
"Apa!" Ben terbelalak. Memandang tak percaya Adria dan berharap kalau dirinya barusan salah dengar.
"Aku mau ciuman."
"Ciuman apa? Di sini gak ada jajanan yang namanya ciuman," Ben masih mencoba tetap bercanda.
Namun Adria malah menunjuk bibirnya sendiri. Bongkahan lembut yang terlihat ranum di balik polesan berwarna coral. "Ciuman di sini. Boleh?"
Ben sontak menggelengkan kepala. "Gak lucu, Adria." Mata gadis itu terlihat berkaca-kaca. Lambat laun sang pemuda mengedarkan pandangan. Menghela napas jengah dengan tingkah tunangannya saat bersamanya. Tanpa aba-aba satu kecupan disematkan pada pipi merona Adria.
Mengundang senyuman lebar merekah di rupa indah sosok di depan mata.
"Makasih sayang," Adria pun memeluknya. Seakan dunia milik berdua mereka melupakan keramaian lalu lalang di sekitar.
Sayangnya kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Tidak setelah keduanya menyaksikan sosok di seberang kanan.
Gabriella Leona Ahmadia dan juga Rezil Amar Sargio.
Satunya meneteskan air mata sedangkan lainnya hanya menatap datar mereka. Tapi pemuda itu tersadar akan sesuatu hal, sebuah keanehan saat putri keluarga Ahmadia tiba-tiba mencengkeram tangannya.