"El," panggil Ben lembut sambil duduk di sampingnya. "Maaf," ucapnya tiba-tiba dan menggenggam tangan gadis itu. "Gue udah dengar dari mama, kalo lo tadi ke rumah dalam keadaan nangis. Maaf karena gue tadi gak ada," tatapan sendu terlukis di sana.
Rasanya menyakitkan bagi Gabriella. Karena satu hal yang pasti, ia sayang pada ketua geng Vayrez tak peduli apa pun alasannya.
"Kenapa sih, Ben?" perlahan ditariknya tangan dari genggaman sang pemuda.
Air mata mengalir tiba-tiba dan membasahi kedua pipi memar Gabriella. Jelas terlihat oleh Ben namun ia tak kunjung mengatakan apa-apa.
Bagaimanapun sosoknya tahu kalau sahabat cantiknya ini pasti akan menceritakan semuanya.
"Nyokap gue udah gak ada. Bokap gue direbut dari gue sekarang. Dan lo, gue cuma punya lo sama teman-teman gue, Ben. Dan cuma lo yang paling berarti buat gue. Tapi kenapa? Kenapa lo gak ada di saat gue bener-bener butuh lo, Ben? Kenapa harus Adria? Kenapa bukan gue? Lo bilang lo sayang sama gue. Dan gue juga sayang sama lo. Tapi kenapa? Kenapa bukan gue yang jadi prioritas lo? Gue tuh cemburu, Ben! Gue cemburu!" teriaknya frustrasi.
Ben terdiam. Perasaannya bagai ditusuk saat mendengar lirihan barusan.
Ingin ia teriakan sekarang kalau sahabatnya inilah yang terpenting baginya. Bukan Adria, tunangan yang selalu dijaga karena dititipkan oleh keluarga mereka.
Cuma Gabriella di hatinya, bukan gadis lain. Tapi ia harus bagaimana? Kakeknya sudah menjodohkan dirinya. Dan Adria juga menyatakan cinta hari ini. Walau jawaban digantung demi menjaga perasaan, tapi ada sang sahabat yang menangis dan butuh sosoknya.
Sungguh Ben bingung harus bagaimana.
Di satu sisi ia tak ingin menyakiti Adria karena keluarganya terlebih sang kakek. Tapi bagaimana dengan hati Ben? Ia menginginkan gadis di hadapan sepenuhnya. Bukan sekadar sahabat, tapi pacar atau perlu teman hidup suatu saat nanti.
Dia harus bagaimana?
"Ben, apa lo gak bisa milih gue?"
Terkesiap tentunya. Ekspresi Gabriella sungguh menyayat hati. Tiba-tiba ia peluk gadis itu dan melirihkan kata tak terduga.
"Maafin gue, El. Gue sayang sama lo," tepat di dekat telinga. Diiringi embusan napas hangat di leher, namun justru membuat Gabriella meradang. "Gue butuh waktu, gue butuh waktu buat putusin semuanya. Jadi gue mohon. Tolong, tolong banget ngertiin gue kali ini. Gue janji setelah semuanya selesai, kita pasti bakalan bersama. Bukan sekadar sahabatan, tapi pacar dan kita gak bakalan terpisahkan. Gue janji, El. Jadi gue mohon kasih gue waktu. Gue mohon, El. Gue mohon," pintanya penuh harap.
Bukannya terhanyut, Gabriella justru semakin geram. Sontak saja ia dorong Ben sehingga pemuda itu hampir terhempas ke belakang.
"Gak berperasaan lo!"
"El!" teriak Kaia. "Kalian—" dirinya yang ingin ke dapur mengambil minuman justru dikejutkan dengan bentakan barusan.
"Pergi lo dari hadapan gue. Pergi, Ben. Pergi!"
"El, tolong dengerin gu—"
"Cukup!" potongnya. Deru napas Gabriella begitu memburu, aliran air mata kian tumpah dan tangan gemetarnya terangkat menunjuk wajah sang pujaan. "Cukup, Ben. Cukup. Sudah cukup semuanya, sekarang tolong lo pergi dari sini."
"El."
"Pergi! Gue bilang pergi, Ben. Pergi!" usirnya sambil memukul dada bidang pemuda itu.
Situasi benar-benar menegangkan karena dihiasi isak tangis putri Ahmadia. Kaia yang menyaksikan pun mendekati mereka. Memegangi sahabatnya dan berakhir memeluk Gabriella.
Ben tak bisa berkata-kata seolah teriakan gadis itu melumpuhkan otaknya. Ia juga tersiksa melihat raut terluka di depan mata.
"Mending lo pergi, Ben."
Lirihan sang pemilik apartemen menghantam pendengaran. Ben menggelengkan kepala menolak bujukan barusan. Dirinya masih ingin menjelaskan semuanya pada Gabriella.
"El—"
"Suruh dia pergi," sosok di rangkulan Kaia bersuara. "Suruh dia pergi, Kai. Suruh dia pergi!" pintanya sambil meronta.
Kaia yang tampak kesusahan menenangkan Gabriella pun menatap lekat teman laki-lakinya. "Pergi, Ben. Tolong," ia terlihat begitu memohon.
Jujur saja, hati Ben tak ingin menuruti mereka. Tapi kondisi sang sahabat yang menangis pilu terpaksa membuatnya angkat kaki dari sana.
Begitu keluar dari apartemen, bunyi pukulan ke dinding menjadi saksi pelampiasan pemuda itu. Ia menyiksa tangannya, berkali-kali agar sesak di dada tak kian menggerogoti.
Esok harinya Kaia terbangun sekitar pukul 09.30. Berisik alarm ponsel dari jam 04.00 pagi tak berhasil menyadarkan dirinya lebih dini. Semua karena tangisan Gabriella yang memaksanya begadang.
Perlahan kepalanya menoleh ke samping, mendapati tuan putri yang susah payah ditenangkan semalam. Segala kicauan Gabriella, bahkan usaha percobaan bunuh dirinya pun kembali terlintas di ingatan Kaia.
Tiba-tiba ia berdecih sebelum bangkit dari rebahan.
Walau jam sudah menunjukkan pukul 11.00, tuan putri Ahmadia masih tetap di posisinya. Terlentang di ranjang besar Kaia. Untuk bangun tidur saja sosoknya seakan tak ada tenaga. Sampai akhirnya suara pelan pintu kamar yang terbuka mengalihkan atensi.
"Sudah bangun?" sapa pemilik apartemen. Di tangannya terlihat nampan besar yang ditaruh di atas karpet. "Ayo cuci muka terus sarapan," ajaknya.
Butuh sejenak waktu bagi Gabriella untuk menuruti. Sementara Kaia sekarang menonton televisi sambil memakan sepotong sandwich. Ada croissant dan semangkuk strawberry juga menemani, ditambah selai coklat, dua gelas susu untuknya dan sang sahabat sudah cukup sebagai sarapan pagi.
"Kita kesiangan," ucap Gabriella yang baru keluar dari kamar mandi.
Wajahnya terlihat lebih segar dan menawan walau tanpa make up. Diraihnya satu croissant dan memakannya di sebelah Kaia.
"Mau bagaimana lagi, ada tuan putri yang menangis semalam," pemilik apartemen itu tersenyum hangat walau tatapannya tetap fokus ke televisi.
Sosok yang mendengar pun memasang tampang sebal. Dia bahkan tak habis pikir dengan sahabatnya, di mana siaran di depan mata justru menayangkan film horor menjijikan.
Jelas itu akan mempengaruhi suasana makan.
"Harus ya lo nonton ini sekarang?"
Kaia hanya mengangguk. Dan tangannya bergerak pelan meraih segelas susu di nampan. "Aku penasaran gimana tanggapan om Aldo," lirihnya lalu meneguk minuman.
Gabriella terdiam walau sebelah pipinya menggembung akibat kunyahan croissant. Sekelebat kemungkinan menari di pikiran.
Tentunya ia tahu apa maksud ucapan Kaia. Kepala keluarga Ahmadia itu pasti akan sangat marah kalau mengetahui putrinya tidak masuk sekolah. Walau hanya satu hari, jangan lupakan kemungkinan hasutan anak tiri untuk menjelekkan dirinya.
"Mau aku tolongin? Aku akan cari alasan kok biar kamu aman," sambil memamerkan ponsel. "Kayaknya kita populer banget ya sampai banyak yang nyariin," kekehnya pelan.
Tangan Kaia bergerak lincah di layar, terlihat banyaknya pesan masuk dari anak-anak geng Vayrez ataupun panggilan tak terjawab ayah Gabriella juga guru di sekolah.
Pasti menjadi tanda tanya bagi mereka kenapa keduanya tak hadir sekarang. Apalagi pihak sekolah sangatlah pengadu.
Bahkan hal sepele yang dilakukan Gabriella saja akan sampai ke telinga Aldo. Dan akhir kata, ocehan menyakitkan menjadi sambutan. Entah sudah berapa banyak luka fisik juga batin yang dihadiahkan kepala keluarga Ahmadia dalam mendidik putrinya.
Sosoknya benar-benar berubah setelah kematian ibu Gabriella.