Kaia berdecih.
Tak peduli dengan orang-orang yang sudah meninggalkan kantin, dirinya memilih memesan makanan. Seakan lupa dengan keberadaan Gabriella yang masih menunggu di ruang kesehatan sekolah.
Paket makan siang sesuai harga elitnya SMA Astoris Panama tersaji di depan mata. Bahkan jika potongan ayam yang dibalut saus beraroma menggelora tampak menggoda, atau susunan segala pemanis agar empat sehat lima sempurna semakin merundung nafsu makan, nyatanya gadis itu tidak berminat.
Ia hanya menelan dua suapan setelah itu minuman mendominasi isi perut. Sesekali tatapan tenang melirik ke sekitar. Mendapati keberadaan beberapa murid yang masih tersisa di sana.
Sampai akhirnya seseorang tersenyum dan berjalan ke arah Kaia.
"Hai, sendiri aja? Gue boleh duduk di sini gak?" Gadis itu terdiam, tapi perlahan mengangguk sehingga sosok yang berdiri, tanpa basa-basi duduk di depannya. "Lho, lo gak makan?" bingung sang pemuda saat melihat makanan masih tersisa.
"Aku udah kenyang."
"Serius? Gue lihat lo cuma makan dua sendok aja barusan."
Segaris senyuman langsung terbit di bibir Kaia. Mendebarkan dada lawannya sehingga ia pun agak syok memandangnya.
"Kamu perhatiin aku?" pertanyaan blak-blakan itu berhasil memerahkan wajah sang pendengar. Ia pun menggaruk tengkuknya, merasa malu karena telah ketahuan.
Memang sejak awal kedatangan Kaia ke kantin, mata pemuda itu terus mengikutinya. Sampai-sampai tanpa sadar ia mengabaikan bel yang sudah berbunyi dan memilih mendekat.
"S-sorry, gue gak maksud gitu, cuma yah ..." jelasnya gelagapan.
Respons yang tampak lucu semakin merekahkan senyuman gadis yang melihatnya. Perlahan ia ulurkan tangan tepat di hadapan sang pemuda.
"Kalau gitu kenalin, nama aku Kaia. Kamu?"
"Sibuk amat pacarannya, gak sadar ya kalau bel udah bunyi."
Keduanya terkesiap. Belum sempat sosok asing membalas perkenalan, Kaia sudah terlanjur menurunkan tangan. Dan mereka pun tersentak karena tatapan dingin dari sang penyela.
Oscar Fujioka.
Entah bagaimana bisa ia malah muncul di kantin. Padahal sekarang sudah memasuki jam pelajaran dan tentu kehadirannya jelas tidak di harapkan.
"Ikut gue sekarang. Kalian juga, gak ada bantahan. Cepat!" perintahnya pada beberapa siswa lain.
Mau tidak mau mereka pun terpaksa mentaatinya. Walau berat hati tapi demi sang predator OSIS tidak mengamuk lebih baik dituruti.
Total ada delapan siswa di kantin termasuk Oscar. Dan sekarang mereka sudah berada di lapangan.
"Lo bertiga, bersihin toilet lantai satu dan dua. Sedangkan lo berdua, bersihin halaman belakang. Dan lo, gue tempatin di ruang peralatan," tunjuknya pada siswa yang gagal berkenalan dengan Kaia. "Gue rasa kalian pasti udah paham harus ngerjain apa," suruhnya seenak jidatnya. "Dan buat lo," sambil menatap lekat teman perempuannya itu, "lo bersihin perpustakaan sekarang."
"Perpustakaan? Yang benar aja, sendirian? Kalau gak biar gue sama dia aja yang ke sana," mendengar penolakan dari salah satu siswa Oscar pun tertawa.
"Lo gak suka? Mau berduaan? Mending lo fokus aja sama ruang peralatan atau hukuman kalian semua bakal gue tambahin. Gimana? Mau gak?"
"Eh, jangan dong, Kak! Masa siang gini kita dihukum berat gitu. Yang lain kek, gimana? Kak Oscar kan baik hati dan gak sombong. Bebasin kami ya? Aku tadi terlambat ke kantin makanya masih ada di sana. Please, Kak. Gak usah dihukum ya?" mohon salah satu adik kelas.
Gadis itu bahkan memasang tampang imut untuk meluluhkannya. Tak hanya dirinya, temannya yang lain ikut melakukan hal serupa.
Melihat wajah sang pemohon Kaia jadi ingat siapa sosoknya. Dia dan salah satu dari mereka merupakan adik kelas yang ke toilet tadi.
Akan tetapi segala bujuk rayu untuk melunakkan hati Oscar berakhir sia-sia. Dirinya malah semakin mengancam dan berhasil membuat para murid ketakutan.
Lawan bicara ketua OSIS yang bernama Dean akhirnya mengepalkan tangan. Merasa jengkel dengan tindakan semena-mena pimpinan organisasi sekolah walau mereka memang salah.
"Ya sudah. Aku gak masalah kok. Aku duluan ya," pamit Kaia pada laki-laki yang menemaninya di kantin.
Oscar yang menyaksikan interaksi mereka hanya diam saja, meski rahangnya mengetat akibat sikap gadis yang menjadi temannya.
Di kelas XI IPS 2, Gabriella melirik aneh meja milik sang sahabat. Tak hanya menghilang untuk membeli makanan tapi Kaia masih tidak kembali setelah jam istirahat.
Walau kesal akibat ditinggalkan, namun ia juga khawatir mengingat temannya bukan tipe pembolos tanpa alasan. Bahkan pesan-pesan miliknya sama sekali belum dibaca.
Dan sekarang sosok yang dipikirkan tampak sibuk menyusun buku tak rapi di rak perpustakaan.
"Gak cuma ngebiarin pembully, lo juga bolos bahkan pacaran di kantin. Mau jadi anak nakal lo?"
Pertanyaan itu menghentikan aktivitas Kaia. Ia tak menjawabnya dan memilih melanjutkan hukuman. Oscar yang merasa diabaikan pun menghela napas jengah.
"Gue lagi bicara, lo denger gue gak sih?" tarikan tangan yang tiba-tiba membuat sang gadis hampir menabrak dada bidang sang pelaku.
Sontak Kaia mendongak dan napasnya tercekat saat melihat tatapan dingin itu. Sorotan yang jarang di perlihatkan Oscar selain pada musuh-musuhnya.
"Kamu kenapa sih, Os? Dari tadi pagi emosi terus."
Tapi tak ada balasan selain tangan yang semakin mencengkeram lengan dan lainnya tertumpu di rak dekat leher Kaia.
Posisi yang cukup dekat sehingga jika ada orang lain melihat mungkin akan salah paham.
"Menurut lo?"
Kerutan di dahi memenuhi rupa cantik itu. Bahkan embusan napas hangat sang ketua OSIS mulai menggugupkan Kaia. Ia pun merasa tak nyaman dibuatnya. "Terlalu dekat," ucapnya sambil mendorong pelan Oscar.
Namun perbedaan tenaga mereka tak mampu mengusik siswa itu. Ia tetap di posisinya bahkan semakin mendekatkan badan.
"Oscar, kamu mau apa? Kita di sekolah," panik Kaia. Ini benar-benar gila mengingat tak pernah sekalipun sang pemuda bersikap aneh padanya.
Mendadak tawa pelan menari di antara mereka. Raut bingung jelas terpancar di wajah Kaia sebab tak ada yang lucu dari ucapannya.
Dan Oscar pun mengubah posisinya. "Kenapa lo panik banget? Lo pikir gue mau macam-macam?" ledeknya.
Mendengar itu Kaia langsung berdecak pelan. Bisa-bisanya orang ini bercanda seperti barusan? Padahal ia sudah cemas dan membayangkan hal yang tidak-tidak. Lelucon tadi jelas tidak disukainya.
"Gak lucu!" kesalnya dan memukul lengan pemuda itu.
Tawa Oscar malah semakin kencang. Ia merasa puas melihat ekspresi Kaia, seperti ada sensasi tak biasa di hati saat menyaksikannya. Dan tangannya sontak mengelus kepala gadis itu.
"Sorry-sorry. Habisnya lo gue ajak ngomong malah gak nyahut. Ya gue jadi kesalkan."
"Ya habisnya kamu itu sih. Masa aku disuruh bersihin perpus, tega bener kamu, Os," cemberut Kaia.
Tanpa basa-basi Oscar langsung mencubit pipi ranum di depannya. Dan Kaia yang mendengar kalimat sang pemuda tak bisa menghentikan keterkejutannya. "Duh, gak usah manyun gitu bisa gak sih? Jadi pengen cium tahu gak?"