"Kenapa?"
"Gue males, Ben. Gue ke markas lo aja ya."
Ben tak menjawab selain tangan terangkat dan menyentuh pipi Gabriella. Gadis itu tersentak bersamaan dengan detak jantung yang mulai cepat gerakannya. Tanpa ia sadari wajah cantiknya kian bersemu.
"Pipi lo—" garis rahang Ben menegas. "Lo ditampar?" pemuda itu menatap lekat jejak memar yang sudah susah payah dikompres sang gadis dan ditutupi make up.
Sosok di depan mata langsung menepisnya dan mengedarkan pandangan tak suka. Jujur ia juga agak malu dengan kondisinya.
"Lo kayak gak tahu aja bokap gue kek gimana," bahkan kekehan pelan juga terlontar di sela-sela bibir ranum itu. Tapi yang pasti sang pemuda tak suka melihatnya.
"Gue gak mau lo terluka, El."
Terdiam. Perlahan Gabriella menoleh. Matanya menyipit dan entah apa yang dipikirkan. Senyum tipis pun terpatri di bibir.
"Yuk, ke markas lo aja ya? Please," tapi Ben malah menggeleng. Tentunya membuat gadis itu mendadak emosi. "Kenapa?!" suaranya langsung naik dua oktaf.
"Om Aldo pasti gak suka kalau lo gak langsung pulang. Lo gak lupakan sama ucapannya?"
Seketika ingatan di mana ayahnya marah-marah di depan anak-anak geng Vayrez berkumandang. Bagaimana bisa Gabriella melupakan itu? Kejadian tersebut berlangsung saat kenaikan kelas dua. Sosoknya yang berada di urutan tiga terakhir di kelas membuat kepala keluarga Ahmadia murka.
Merasa malu karena kebobrokan otak putrinya. Bahkan Gabriella juga kalah dari anak tirinya sendiri, Irena. Di mana musuh bebuyutan sahabat Ben tersebut mendapat peringkat sepuluh besar di kelas.
Tentunya pemuda itu melihat dengan jelas seberapa kasarnya Gabriella diperlakukan di depan rumah. Saat akan ikut ke markas bersama anak-anak geng Vayrez yang menjemput, gadis muda tersebut benar-benar dipermalukan habis-habisan.
Walau teman-temannya memaklumi bagaimana kerasnya watak Aldo dalam mendidik putrinya yang pembangkang, tapi tindakan pria itu tetap keterlaluan.
"Terus kenapa? Palingan nanti gue digampar."
"Karena itu lebih baik lo langsung pulang. Gue gak mau lo di apa-apain Om Aldo, El. Gue gak suka. Gue gak suka lo kenapa-kenapa." Akan tetapi sekarang Gabriella malah memandangnya dengan ekspresi agak aneh. "El?"
"Lo gak suka gue kenapa-kenapa?"
"Iyalah!" tegasnya.
Dan gadis itu pun tersenyum sinis. "Terus kalo lo yang apa-apain gue gak masalah?"
Terkesiap tentunya. Entah apa maksud gadis itu yang jelas Ben sama sekali tidak paham.
"Maksud lo?"
"Gak usah munafik deh, Ben. Lo sendiri tahu kan gimana perasaan gue?"
Pemuda itu tak bisa berkata-kata. Dirinya syok akibat perkataan Gabriella. Bagai dihantam telak pendengaran juga perasaan. Inilah yang sangat ia takutkan kalau tak sengaja menyinggung sang sahabat.
Pembicaraan dengan akhir yang sudah jelas di depan mata. Topik terlarang menurut Ben karena tak tahu harus bersikap seperti apa.
"El, lo—"
"Lo gak capek apa terus gantungin gue?"
Bagai di hujam ke dalam tulang. Bahkan sekarang ekspresi sahabatnya mulai berubah. Matanya berkaca-kaca dan itu menggetarkan hati Ben yang melihatnya. Ketenangan miliknya benar-benar dibungkam Gabriella.
Rasanya sesak dan tidak rela secara bersamaan.
"El, lo tahu sendiri kan gimana per—"
"Perasaan lo?" potongnya tiba-tiba. Mendadak gadis itu mengedarkan pandangan sambil mengembuskan napas jengah. "Ya, gue tahu. Gue tahu apa yang mau lo ucapin, Ben. Lo mau bilang kalau lo juga suka sama gue kan? Terus apa?! Kenapa lo gak mau pacaran sama gue? Karena kita sahabatan? Lo takut kita udahan kalo sampe putus? Iya? Udah basi tahu gak alasan lo!" Gabriella pun langsung membuka pintu mobil.
Sungguh ia sakit hati dan tak bisa menahannya. Sampai uraian air mata pun menjadi saksi seberapa tersiksa Gabriella dengan perasaan miliknya.
"El!" Ben tersentak dan langsung menyusul. "Lo mau ke mana? Dengerin gue dulu!"
Tapi sentuhan di lengan gadis itu langsung ditepis. "Gak usah pegang-pegang gue!" Deru napasnya begitu memburu dan terlihat terluka. Ia menggeleng kepalanya pelan.
"El! Lo sebenarnya kenapa sih? El yang gue kenal gak kayak gini!"
Sakit rasanya. Tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Padahal bukan ini yang ia mau tadi, tapi suasana juga perkataan menyebalkan pemuda itu berhasil menyulut emosi seorang Gabriella.
Salahkah gadis itu tak bisa membendung gejolak di dada yang selama ini ditahannya?
Jawabannya bahkan sangat mudah untuk dipahami Ben. Namun sosoknya seakan menutup mata.
"Terus El yang lo kenal kayak gimana? Yang cuma bisa memendam perasaannya dan nurutin ucapan lo aja? Iya? Sorry, Ben. Itu bukan gue. Gue gak bisa kayak gitu. Gue gak bisa terikat persahabatan terus sama lo sementara gue punya hati buat lo. Gue suka sama lo! Tapi lo cuma anggap gue sahabat gak lebih! Gue capek, Ben! Gue capek berharap sama lo sementara lo tunangan sama cewek lain. Gue capek, Ben! Gue capek!"
Pemuda itu benar-benar terkejut dibuatnya. Terlebih sekarang Gabriella tampak tak bisa membendung tangisan. Ben juga tersiksa melihat sahabatnya terluka. Tanpa aba-aba dipeluknya gadis muda itu bersamaan dengan penolakan yang diterima.
Gabriella meronta dalam rangkulannya.
"Lepasin gue!"
"Gak!"
"Lepasin gue, Ben! Lepas!" sambil memukul dada pemuda itu.
"Gue bilang gak, El! Tolong biarin gue kayak begini!"
Permintaan Ben benar-benar sulit diterima hati Gabriella. Apalagi debaran di dada dihiasi sesak oleh sikap sang pemuda. Padahal mereka saling suka, tapi kenapa sangat sulit merangkai cerita? Untuk menjadi sepasang kekasih yang saling cinta.
Dan semua karena posisinya sebagai sahabat juga Ben yang telah memiliki tunangan sejak dahulu kala. Harapan Gabriella tidak susah sebenarnya, ia hanya ingin diperjuangkan oleh Ben dan menjadi pacar sepenuhnya.
Bukan cuma sosok di pinggiran, walau punya ruangan untuk tersimpan dalam perasaan, namun terkadang sering gigit jari jika di hadapkan pada kenyataan.
Keberadaannya jelas telah kalah jika diukur dengan status di mata keluarga.
Di satu sisi Kaia sudah pulang. Sekarang di rumah hanya ada sang pembantu yang menyambut sosoknya.
"Selamat datang, Non." Gadis itu mengangguk dan merebahkan diri di sofa. "N-Non," panggil Arma dengan ekspresi agak takut.
"Ya?"
"T-tadi ... nyonya Karina sama nona Karisa datang, Non."
Sontak saja raut wajah Kaia mendingin. "Mau apa mereka ke sini?"
"K-katanya mau tahu gimana kabar non Ai sama tuan muda."
Dengusan langsung terlontar darinya. "Terus jawaban Bibi?"
"Seperti biasa, Non. Di luar negeri."
Seketika ekspresi menegangkan dari wajah Kaia berubah hangat. Tentu saja menimbulkan lega Arma. Walau majikan mudanya itu tidak pernah marah, tapi penampakan di rupa miliknya kadang benar-benar mendinginkan tulang.
Hanya dengan pergantian raut mukanya saja para pekerja di rumah itu langsung berkeringat dingin saat berhadapan dengan Kaia.