Chereads / Pseudo : THE CHEATER'S SONG / Chapter 13 - 13. Wali Kaia

Chapter 13 - 13. Wali Kaia

Minggu, seharusnya menjadi hari membahagiakan bagi setiap orang. Karena waktunya libur dan ajang rekreasi untuk beberapa penikmatnya.

Tapi tidak dengan Kaia, ponselnya dipenuhi gangguan. Dari Arma sang pembantu, Ben yang sibuk mengurusi Gabriella, ataupun anak-anak geng Vayrez lainnya.

Dan jangan lupakan juga panggilan serta pesan tak terjawab dari dua wanita paling menyebalkan.

Karina serta putrinya Karisa.

Sosok yang memiliki ikatan darah dengan Kaia bahkan sering mengurusi kehidupannya. Selalu sibuk mendatangi rumah membawa perhatian, namun ocehan tak jauh dari masalah aset keluarga.

Entah karena kasih sayang atau terlalu mata duitan yang jelas sang gadis tak senang dengan keberadaan mereka.

Jam sudah menunjukkan pukul 08.15 pagi, sosok cantik berambut coklat melewati pinggang itu terlihat sibuk dengan pisau lipatnya. Memainkan tanpa takut terluka.

Sesekali ujung kuku menjadi korban, dan nada dering di ponsel pun menghentikan akitivitas Kaia. Lagi-lagi panggilan dari Arma menghiasi layar.

"Kenapa kakek gak bawa saja mereka? Aku benar-benar kesusahan," pandangannya mengedar.

Pesona di balkon kamar yang seharusnya indah terasa menyesakkan. Decak pelan lolos lepas di sela-sela bibir. Dan dirinya pun perlahan mendongak menatap langit sana. Bersamaan dengan senyum tipis yang tersungging membelah wajah cantiknya.

Sementara di sebuah rumah mewah bergaya klasik modern, langkah anggun dari dua orang wanita menghiasi halaman. Memasuki kediaman yang cenderung berdinding putih pucat.

Tak ada sambutan apa pun untuk mereka selain sepi memenuhi ruang tamu.

Salah satunya pun tiba-tiba berdecih. "Arma! Arma!" teriaknya. Guratan emosinya semakin memperjelas kerutan di wajah. "Arma!"

Beberapa detik kemudian barulah sosok yang dipanggil muncul di sana. Tampak napas terengah menghiasi dirinya. Tapi hal itu tak lantas menyurutkan kemarahan tamu di depan mata.    

"Kamu itu tuli atau gimana sih! Dipanggil dari tadi juga, dasar!" kesalnya. Sang pembantu hanya bisa tertunduk mendengar bentakan. Lagi pula orang yang memakinya merupakan bibi dari pemilik tempatnya bekerja. Dengan kata lain wanita ini juga majikannya. "Ava mana?"   

"N-non Ava di apartemen, Nyonya."

"Apartemen?" balas perempuan yang lebih muda. Dia sudah sejak tadi duduk di sofa, berlawanan dengan ibunya yang masih berdiri tegap. Dua pendatang itu pun saling berbagi pandangan. "Dia menginap di sana? Terus yang di rumah siapa?"

"H-hanya saya sama pekerja lain, Non."

Mendengar penuturan Arma, tangan Karina pun terkepal. Bisa-bisanya sang keponakan tidak tinggal di rumah warisan ayahnya. Dan perhatian mereka teralihkan karena kemunculan gadis yang memang ingin ditemui.

"Pagi, Tante. Oh, hai Sa. Kamu di sini juga? Sudah lama ya kita tidak bertemu," sapa Kaia sambil memeluk keduanya bergantian.

Walau mereka membalas dengan senyuman tapi sorotan mata tetap terlihat tajam. Arma yang menyaksikan pun hanya bisa tertunduk dalam.

"Habis dari mana kamu?"

"Apartemen, Tan."

"Duduk," suruh Karina.

Kaia menurutinya. "Bi," Arma pun mengangguk mendengar panggilan itu. Sosoknya pamit meninggalkan mereka, bersiap untuk menyediakan cemilan juga minuman. Atau Karina akan mengamuk di sana akibat tidak mendapatkan pelayanan yang pantas. "Tumben Tante ke sini, ada apa?"

"Memangnya gak boleh? Lagian ini rumah kakek kan? Bukan rumah lo aja," sindir Karisa.

Sepupunya terdiam. Melihat respons itu Karina pun tersenyum senang. "Karisa benar. Walaupun rumah ini sudah diwariskan untuk kamu, tapi bukan berarti kami gak berhak ke sini kan? Lagian kamu juga aneh, Ava. Punya rumah tapi tetap saja menginap di apartemen. Kalau kamu memang suka di sana, ya biar tante sama Karisa saja yang tinggal di sini. Itu lebih baik kan dari pada pembantu saja yang menghuni rumah."

Arma terkejut mendengarnya. Sosoknya yang menyajikan cemilan tak berani menatap mereka. Walau sejujurnya ia juga penasaran seperti apa ekspresi Kaia.

Nyatanya gadis itu hanya diam memandangi meja. Tatapan matanya sulit diartikan dan bibinya jelas jengah menanti balasan.

"Ava?"

Perlahan sang keponakan meliriknya. Senyum hangat terpatri di rupa, menimbulkan keanehan di hati mereka berdua.

"Lo gak setuju?" sela Karisa.

"Bukan begitu. Kalau kalian di sini, terus rumah yang di sana bagaimana?"

Karina mengumpat pelan. Sejujurnya ia sangat kesal mendengar nada bicara Kaia, ramah dan polos namun terasa menyebalkan.    

Apa susahnya gadis itu langsung menyetujuinya? Lagi pula biasanya ia akan menuruti apa pun yang diucapkan Karina. Namun sekarang semua berbeda. Perubahan Kaia mulai terasa semenjak pembagian harta warisan diputuskan.

Dua tahun yang lalu saat kakeknya masih hidup, sekretaris Devan datang ke rumah bibinya. Ia hadir untuk membacakan pembagian ahli waris keluarga Dirvia. Dengan disaksikan Kris di atas kursi roda, berharap nantinya pihak tertinggal takkan bertengkar karena masalah aset keluarga. 

Karina yang merupakan adik kandung ayah Kaia, memperoleh 30 persen harta kekayaan keluarga, dan juga 10 persen saham perusahaan. Begitu pula sang kakak, pembagian mereka adil karena Kris bukanlah sosok pilih kasih pada anak-anaknya. 

Namun yang masih menjadi tanda tanya, siapa pemilik 40 persen harta kekayaan keluarga Dirvia lainnya? Walau dipaksa sekretaris Devan enggan buka suara. Dan entah kenapa Kris Dirvia memilih merahasiakan itu semua.

Bahkan informasi apa saja peninggalan keluarga mereka tak bisa ditembus keluarga kecil Karina.

Tak terhitung berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk menggali informasi lewat orang-orang suruhannya. Semua tetap sia-sia.

Terlebih keanehan atas sosok bernama Bernand Shiruma, blasteran Jepang-Indonesia yang menjadi wali Kaia. Mereka tak ada ikatan darah, tapi ia ditunjuk untuk mengelola aset kakak Karina sampai Kaia mencapai usia legalnya.

"Rumah yang di sana akan tante sewakan. Lagi pula om kamu itu sibuk banget sampai-sampai tante sama Karisa kesepian. Kalau kami di sini kan jadi ada temannya. Bahkan tante juga bisa bantu-bantu kamu buat urusin keperluan rumah. Gimana, kamu setujukan?"

"Lo tuh tuli atau gimana sih. Nyokap gue tuh nanya, di jawab dong gimana sih!" sewot Karisa.

Bagaimana ia tidak jengkel kalau sepupunya malah diam saja. Terlihat keraguan terlukis di wajah Kaia. Sang bibi yang juga kesal dengan respons itu pun mendekat sambil meraih tangan keponakannya.

"Sayang? Kamu gak setuju ya? Tante cuma gak mau kamu itu kesepian. Bahkan Zion juga gak di sini kan? Sudah dua setengah tahun lho dia pergi. Atau mungkin kamu juga pengen nyusulin dia? Kalau iya biar tante yang temenin kamu ke sana. Lagian tante juga rindu kok sama dia."

Begitu mendengar nama kembarannya, raut wajah Kaia berubah seketika. Tak lagi polos dan terkesan sangat datar sekaligus menyebalkan.

Karina juga Karisa tersentak melihatnya.

"Ava?" 

"Maaf, Tan. Sejujurnya, aku sangat ingin menyetujuinya."

"Lalu?"

Gadis itu tampak ragu. Pernyataan barusan jelas mendatangkan gemuruh di hati bibi juga sepupunya. Namun mereka memilih menahan diri agar tidak mencaci maki Kaia.

"Tapi aku gak yakin Tante bakalan senang nantinya. Lagi pula, Tante sama om Bernand gak akur kan?"