Chereads / Pseudo : THE CHEATER'S SONG / Chapter 7 - 7. Geng Ares

Chapter 7 - 7. Geng Ares

"Eh, Bos! Makanan kita mana?" tanya Edgar begitu ketua Vayrez muncul di markas mereka.

"Njir! Gue lupa!" sambil memukul jidatnya.

"Halah ... Emang gini nih ketua wedan!" cerca Ellio yang ikut kecewa.

Padahal anak-anak itu sudah menunggu dari tadi, dan sekarang para cacing kremi pasti berpesta pora. Berisik agar dihadiahkan makanan secepatnya. Sia-sia sudah harapan palsu yang diberikan oleh Ben selaku tukang traktir mereka.

"Udah ah! Pesan aja ntar gue yang bayar."

"Oke!" Alen pun mengacungkan jempol dan mau tak mau memesan makanan apa saja sesuai selera teman-temannya.

"Efek samping berpelukan," Roma bergumam tiba-tiba dan membuat Ben langsung menoleh.

Tapi rekannya itu hanya tersenyum sinis. Tentunya ketua Vayrez meradang seolah tertangkap basah. Malu juga ikut menyerang apalagi ingatan saat dirinya memaksa memeluk Gabriella.

Hal tersebut jelas bukan tontonan untuk teman-temannya. Batinnya bertanya-tanya apa yang lain juga ikut menyaksikan.

"Cuma gue sendiri kok yang lihat, lo santai aja," ucapnya seakan tahu apa yang dipikirkan. 

Ben pun menggaruk tengkuknya yang tak gatal sebagai balasan.   

"Sialan! Baju gue!" pekik Edgar tiba-tiba. Tawa menggelegar dari Ellio yang berhasil mengerjainya sungguh meremangkan bulu kuduk pendengar. "Ke sini lo setan!" teriak kerasnya yang mengejar ketua basket itu.

Bagaimana ia tidak kesal, mengingat temannya menyodorkan minuman bersoda dan muncrat ke wajah serta baju begitu dibuka.

Memang edan Ellio si pemilik tawa horor kepadanya.

"Halo," sapa seseorang yang baru datang di sela-sela keributan.

"Woy! Muka lo serem amat bego!" Alen mendelik karena kehadiran ketua OSIS SMA Astoris Panama.

Terlebih dandanannya tak lagi ganteng seperti biasa. Lusuh, rambut urak-urakan, dan kacamata oleng ke kanan.

"Ngenes," timpal Roma yang sibuk membaca komik di sofa.

"Diem lo tiang!" Oscar pun melempar tas ke sembarang arah.

"Bangsat!" pekik Ben yang hampir ditimpuk barang temannya itu.

"Eh! Sorry, Bos! Gak sengaja," dia malah terkekeh dan memasang wajah tanpa dosa.

Ketua Vayrez pun menghela napas pelan dan geleng-geleng kepala. Terlebih tawa horor Ellio masih terdengar di telinga mereka walau sosok itu sedang kejar-kejaran di lantai satu dengan Edgar.

"Eh! Kalian sudah denger belum tentang geng Ares?"

Edgar bersuara tiba-tiba setelah pesanan Alen datang dan menghentikan aksi pengejarannya. Mereka yang sedang makan-makan di lantai dua mulai menatap lekat sang pembicara.

"Ares? Masih hidup tuh geng ubur-ubur," cela Alen dengan nada meremehkan.

"Masihlah bego!"

"Gue pikir udah punah."

"Gue juga," Ellio pun kembali mengunyah keripik di tangan.

"Terus kenapa sama geng itu?" sekarang Oscar yang bersuara.

Dengan tampang mulai serius, Edgar pun memajukan tubuh. Tentunya orang-orang sekitar agak kaget dan mulai menatap penuh minat.

Apalagi mengingat sepak terjang geng Ares dengan mereka. Lebih banyak konflik sehingga tak bisa dilewatkan. 

Tapi tiba-tiba, "anjir! Gue kira lo mau ngomong apaan! Gak tahunya nyolong!" kesal Ellio akibat bungkusan keripik kejunya direbut Edgar.

"Emang enak kena tipu!"

"Balikin cemilan gue gondrong!" Ellio langsung memburunya.

Tapi tiba-tiba Oscar yang kesal pun menjitak kepala mereka berdua.

"Berisik! Duduk yang bener atau gue hukum lo di sekolah!" ancamnya tiba-tiba dan membuat double E itu cemberut.

"Ditraktor lo! Eh salah! Diktator lo!"

"Penjajah!" cela Ellio.

Tapi tatapan tajam Oscar berhasil membuat keduanya mati kutu dan saling menunduk. Mereka tahu kalau sorot mata itu akan menjadi bencana jika sudah memasuki sekolah.

Dengan kata lain bersiap saja akan hukuman yang berat jika sampai membuat masalah.

Walaupun berteman, tapi Oscar sangat keji kalau memberi sanksi. Bahkan pernah dalam sehari uang saku anak-anak geng Vayrez habis karena ulahnya. Di mana ia memalak mereka, namun dengan lihainya bersilat lidah kalau itu bentuk disiplin agar tak ada lagi yang melanggar aturan.

Tentunya para guru setuju saja. Lagi pula Astoris Panama memang sekolah ternama. Jika tingkat kedisiplinan mereka ala kadar, jelas sekolah itu takkan menjadi SMA favorit.

Dan siapa pun yang dikeluarkan karena mengandung unsur negatif akan sulit diterima sekolah lain sebagai gantinya. Kecuali mengeluarkan uang banyak untuk memuluskan nasib tersangka.

"Terus, ada apa sama geng Ares?" Ben yang dari tadi menahan sabar akan tingkah teman-temannya mulai bersuara.

"Eh masih nungguin gue lo?" kekeh Edgar.

"Ya masih lah! Gue juga!" sekarang Alen yang jengkel pun menjitak temannya.

"Anjir! Sakit bego!"

"Lo yang bego udah bikin kita penasaran!"

"Makanya jadi orang tuh maju! Ini gak, di goa mulu."

"Kenapa sama geng Ares?" pertanyaan dari Roma berhasil mengheningkan suasana. Bahkan pemuda-pemuda cerewet itu tak mampu lagi berkelakar jika dia sudah bersuara.

"Bagus, sejak tadi kek," Ben tampak tersenyum puas. Dan hanya ditatap datar oleh teman dinginnya itu.

"Mereka udah beraksi kembali."

"Eh, serius lo!" kaget Ellio mendengarnya.

"Iyalah! Lo kira gue main-main!"

"Tapi mereka bukannya udah bubar ya? Kenapa tumbuh lagi? Kek tanaman aja," kesal Oscar.

Bahkan bukan hanya dirinya, Alen, Ben, juga Roma yang punya kisah buruk dengan anak-anak geng Ares pun memasang muka jengah. Sungguh mereka sangat malas kalau sampai berurusan lagi dengan perkumpulan itu.

"Kek nya bakalan berantem lagi nih!" Ellio malah terkekeh.

Ia kembali teringat masa lalu, di mana pertarungan konyol yang diawali balapan motor antara Oscar juga ketua Ares, justru malah berakhir ricuh. Padahal Edgar si cerewet itulah pemicu sebenarnya.

Dia seenak jidat menghina mereka, namun anak-anak Ares justru lebih tersulut emosi setelah Oscar bersuara. Dan apa pun yang dikeluarkan mulut kotornya sangat beracun untuk diterima telinga.

Jadi jangan salahkan geng Ares kalau sampai menaruh dendam. Karena kesombongan Oscar jika sudah mengoceh bahkan pedasnya melebihi Edgar si burung beo gengnya.

"Tapi kayaknya ketuanya sekarang sih bukan si bangsat Ego." Edgar pun menyambar minuman Alen tiba-tiba. Membuat pemuda itu menatap horor namun dia tak peduli. Terus meneguk melepaskan dahaga, sampai-sampai Ben pun menenangkan temannya agar tak mencekik bocah gondrong di depan mata. "Lega!" senyum puas terpancar darinya.

"Lega-lega bacot lo! Minuman gue tuh!" Alen pun menarik pipi kanan Edgar dengan geram.

"Nih, gue balikin lagi."

"Apaan nih! Udah kosong gini!"

"Udah nih lo ambil aja minuman gue," Ben pun menengahi mereka sambil menyodorkan sekaleng minuman.

Memang susah berhadapan dengan mood maker Vayrez. Tak hanya sebagai pencari informasi, Edgar itu juga ladang emosi. Kalau bukan karena pertemanan, Ben sudah dari dulu angkat tangan menghadapinya.

Apalagi anak itu terkadang juga tega mengerjai teman-temannya sampai-sampai para korban ingin menghajarnya bersama-sama.

"Idiih, si bos baik bener. Ke gue kok enggak!" Edgar tampak tak terima.

"Biar lo lanjut lagi ngocehnya. Kayak kagak paham aja lo sama perhatian bos kita," Oscar ikut cengengesan sambil melirik ketua.

"Seharusnya gue itu di gaji karena udah jadi informan lo-lo pada!"

"Bacot!" sela Ellio yang melemparkan kulit kacang ke wajah Edgar.

"Bangsat!"

"Udah-udah, udah! Lanjut Ed!" perintah Ben sambil melebarkan tangan kanan agar pemuda itu tidak mencakar ketua klub basket di sebelah.

Entah berapa banyak stok kesabaran yang harus Ben miliki apalagi rata-rata temannya kaum bercanda. Dan jangan sampai mood Edgar memburuk tiba-tiba, sebab setelahnya ia akan mengeluarkan sumpah serapah yang membuat anak-anak Vayrez terpaksa menyumpal telinga.