Dan pemuda yang mendengus sebal itu pun terpaksa melanjutkan ocehan. Walau nyatanya mulutnya juga tak berhenti mengunyah keripik keju milik Ellio tadi.
"Terus sekarang siapa ketuanya?"
Perlahan Edgar menoleh ke arah Alen. "Hm ... anak baru sih kalau gak salah. Tapi gue gak tahu juga namanya siapa, kecuali dengar kalau dia anak SMA Astrada."
Mendadak Ellio dan Oscar pun saling bertukar pandang. "Astrada?" sahut mereka bersamaan.
"Iya."
"Kenapa? Kalian kenal siapa ketuanya?" tanya Ben tiba-tiba. Perubahan wajah keduanya membuat yang lain menatap lekat.
Ellio menggeleng pelan. "Enggak sih, tapi nih bocah klubnya kan bakalan tanding sama SMA itu," lanjut Oscar.
"Eh, serius!" pekik Edgar dan Alen bersamaan. Merasa tak menyangka kalau kesempatan untuk bertemu anak-anak Astrada akan secepat membalikkan telapak tangan.
"Iya."
"Wuih! Ada gunanya juga lo jadi anak basket! Kita jadi tahu kan siapa ketuanya," Edgar pun mengacungkan jempol. Tentunya dibalas dengusan sebal oleh temannya.
Giliran yang seperti ini baru dipuji-puji. Jika masalah lain jangan harap mulut beo itu melontarkan kata-kata manis.
Ellio yang sudah paham tabiat teman-temannya hanya mengedarkan pandangan malas.
"Iya nih! Ini baru berguna, beda banget tuh ama yang onoh!" cibir Alen sambil menunjuk Oscar dengan dagu. Terlihat raut sebal juga terpatri di sana, pertanda masih ada dendam yang belum terselesaikan dengan ketua OSIS.
"Gue maksud lo! Gini-gini gue udah banyak berjasa ya pas razia," pemuda itu malah tersenyum bangga. Tanpa sadar ucapannya justru menyulut jengkel teman-temannya.
Sontak Edgar menjitak kepala Oscar karena tak terima dengan ucapan pemuda berkacamata.
"Bacot!"
Tapi bukannya kesal Oscar malah tertawa. Ia terlihat puas dengan ekspresi yang dipamerkan mereka.
Jujur saja saat menghukum murid-murid yang melanggar aturan, batinnya bersorak bahagia. Dan pas jam istirahat atau pulang sekolah terkadang mulutnya takkan berhenti menertawakan mereka.
Apalagi kalau korban yang disanksi adalah rekan-rekan seperjuangan di Vayrez. Oscar merasa sosoknya benar-benar seperti bos sekaligus diktator yang menghakimi para sahabatnya.
"Halah, cuma ngingetin doang! Pas ngehukum lo keji banget dah! Kagak ngadi-ngadi! Lo gak tahu apa parfum gue tinggal berapa gara-gara lo suruh bersihin toilet hampir tiap hari."
"Salah lo sendiri telat terus. Dasar kebo!"
"Apa lo bilang!" Edgar tampak tak terima.
"Lo kebo!"
"Anjir lo!"
Pertikaian pun tak dapat terelakkan antara Oscar dan Edgar. Mereka benar-benar tidak pernah akur saat bersama. Ditambah lagi tawa mengerikan Ellio terus menemani semuanya.
Entah apa yang lucu dari pergulatan keduanya, membuat anak itu senang tertawa. Sementara sisanya memilih sibuk pada aktivitas masing-masing. Di mana Alen bermain game, Ben menghela napas pelan dan Roma membaca komik sekarang.
Sementara di kediaman Ahmadia, suara ketukan pintu kamar mengalihkan perhatian Gabriella.
"Masuk." Sontak ia langsung mendecih begitu tahu siapa sosok di balik pintu. "Ngapain lo di sini!"
"Sayang, sejak pulang sekolah tadi kamu masih belum makan. Mau mama bawain gak makanannya?"
"Halah! Sok perhatian lo! Mending lo pergi deh dari kamar gue!" kesalnya.
Tapi ketidak sopanan Gabriella diabaikan Indira. Bagaimanapun juga, baginya gadis itu tetaplah putrinya walau mereka tidak sedarah.
"Sayang—"
"Diem lo! Gak usah sok baik. Lo pikir dengan lo bersikap seperti ini gue bakalan luluh? Jangan mimpi deh lo! Mending lo pergi dari sini dasar orang miskin gak tahu diri!"
Wanita yang dihardik pun terdiam sambil memegangi dada. Sakit rasanya dibentak-bentak anak tirinya. Padahal ia sudah mencoba bersikap lembut pada Gabriella namun masih tak bisa meluluhkan hati beku gadis itu.
Entah apa lagi yang harus dilakukan olehnya agar mereka bisa akur dalam berkeluarga.
"Brengsek!" kesal Irena tiba-tiba dan langsung masuk ke kamar. Sontak saja ia tampar Gabriella karena sudah berani menghina ibunya. "Jaga bicara lo! Lo pikir lo siapa bisa ngehina nyokap gue?!"
"Anjing!" kemarahan langsung menguasai Gabriella. Sehingga tanpa ragu ia dorong kasar Irena sampai menabrak pinggiran nakas.
"Agh!"
"Irena! Ya ampun, El! Apa kamu lakukan?!" pekik Indira.
"Dasar anak gak tahu diri! Berani-beraninya lo nampar gue!" gadis itu emosi dan menjambak rambut saudarinya.
"Lepasin gue brengsek!" Irena meronta, mencoba membebaskan diri walau terasa sia-sia.
Cengkeraman tangan Gabriella bukan main kuatnya, sampai-sampai kulit kepala pun serasa ingin robek.
Indira begitu kewalahan memisahkan mereka. Bahkan teriakan miliknya terasa tak berguna di telinga. Pembantu pun datang namun hasilnya tetap sia-sia. Selain histeris milik Irena menghiasi pendengaran.
"Berhenti kalian berdua!" bentakan keras itu langsung memecah suasana. Keadaan mendadak sunyi, apalagi langkah kaki sosok yang baru datang berhasil mendebarkan dada. "Apa-apaan ini?!"
Tapi tak satu pun berbicara. Kecuali semuanya tertunduk kepalanya. Perlahan sang pembantu undur diri karena takut terlibat dalam masalah keluarga majikan.
"Gabriella! Irena! Apa-apaan ini?! Apa yang sedang kalian lakukan?!" Aldo menuntut jawaban. "Jangan diam saja, jawab!"
"A-aku, aku gak sengaja menampar Gabriella karena dia sudah berani menghina mama," ucapnya sambil terisak.
Irena benar-benar ketakutan dan itu terbukti dari suaranya yang gemetaran. Mendadak perasaan sesal menyelimuti, seandainya tadi dirinya tidak kelepasan mungkin Aldo takkan memperlihatkan wajah semarah ini.
"Halah! Munafik! Pake nangis-nangis, lo pikir gue gak tau maksud lo sebenarnya."
Sosok yang merasa tersinggung pun langsung menatap tajam saudaranya. "Munafik? Gue? Lo pikir gue yang bela nyokap gue munafik? Terus lo gimana? Sosok lo yang ngehina nyokap gue kurang ajar tau gak!"
"Apa lo bilang!"
"Diam!" teriak Aldo tiba-tiba. "Irena!" suaranya yang keras itu berhasil menusuk tulang anak tirinya. "Kembali ke kamarmu sekarang!"
"T-tapi, Pa—"
"Keluar!"
Dan bentakan itu membuat Gabriella tersenyum puas. Dia memandang sinis ke arah saudarinya, di mana Irena kian terisak karena dimarahi sang kepala keluarga.
Tentunya perlakuan Aldo sangat kasar untuk anak tiri. Dan Indira yang merasa sedih juga kecewa pada sikap pria itu menyentuh lembut bahu sang putri.
Berharap bisa menenangkan hati Irena, bagaimanapun juga gadis itu pasti terluka karena ucapan sosok yang menjadi ayahnya.
"Kalau begitu sekarang Papa sama wanita gak tahu diri itu—"
Terkesiap. Gabriella pun langsung menyentuh pipi kanan. Napasnya tercekat karena tiba-tiba ditampar tanpa aba-aba. Lagi-lagi tempat yang sama dengan tadi pagi.
Kebas berganti sakit seketika menggerogoti, diiringi mata berkaca-kaca dan mulai membentuk gumpalan kristal bening di pelupuknya.
"Wanita itu? Dia ibumu!" tunjuk Aldo pada Indira.
Putrinya tak bisa berkata-kata. Perlahan diangkatnya wajah sambil menatap tak percaya ayahnya.
"P-Pa. Papa nampar aku?" Pertanyaan itu malah dibalas oleh deru napas memburu. "Kenapa? Kenapa Papa nampar aku? Salah aku apa?! Seharusnya yang Papa tampar itu Irena! Bukan ak—"
Bunyi keras kembali mengaung di sana. Aldo tanpa iba menghantamkan lagi telapak tangan yang sama ke wajah putrinya. Masih di lokasi itu, di mana jejak lebam juga perih menjadi saksi kekerasan kepala keluarga Ahmadia.
"Mas!" pekik Indira. "Apa-apaan kamu, Mas?!" syoknya sambil menarik lengan suaminya. "Ella itu putrimu! Bagaimana bisa kamu menamparnya?!" dirinya tak habis pikir dengan ulah Aldo barusan.
"Justru karena dia putriku makanya aku melakukannya! Karena dia sudah menghinamu wanita yang seharusnya dianggap ibu olehnya!"
Gabriella terbelalak. Masih tak menyangka akan lirihan ayah kandungnya. Hanya karena hal itu dirinya tega diperlakukan seperti ini. Sesak membubung tinggi dan sakit menyelimuti hati.
Semudah itukah Aldo melayangkan kekerasan? Pada putrinya, pada darah dagingnya. Bayang-bayang wajah penuh kasih pria itu bahkan sekarang tak tersisa lagi di ingatan Gabriella.
"Jadi, Papa benar-benar menamparku karena dia? Karena wanita ini? Karena wanita yang sudah merebut posisi ibu kandungku seperti ini!"
"Gabriella!"
"Apa!" tantang gadis itu akhirnya. "Apa, Pa! Apa! Papa mau menamparku lagi? Ayo, Pa! Tampar aku sekarang, tampar!"
Amarah gadis itu begitu berkobar sampai-sampai suaranya terdengar ke kamar Irena. Tentunya saudara tirinya tersenyum puas sebab Gabriella bertengkar juga dengan Aldo akhirnya.