Senin pagi, Kaia tampak sudah bersiap dengan dandanannya. Rambut di cepol membingkai wajah serta tambahan kacamata walau penglihatan masih normal menghiasi diri.
Sayangnya ekspresi miliknya tak seindah visualnya. Dingin dan penuh kebencian, sangat berbeda saat bersama teman-teman. Entah apa yang akan dikatakan mereka kalau sampai melihat itu semua.
Begitu menuju ruang makan, penampakan seorang laki-laki berbadan tegap namun memakai apron terlihat. Tidak seperti kemarin, rambutnya tak lagi berantakan, memakai setelan rapi tanpa jas, bahkan satu anting berbentuk salib menggantung di telinga kanan.
Ia tersenyum saat Kaia duduk di depannya. "Bubur?"
Gadis itu mengangguk. Sajian yang disebutkan terhidang di depan mata. Segelas susu coklat bahkan beberapa roti bakar sudah diberi selai juga ada. Domario tampak telaten melayani, dan dia juga ikut sarapan di seberang.
"Berangkat bareng kakak?"
Kaia menggeleng. "Aku naik taksi."
"Mobilmu kan ada, kenapa pakai taksi?"
"Malas menyetir."
Jawaban singkat yang membuat geleng-geleng kepala. Sejujurnya Domario sangat bingung dengan isi otak sang adik. Padahal dia punya mobil tapi kenapa malas membawanya? Alasan barusan jelas tidak masuk akal.
Sudah satu setengah tahun tapi Kaia masih enggan berkendaraan sendiri ke sekolah. Tak sedikit pula murid-murid yang melabelinya sebagai benalu miskin dalam kehidupan Gabriella dan geng Vayrez.
Mengingat sosoknya sering ditraktir makan ataupun diantar pulang. Si gadis miskin dengan penampilan cinderella di mata mereka. Sungguh bertolak belakang dengan kenyataan yang sebenarnya.
"Kalau begitu biar kakak yang mengantarmu."
"Tidak perlu. Kalau nanti ketahuan bagaimana? Kakak bakalan repot jadinya," tolaknya. Ia sudah selesai sarapan, tapi satu tangannya diraih Domario sekarang.
Digenggam lembut sehingga gadis itu mengernyitkan dahi bingung karena penasaran.
"Ava," panggilnya. Tatapan itu begitu lekat membuat hati adik angkatnya berdesir tak biasa. Kaia yakin kalau ada sesuatu yang tidak mengenakkan akan terlontar dari mulut di depannya. "Kamu, masih ingat janjimu kan?"
Keheningan sejenak berkumandang. Walau tangan masih berpegangan, terlihat gelagat tidak nyaman. Siapa lagi pemiliknya kalau bukan Kaia Vay Availendra. Perlahan anggukkan pun ia torehkan sebagai balasan.
"Kalau begitu ucapkan."
Senyum tipis mulai terukir di bibir. Gadis itu berbalik memegang tangan kakaknya, bahkan cukup erat sampai-sampai Domario mengerutkan kening.
"Kakak, katakan saja intinya. Kakak takut aku melakukan sesuatu yang gila kan?"
"Ya. Aku memang takut kalau kamu melanggar janjimu."
Helaan napas pelan terdengar. Gadis itu beranjak dari duduknya namun berlutut di depan Domario. Menatap penuh kasih pada sosok yang tak sedarah dengannya.
"Sudah bertahun-tahun. Apa kalian benar-benar tak percaya padaku? Aku sudah berjanji hari itu, kalau aku takkan menoleh lagi ke belakang. Bahkan jika ada dendam yang harus kubalaskan. Aku, sudah berjanjikan?"
Tatapan yang saling bertemu melukiskan sesuatu. Lirikan sendu Kaia dibalas sentuhan lembut Domario di pipinya. Perlahan ia tarik sang adik dan merengkuh erat pinggang rampingnya. Mereka pun terhanyut pada posisi pelukan itu untuk sejenak waktu.
Di SMA Astoris Panama, pagi ini sedang terjadi kehebohan. Dari sebuah pertengkaran milik Gabriella juga sahabatnya. Siapa lagi kalau bukan Ben Emanuel Alkarki yang menjadi pujaan hati.
Adria Mychella.
Tunangan laki-laki itu, segaris namanya berhasil memicu kemarahan Gabriella. Akan fakta kalau dirinya juga berniat bersekolah di tempat yang sama.
Tak dapat dipungkiri kalau tuan putri Ahmadia semakin cemburu dan sakit hati. Bahkan rasa benci pun juga mulai membubung tinggi.
Sekarang sambil melewatkan pelajaran ia meringkuk di ranjang UKS. Menangis dalam diam ditemani seseorang. Sahabat perempuannya yang selalu setia mendengar segala keluh kesahnya.
Kaia Vay Availendra.
Demi Gabriella, dirinya rela bolos bersama. Tangan pucatnya juga tak luput mengelus lembut kepala gadis itu. Bermaksud menenangkan namun lirihannya menusuk kesadaran. Putri Ahmadia pun dibuat bungkam dan gemetaran.
"Mau sampai kapan kamu kayak gini? Kalau dia benar-benar cinta, pasti dia gak bakalan milih kamu buat jadi sahabatnya. Nyatanya cuma kamu yang berjuang untuk bersamanya. Sedangkan dia tetap bertunangan dengan Adria. Menurut aku, kamu terlalu berharga untuk disakiti Ben, El. Kamu itu juga berhak bahagia kan?"
Gadis yang diajak bicara meradang. Perlahan hal-hal negatif merasuki pikiran dan ikut membenarkan ucapan sang teman.
Setelah sekian lama ia memendam perasaan, walau memang tidak bertepuk sebelah tangan sayangnya mereka terhalang status dalam berhubungan. Dan gadis yang menjadi pemisah jelas lebih berhak atas sosok Ben yang sangat dicintainya.
Apakah ia tak boleh egois untuk memiliki laki-laki itu sepenuhnya?
Kenapa sulit sekali bagi Ben untuk melepaskan Adria?
Bukankah ia bisa meminta keluarganya untuk membatalkan pertunangan mereka?
Tanpa sadar Gabriella mengepalkan tangan. Kaia yang menyaksikan itu tersenyum tipis. Pancaran puas tampak merona di muka, seakan-akan ini memang sesuai dengan keinginannya.
Lambat laun ia mendekat, berbisik pelan pada sang sahabat. Entah apa yang diucapkan sampai-sampai Gabriella terbelalak menatapnya.
"Maksud lo?"
Gadis itu terdiam. Tapi sudut hati merasa jengkel sekarang karena merutuki kebodohan sosok di hadapan.
"Lupain Ben. Menurut aku, cuma itu satu-satunya jalan supaya kamu gak sakit hati terus-terusan."
Decak kasar tiba-tiba terlontar. Terlihat tampang tidak suka dari Gabriella setelah mendengar saran barusan. Ia menatap tak percaya teman baiknya. Gadis yang seharusnya memberi masukan justru menyinggung perasaan.
Emosinya pun juga ikut memanas sekarang.
"Lupain dia? Lo pikir gampang?" ucapnya sinis. "Gue itu suka sama dia, Kai. Udah bertahun-tahun malahan, dan seenak jidatnya lo nyuruh gue buat lupain dia? Lo gila?!" suaranya meninggi begitu saja. "Lo itu harusnya kasih gue masukan, bukannya malah memperburuk keadaan! Gimana sih lo jadi teman!"
Suasana mendadak tegang. Mungkin Gabriella tidak sadar kalau ucapannya justru menggelitik kesabaran. Walau bersikap tenang namun hati Kaia bergemuruh sekarang.
Berbagai macam bisikan menusuk kesadaran. Berharap agar ia menampar mulut kasar gadis di depannya. Tapi yang bisa dilakukan hanya mengepal erat tangan dan tentunya tanpa disadari putri Ahmadia.
"Maaf, El. Sekali lagi aku minta maaf. Aku gak bermaksud bikin kamu emosi, sekali lagi maafin aku ya, El. Maaf," ucapnya dan meraih tangan Gabriella.
Ia tampak merasa bersalah. Lawan bicara yang menyaksikan pun terkesiap tiba-tiba. Tak menyangka kalau dirinya baru saja membentak sahabatnya.
Sontak Gabriella menggigit bibir bawahnya. Tanpa aba-aba dipeluknya Kaia bersamaan dengan tumpahan kristal bening di pipi. Dirinya benar-benar sudah kelewatan, tak seharusnya ia bersikap kasar barusan.
"Gak, Kai. Lo gak salah. Seharusnya gue yang minta maaf. Gue yang salah, gue yang salah karena udah bentak lo barusan. Maafin gue, Kai. Maaf karena gue udah salah artiin kalimat lo barusan. Maafin gue, Kai, maaf," ia tersedu-sedu sekarang.
Kaia yang mendengar itu pun membalas pelukan. Mengusap punggung temannya dengan niat menenangkan.
Tapi sayang di balik perlakuan lembutnya, sebuah seringai tipis tersungging di bibir. Dan lirikan sinis pun terarah lewat sudut mata. Seolah-olah sosoknya memang bermuka dua untuk menanggapi ocehan Gabriella yang menangis dalam dekapannya.