Chereads / Pseudo : THE CHEATER'S SONG / Chapter 9 - 9. Air mata Gabriella

Chapter 9 - 9. Air mata Gabriella

"Ella!" hardik Aldo. Tapi sepertinya itu tak mempan lagi untuk membungkam putrinya.

Mengingat sudah cukup bagi Gabriella menahan sesak di hati. Apalagi tamparan-tamparan yang sering dihadiahi sang kepala keluarga benar-benar mulai membuatnya kebal.

"Kenapa, Pa? Kenapa diam aja? Aku benarkan? Karena wanita ini mama akhirnya pergi! Karena dia! Karena dia yang jadi selingkuhan Papa mama akhirnya mati!"

Dan untuk kesekian kalinya tindakan kasar di hadiahkan ke pipi. Sekarang sensasi perih juga menyelimuti area wajah bagian kiri. Mendadak dia tertawa sehingga membuat kedua orang itu kaget melihatnya.

"Padahal dulu Papa gak pernah seperti ini." Kristal bening pun langsung terurai di rupa sang putri.

"Gabriella," seketika perasaan Aldo bergemuruh menyaksikannya. "Gabriella!"

Tapi terlambat. Gadis itu sudah terlanjur pergi dari sana. Secara terburu-buru sambil meneteskan air mata.

Napas gusar pun dihempaskan sang kepala keluarga. Ia frustrasi, tak menyangka akan ringan tangan begini. Aldo benar-benar merasa bersalah karena telah menyiksa darah dagingnya sendiri.

"Apa harus begitu?" sosok yang berdiri tak jauh darinya bersuara. "Bahkan jika dia tidak bisa menerimaku, kamu tidak berhak menamparnya seperti itu. Karena bagaimanapun juga Gabriella pasti butuh waktu untuk menerima ini semua."

Selesai mengatakan itu Indira pun berlalu dari sana. Membiarkan suaminya tetap berada di kamar putri mereka.

Aldo terdiam dengan fokus mata mengarah ke atas nakas. Di mana sebuah foto terpajang di depan. Gambar antara dirinya, Gabriella, dan juga istri pertamanya yang sudah meninggal.

Sementara di satu sisi, sosok yang berwajah sendu berlari menuju rumah sang sahabat.

Ben Emanuel Alkarki.

Kediaman pemuda tersebut berada di rumah kedua dari seberang hunian keluarga Ahmadia. Dan Gabriella yang datang ke sana pun disambut nyonya rumah.

"Eh, Ella? Kamu menangis? Apa yang terjadi?!"

"A-aku, aku mau bertemu Ben," sahutnya mengabaikan pertanyaan.

Mendadak raut wajah wanita itu pun berubah. Agak sedih bercampur pias. "Maaf, Sayang. Barusan Ben memang sudah pulang, tapi sekarang dia lagi mengantar Adria. Gimana kalau kamu tunggu sebentar? Ayo duduk dulu di sofa," ajak ibu sahabatnya penuh perhatian.

Tapi yang ada Gabriella kian terisak dan langsung lari keluar.

"Eh, Ella!" pekik wanita itu tiba-tiba. "Aduh, ya ampun. Sebenarnya apa yang terjadi?!" cemasnya dan langsung mencoba menghubungi putranya. Sayangnya nomor yang dituju malah tidak aktif. "Duh ... Ben! Jangan-jangan ini anak hp nya mati!"

Semua seakan-akan sudah berkompromi untuk menyakiti Gabriella. Ibu dan saudara tiri, ayahnya, bahkan sekarang Ben lagi-lagi menorehkan luka.

Sosok sahabat yang menaburkan kata cinta, saling menautkan rasa sayang, justru sibuk dengan sang tunangan.

Walaupun gadis itu juga sadar kalau statusnya masihlah di pinggiran dan entah kapan akan bergeser menjadi pacaran.

Dan sekarang, senja sudah menampakkan pesona. Walau sensasi dingin ikut menerpa, bongkahan awan hendak hujan masih tertera di langit sana.

Bersamaan dengan dering ponsel yang mengganggu rebahan Kaia di sofa tamu.

"Hm ... nomor asing?" gumamnya. "Halo?" dirinya pun langsung mengernyitkan dahi, apalagi setelah mendengar isak tangis di seberang telepon.

"K-Kai," panggil sosok itu. "Gue udah di apartemen lo."

Sontak saja Kaia memutuskan panggilan. Helaan napas pelan pun tersembur dari mulutnya.

"Bi! Bibi!"

"Iya, Non!"

"Aku ke apartemen dulu," ucapnya setelah wanita paruh baya itu muncul.

"Eh, tapi ini sudah gelap, Non. Apa gak menginap di sini saja?"

"Sayangnya temanku sudah menunggu di sana, Bi. Kalau begitu aku pergi dulu," pamit Kaia sambil meraih kunci mobil di atas meja.

Jeep unlimited putih yang menjadi satu-satunya kendaraan roda empat di rumah pun dikendarai dengan kecepatan di atas rata-rata. Memakan waktu sekitar 10 menit bagi Kaia untuk sampai di apartemen. Dan sekarang di sinilah dirinya.

Di area strategis hunian mewah yang berdekatan dengan lokasi perbelanjaan. Apartemen kelas atas, juga dilengkapi pengamanan tingkat tinggi.

Dan sosoknya pun menjadi salah satu penghuni peristirahatan di tempat itu.

"El?"

Penampakan di lantai 13 yang merasa terpanggil pun menoleh padanya. Langsung lari dari posisi duduk di lantai dan memeluk Kaia dengan erat.

Kemungkinan sosoknya sudah lama menunggu di sana.

Sang pemilik apartemen hanya diam walau tangannya perlahan-lahan membalas pelukan.

"Sudah lama?"

Tapi hanya isak tangis sebagai jawaban. Kaia pun menuntunnya, menekan password agar pintu kediaman terbuka. Sekarang temannya akhirnya tahu pin kode untuk memasuki apartemen mewah di depan. Walau sering ke sini, sebelumnya gadis itu tak terlalu memerhatikan.  

"Ayo duduk dulu, aku bikinin minum."

Dengan wajah lembab dan tangan sibuk mengusap kasar pipi, gadis berambut hitam legam panjang pun terdiam di ruang tamu.

Gabriella Leona Ahmadia.

Cantik rupanya, kulit putih kemerahan membalut wajah oval. Penyuka rambut panjang, hidung tinggi dan jangan lupakan bibir cherry serta sensasi lily jika berdekatan dengannya.

Bahkan walau tidak dikatakan dengan lantang, bisik-bisik para penonton mengakuinya sebagai salah satu primadona terbaik di SMA Astoris Panama. Dia sangat terkenal di sekolah, terlebih berasal dari keluarga berada dan sahabat baik ketua geng Vayrez tersohor di sana.

Geng yang berisi anak-anak motor dengan penampilan di atas rata-rata bagi kaum hawa.

Body Gabriella juga merupakan kiblat untuk beberapa cewek yang kagum dan iri. Tentunya gadis itu punya banyak musuh sebagai gantinya. Apalagi dirinya juga memiliki perilaku yang tak bisa disebut baik.

Siapa pun yang berhubungan dengan Irena terkadang akan dirundung olehnya. Karena dia sangat-sangat membenci saudara tirinya itu. Walau faktanya dulu ia juga sempat dibully akibat menjadi teman perempuan geng di bawah naungan Ben.

Dan tak lama kemudian label pembully sekaligus pembuat onar akhirnya ikut tersemat padanya. Walau terkadang masalah yang menimpa Gabriella sering di dalangi oleh Irena karena ia juga tak menyukai anak kandung Aldo.

"Nih, minum dulu," Kaia yang baru datang pun menyodorkan secangkir coklat panas. Dengan masih terisak-isak gadis itu menerima. "Jadi apa yang terjadi? Kamu bermasalah lagi sama ayahmu?"

Seolah-olah sosoknya sudah bisa menebak akar permasalahan Gabriella.

"Bokap gue brengsek tahu gak!" Kaia hanya diam mendengarkan. "Bagaimana bisa dia menampar gue gara-gara wanita gak tahu diri itu?! Mereka yang salah! Mereka yang muncul ke kehidupan gue tiba-tiba! Tapi kenapa gue yang tersiksa?! Belum sebulan kematian nyokap gue, Kai! Belum sebulan! Tapi dengan teganya bokap gue nikah lagi sama orang miskin itu. Salah gue apa?! Memangnya salah kalau gue gak bisa menerima mereka, enggak kan?! Gue benci mereka semua, Kai. Gue benci, gue benci! Gue benci!" teriaknya dan membanting minuman yang tadi diberikan sang pemilik apartemen.

Kaia pun terkesiap akibat cangkir yang pecah dan berserakan.

Terlihat seberapa frustrasi Gabriella sambil mencengkeram kasar rambutnya. Tampaknya dia benar-benar tersiksa dengan ini semua.

Apalagi kematian sang ibu saat sosoknya menginjak SMA masih terbayang sampai sekarang.

Dan terlebih parahnya lagi, ayahnya malah membawa mama juga saudara baru ketika duka masih menyelimuti. Benar-benar menghantam perasaan agar dirinya menderita.