Chereads / Pseudo : THE CHEATER'S SONG / Chapter 10 - 10. Kenapa

Chapter 10 - 10. Kenapa

Lambat laun Kaia pun merangkul Gabriella. Mengelus lembut belakang kepala putri Ahmadia untuk menenangkan.

"Aku tahu ini berat buat kamu. Tapi jangan sakiti diri sendiri, El. Kamu gak lupakan masih ada orang-orang yang menyayangimu? Kamu gak sendirian."

Gabriella semakin tidak bisa menahan sesak di dada. Dalam pelukan Kaia, ia hamburkan semua keluh kesahnya. Menceritakan segala pesakitan yang dipunya.

"Kenapa hidup ini gak adil banget, Kai? Nyokap gue udah pergi. Bokap gue udah direbut dari gue. Bahkan, Ben! Sahabat gue, cowok yang selalu gue suka juga diambil dari gue. Gue suka sama dia! Dia bilang gue berharga! Dia bilang dia sayang sama gue, dia bilang gue segalanya buat dia! Tapi kenapa dia malah tunangan sama orang lain? Kenapa? Kenapa, Kai. Kenapa! Gue kurang apa?! Kalau dia memang suka sama gue kenapa dia gak mau pacaran sama gue?! Kenapa Kai, kenapa!"

Gadis itu meronta dalam pelukan sahabatnya. Kaia masih saja tidak mengatakan apa-apa. Selain tangan mengusap punggung temannya agar dia baik-baik saja.

Mungkin putri keluarga Ahmadia memang benar-benar butuh tempat bercerita untuk melampiaskan beban di perasaan.

"K-kenapa hidup ini gak adil banget? G-gue, salah apa?"

Perlahan Kaia tersenyum simpul. Tentunya takkan terlihat oleh sosok yang berada dalam rangkulan.

"Benar, hidup ini memang gak adil, El." Lambat laun gadis itu menjarakkan diri. Menatap temannya yang berkaca-kaca matanya. "Karena kalau adil, semuanya akan bahagia. Lalu tisu untuk menghapus air mata takkan terjual lagi di luar sana."

Ia malah tertawa yang menimbulkan kesal sosok di depannya.

"Iih! Lo! Gue lagi sedih juga lo malah ketawa!" sambil memukul lengan sang pemilik apartemen.

"Aw! Sakit nih," Kaia terkekeh dan mengusap jejak siksaan temannya. "Ayolah, El. Jangan menangis lagi. Kamu mau pas bangun pagi matamu bengkak dan jadi bahan gunjingan?"

"Ya gak lah!"

"Ya sudah. Tuh sana, cuci muka kamu sekalian mandi. Aku siapin baju ganti. Kamu menginap di sini saja. Oke?" alis pun di naik turunkan Kaia sebagai bujukan pada sang sahabat.

"Hm, iya-iya!" tangisan Gabriella seolah sirna begitu saja. Dirinya langsung meninggalkan temannya, menuju kamar mandi untuk memperbaiki dandanan.

Kepergiannya pun ditatap dingin Kaia. Begitu berbeda ekspresinya, seolah-olah keramahan yang tadi terpancar hanya sekadar basa-basi.

Langkahnya pun menghampiri pecahan cangkir yang berserakan di lantai. Dipungut tanpa takut terluka. Dan satu goresan tercoreng di jari telunjuk. Menyebabkan senyum miring langsung tercetak di bibir ranum Kaia.

Tak terlihat raut kesakitan dari mukanya.

Selesai membersihkan itu semua, sosoknya memainkan ponsel. Tujuannya tentu saja untuk menghubungi sesosok pria yang tak asing baginya.

"Halo," lawan bicara di seberang akhirnya menjawab.

"Halo, selamat malam."

"Selamat malam, Kaia. Ada apa kamu menghubungi saya?"

Seperti hari-hari sebelumnya jika mereka berbicara, tak ada basa-basi yang dilontarkan pria itu ketika bersuara. Namun Kaia sudah terbiasa. Dia maklum jika orang ini bukan tipe yang bisa diajak berbalas kata hangat apalagi bertukar canda tawa.

"Aku cuma ingin memberitahu paman kalau Ella sedang bersamaku sekarang." Aldo terdiam. Tidak mengatakan apa-apa, membuat Kaia mengernyitkan dahi bingung dalam menunggu jawaban. "Paman?"

"Oh, ya. Baguslah jika dia bersamamu."

"Iya, Paman. Rencananya Ella juga akan menginap di sini. Tidak masalah kan?"

"Ya, tidak masalah. Kalau begitu saya titip dia ya? Tolong jaga dia."

"Baik."

Selepas berbicara dengan ayah Gabriella Leona Ahmadia itu, Kaia pun menidurkan tubuhnya di sofa.

Aldo memang begitu. Jika gadis itu yang menghubungi dan meminta izin agar sang sahabat menginap, pasti di perbolehkan. Bahkan terkadang kepala keluarga Ahmadia juga sering menyuruh Kaia untuk mengajari putrinya. Alasannya ya simpel, otaknya cemerlang dan merupakan anak dengan peringkat tertinggi di sekolah.

Pria itu juga ingin agar Gabriella sedikit banyaknya sepintar Kaia. Mendapatkan posisi memuaskan di kelas setidaknya sepuluh besar. Tapi apa mau di kata, manusia memang terlahir sangat sempurna. Namun tentu saja ada perbedaan dalam garis keadaan sehingga menjadi batasan untuk menjalani hidupnya.

Walau berasal dari keluarga berada, memiliki visual bak dewa, belum tentu pintar belajar ikut menyelimuti otak pelaku.

Bahkan itu juga termasuk untuk Kaia. Dia memang menawan, jenius dalam pelajaran kata orang-orang sekitar, akan tetapi lubang besar ikut menyelimuti.  

Dia tak sesempurna yang terlihat para penonton di luar sana. Sosoknya di mata mereka, tak lebih dari sekadar cangkang untuk kulit aslinya.

Padahal sekarang dirinya belum menyiapkan pakaian ganti untuk sang sahabat, tapi badannya meminta tidur dengan cepat. Sungguh Kaia benar-benar kelelahan.

Dan ponselnya berdering tiba-tiba sambil memamerkan segaris nama tak asing di layar.

Ben ketua.

"Halo?"

"Halo, Kai? El sama lo?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Ya, dia bersamaku. Ada apa?" mata gadis itu melirik ke arah dapur. Di mana kamar mandi terselip di ujung sana dan tak terlihat posisinya di tempat Kaia berada.

Terdengar helaan napas lega dari sang pemuda.

"Syukurlah. Gue dari tadi hubungi dia tapi gak diangkat. Apa itu berarti kalian sedang di apartemen? Gue ke sana ya? Gue pengen ketemu El."

"Oke. Tapi sebelum ke sini beliin makanan ya? Kami belum makan."

"Oke!"

Begitu panggilan terputus, Kaia pun menaruh ponselnya di atas meja. Masih tetap rebahan dan memandang lekat benda pipih itu.

"Beruntung banget lo, El. Dulu ataupun sekarang, masih aja ada yang khawatir sama lo. Gue benci melihatnya," gumamnya dan beralih menatap langit-langit ruangan.

Entah kenapa Kaia malah berkata seperti itu. Tapi satu hal yang pasti, setetes kristal bening mengalir di sudut mata.

Dan fokus rebahannya terganggu akibat teriakan Gabriella. Meminta dibawakan baju ganti, mengingat handuk ataupun bathrobe tak disiapkan Kaia di kamar mandi.

Akan tetapi kehadiran Ben sekarang di apartemen berhasil membuat Gabriella kesal. Ia pun melirik sinis sang sahabat yang bersikap santai di depannya.

"Kai! Lo apa-apaan sih?! Gue pikir cuma ada kita!" hardiknya tiba-tiba.

Ben yang baru datang pun langsung menghampiri. Mencoba menengahi situasi, agar kedua sahabat itu tidak bertengkar akibat kedatangannya.

"Gue yang minta Kaia buat izinin gue ke sini. Gue denger lo belum makan. Nih, gue udah bawain lo nasi goreng kesukaan lo."

"Makasih, tapi sayang gue gak butuh!"

Kaia yang masih diam di belakang Ben karena telah membukakan pintu pun akhirnya bersuara.

"Selesaikan dulu masalah kalian," ia pun mengambil satu bungkus nasi goreng dari bawaan sang pemuda. Melewati mereka dan menghilang ke kamar.

Lebih tepatnya Kaia tak ingin ikut campur urusan keduanya. Makan di balkon agar tak terlibat pertengkaran labil yang merepotkan.

Hal seperti ini memang sudah sering terjadi. Apartemen yang menjadi persinggahan di kala depresi itu menjadi saksi akan perdebatan Gabriella dan Ben tentang cinta.

Ya, di mana mereka saling menyukai namun tak bisa bersama.

Alasannya hanya satu, Ben sudah memiliki tunangan. Adria, gadis cantik yang dijodohkan sejak dia masih belum jadi di rahim ibunya.

Semua akibat janji-janji persahabatan sang kakek dan nenek dengan rekan mereka, sehingga masa muda penuh kupu-kupu cucunya pun merana.

Cuma bisa berbagi kasih sayang dan cinta dalam ikatan persahabatan bersama Gabriella.

Itulah yang tak bisa diterima gadis itu. Ia ingin menjadi pacar Ben, diprioritaskan, karena sosoknya cemburu melihat orang tersayangnya berhubungan atau menemani Adria ke mana saja.

Dirinya benar-benar tidak rela Ben bersama tunangan cantiknya.

Tapi sang pemuda justru tak punya kuasa untuk menentang kakek dan neneknya. Dia terlalu menyayangi keluarga dan tak ingin mengecewakan mereka.

Jadi menggantungkan perasaan Gabriella dalam ikatan persahabatan namun dibumbui beragam rasa pun menjadi pilihan.

Entah siapa yang salah, mungkin keadaan mereka saja terlalu kejam untuk saling memahami kebahagiaan. 

Namun di mata Kaia sebagai penonton di tepian, alasan Ben terlalu klise. Jika cinta ya perjuangkan, lagi pula mereka masih remaja dan belum menikah. Walau pernah membicarakan itu dengan nada guyonan, tapi sang pemuda tak begitu menanggapi.

Dan Kaia pun yakin kalau ada sesuatu yang membuat Ben tak bisa melepaskan Adria begitu saja. Lebih dari sekadar janji perjodohan oleh kakek dan neneknya, entah apa itu namun dirinya tak peduli. 

Dia tak ingin terlalu memikirkannya.