"Ayo, El," ajak Ben dan agak memaksa Gabriella pergi.
"Apa sih! Gue tuh masih belum selesai ya kasih anak-anak setan itu pelajaran!" dia pun meronta.
"Udahlah. Biarin aja Oscar yang menangani mereka."
"Tapi—"
"Ya?" tatapan lembut Ben pun berhasil membuat Gabriella mengangguk terpaksa.
"Ya sudah. Gue mau ke UKS dulu."
"Ayo," sang pemuda pun menggenggam tangannya.
Sementara di UKS Kaia merintih pelan karena pipinya sedang dikompres Ellio. Bukan hanya mereka berdua, Edgar dan Roma juga ada di sana. Sedangkan Alen entah pergi ke mana.
Ini bukanlah pemandangan pertama bagi anak-anak geng Vayrez melihat teman perempuannya terluka akibat bullyan di Astoris Panama.
Mungkin sudah belasan, namun saat menginjak kelas 2 SMA perundungan yang dialami Gabriella ataupun Kaia tak ada lagi seharusnya. Mengingat Ben juga teman-temannya takkan segan-segan pada siapa pun yang menyentuh mereka.
Tapi sayang sekarang malah terjadi lagi pada Kaia. Dan pelakunya justru anak Donatur yang juga berpengaruh di sekolah mereka. Walau begitu bukan berarti geng Vayrez akan diam saja, apalagi ada Oscar si otak kotor selaku ketua OSIS untuk menghakiminya.
"Omong-omong gimana kalau dibawa ke rumah sakit aja? Biar pipi lo gak bengkak kek bola."
"Ngelantur mulu lo!" Ellio menimpali.
"Ugh!" erang Kaia tiba-tiba.
"Eh maaf!" panik ketua basket itu.
"Lo bisa obatin dia kagak sih! Minggir!" Edgar pun menyelonong menggantikan posisi temannya.
"Anjir!" pekik Ellio karena hampir jatuh terjungkal.
Pintu UKS pun terbuka dan menampilkan sosok Alen yang membawa sebotol minuman. Diberikan pada Kaia dan gadis itu menerima sambil tersenyum senang.
"Makasih."
"Mau gue bukain gak?" pemuda itu menawarkan.
"Bole— ugh!"
"Jangan bicara dulu bego!" peringat Edgar karena dirinya sedang mengobati sudut bibir Kaia.
"Lo kebangetan bener bilang dia bego!" Alen pun menjitaknya.
"Njir! Gue lagi ngobatin dia cumi! Jangan di ganggu!"
"Bodo!" tangan sang pemuda pun membuka tutup botol dan kembali menyodorkannya pada Kaia.
Selesai diobati dia langsung minum walau secara perlahan. Tentunya disaksikan para anggota Vayrez di sana. Pintu pun kembali terbuka dan menampilkan sosok Gabriella serta Ben yang mendekat. Terlihat kalau salah satunya memasang muka sebal. Entah apa yang terjadi pada keduanya.
"Emang gak ngotak tuh pak botak! Gak tau kita lagi buru-buru apa!" kesal gadis itu tiba-tiba. Alhasil teman-temannya mengernyitkan dahi karena kejengkelan yang dilontarkan Gabriella.
"Kenapa lo?" bingung Ellio.
"Udah jelas gue sama Ben lagi buru-buru! Eh tuh pak botak malah nyuruh kita bawain buku segede perutnya ke perpus! Sialan banget kan!"
"Rasain lo! Sering-sering aja kek gitu, mana tau bisa ikutan botak."
"Sialan! Temen gak ngotak emang gini nih! Sini lo jabrik! Gue rontokin gigi lo!" Gabriella yang kesal pun memburu Edgar.
Pemuda itu langsung lari menghindar, memilih bersembunyi di belakang Alen yang meronta karena takut akan cakaran Gabriella.
Kaia malah tertawa pelan dan berhasil mengalihkan perhatian mereka. Sepertinya ia benar-benar terhibur dan melupakan sakit di wajah cantiknya.
"Udah ketawa aja nih! Udah aman kan lukanya," Ellio pun bersuara. Gadis itu agak kaget dan tersenyum padanya.
"Tapi sebenernya apa yang terjadi, Kai?" Ben bersuara.
"Iya, sampe lo ngenes begini. Lo dihajar sama mereka? Gara-gara apa?" Edgar pun duduk di sampingnya setelah berhasil mendapat satu jitakan dari Gabriella.
Sekarang perhatian mereka semua tertuju pada Kaia yang hanya menunduk saja. Butuh beberapa detik baginya sebelum mengembuskan napas pelan.
"Biasa, cuma masalah cewek kok."
"Masalah cewek?" nada Gabriella tiba-tiba meninggi satu oktaf. "Pasti gara-gara cowok kan! Bilangin sama gue siapa cowoknya! Biar gue gampar sekalian! Enak aja tuh cewek sialan ngebully temen gue! Belum tau ya dia gue siapa!" gerutunya panjang lebar. Bahkan wajahnya juga memerah karena emosi.
Mendengar itu Kaia pun mengulum senyum. Terlihat sosoknya terharu dengan ucapan gadis yang merupakan sahabatnya.
"Tahan woy! Tahan! Lo mau bikin masalah lagi?! Ntar lo dapet surat peringatan baru tahu rasa lo!" Ellio memperingatkan.
Karena bagaimanapun mereka sama-sama tahu seperti apa tabiat Gabriella. Dia akan menyakiti siapa pun yang melukai dirinya juga teman-temannya. Walau pernah kena bully, tapi ia takkan diam saja.
Sosoknya akan membalas mereka dan berujung pada pertengkaran yang melibatkan pemanggilan orang tua.
Akhirnya amarah sang ayah sekaligus tamparan darinya pun menjadi penantian ulah Gabriella. Tentunya teman-temannya tak ingin kalau gadis itu kembali ke lubang yang sama.
"Jadi emang gara-gara cowok? Siapa?" Alen menyela.
"Oscar."
Jawaban singkat Kaia berhasil membuat teman-temannya menjatuhkan rahang. Mulut menganga dan mata melotot mewakili kondisi mereka.
"Oscar?!" pekik semuanya kecuali Roma yang masih setia dengan muka datar.
"Iya."
"Jangan bilang lo pacaran sama tuh bocah edan?!" Edgar syok karenanya.
Bahkan yang lain juga memasang raut serupa. Sulit membayangkan gadis lemah lembut dan pengertian seperti Kaia akan berpacaran dengan ketua OSIS berotak kotor itu.
Walaupun tampan dan sangat perhatian pada Kaia, menurut mereka gadis itu terlalu baik jika dipasangkan dengannya.
Apalagi bagi yang mengetahui, sepak terjang Oscar itu lebih banyak keruhnya. Dia bahkan tak segan-segan memukul wanita, dan tentunya ada alasan khusus kenapa dirinya tega.
"Ya enggak lah. Kakak kelas itu salah paham. Dia kira aku ada hubungan apa-apa sama Oscar, padahal kami cuma jalan bareng tadi. Cuma itu."
"Njir! Gue kok jadi ngeri ya sama cewek," Ellio meringis pelan.
"Makanya jangan jadi buaya kelayapan bro. Tobat bro, tobat," Ben pun terkekeh sambil memegang bahu temannya.
Dan ketua klub basket itu langsung menepisnya. "Kek lo gak buaya aja. Asal lo tahu ya, gue itu masih jomblo, masih ting ting dari orok, enak aja lo panggil buaya."
Tapi Roma masih saja memancarkan rupa tenang dan tak berminat pada lelucon teman-temannya. Namun setidaknya dia berhasil menyemburkan kalimat tak terduga.
"Salah satu dari mereka babak belur. Apa lo pelakunya?" atensi semuanya pun mengarah pada Roma. Dia terlihat tidak peduli dan masih memandangi Kaia.
Gadis itu terdiam sejenak. Bahkan jika ekspresinya tidak terlihat kaget sama sekali, debaran di dada berdetak lumayan kencang. Pertanda kalau pertanyaan barusan cukup mengejutkan.
Anak-anak di sana ikut melirik Kaia dengan tatapan penuh tanda tanya.
"I-iya. Habisnya mereka mau videoin aku yang enggak-enggak, makanya—" raut wajahnya tampak terluka. Bahkan matanya perlahan juga berkaca-kaca.
Mereka yang menyaksikan pun langsung merasa iba. Berbeda dengan Roma muka datar masih menjadi andalannya.
"Emang sialan!" Gabriella pun mendengus sebal. "Memang harus dikasih pelajaran tuh mereka!"
Nyatanya suara hati Kaia melukiskan suasana berbeda. Ia sadar kalau dirinya baru saja berbohong kepada mereka. Tapi apa mau dikata mulutnya spontan bersuara. Kalaupun nanti ketahuan berdusta, dirinya juga sudah menyiapkan beragam cara untuk mengelak dari teman-temannya.
Entah apa alasan sebenarnya gadis itu menyembunyikan kebenaran, namun satu hal yang pasti, Kaia sudah merasa jengah dengan keberadaan orang-orang di sekitar.
Tampaknya memang ada sebab khusus kenapa dirinya tidak memperlihatkan sifat aslinya.
Dan di ruangan yang berbeda, tiga pelaku pembullyan sedang di hadapkan pada amarah ketua Osis mereka.
Wajah memerah menghiasi ketiganya. Dan salah satunya malah mengepalkan tangan dengan kuat akibat perih dari kalimat pemuda yang menjadi pujaan.
"Jawab! Kalian gak budeg kan?!"
Bentakan Oscar berhasil membungkam mulut mereka. Namun tak ada satu pun yang membalas. Dia mendesah kasar sebab kakak kelas di depan mata sangatlah keras kepala.
"Eh, Kak! Lo gak lupa kan lo siapa? Lo itu anaknya Donatur sekolah! Mau jadi jagoan lo di sini! Kalau lo masih tetap gak mau jawab, mending lo ke ruang BK sekarang. Cepat!" hardik pemuda itu sehingga suaranya sampai keluar ruangan.
Agnes yang jelas-jelas merupakan fansnya, merasa sakit hati sekaligus kecewa. Sesak di sudut hati mencengkeram dirinya untuk semakin membenci.
Tentunya Kaia lah korban emosi.
"Gak usah bentak-bentak gue juga ya sialan!" Agnes yang kesal pun memilih pergi dari sana. Bukan hanya dirinya, bahkan kedua temannya juga mengikuti.
"Njir! Sok banget tuh cewek!" cibir salah satu anggota OSIS.
"Nes! Lo mau ke mana?! Ini kan bukan jalan ke ruang BK!" Fenia tiba-tiba menyela.
"Ya gila kali gue mau ke ruang BK! Gue mau pulanglah!" Alexa dan Fenia pun kaget mendengar balasannya.
Padahal jelas-jelas kalau tadi Oscar menyuruh mereka untuk ke sana.
"Terus kita gimana? Pipi gue juga masih sakit nih!" Fenia tampak tak terima. Bagaimanapun sosoknya jadi sampai seperti ini karena mengikuti Agnes.
"Udah ah! Cabut aja yuk!"
"Terus tas kita?!"
"Ntar gue suruh aja supir buat ngambilnya. Ayo! Mumpung penjaga lagi istirahat di kantin!" ajaknya.
"Oke deh! Gue juga males ke kelas lagi apalagi muka gue begini!" geram Fenia.
Dan tentunya ketidakhadiran mereka di ruang BK pun sampai ke telinga Oscar. Sepertinya tiga orang itu benar-benar ingin bermain-main dengan perintah ketua OSIS.
Seringai tipis terpatri di bibir pemuda berkacamata dan dia pun memainkan ujung rambutnya.
"Benar-benar minta dihukum dengan kasar ya?" lirihnya berlalu menuju kelas.
Langit mulai mendung. Dan itu bisa terlihat oleh anak-anak SMA Astoris Panama. Untungnya sekarang sudah memasuki jam pulang.
Kaia yang tampak menyedihkan tetap mengikuti kelas. Bagaimanapun sosoknya tidak ingin ketinggalan pelajaran. Walau nyatanya ia anak cerdas dan takkan kerepotan sebenarnya.
Dan para guru yang kaget melihat kondisinya masih tak mendapati jawaban apa pun dari Kaia. Tentunya Gabriella jadi kesal akibat kebungkaman sang teman.
Alasannya hanya satu, karena tak ingin menambah masalah. Terlebih gadis itu sadar dengan tatapan sinis sekitar akibat perhatian anggota Vayrez padanya.
"Kai, lo pulang sama siapa?"
"Ojek."
"Biasanya kan bareng gue sama Ben. Kok sekarang ojek? Gue anterin ya?" Gabriella pun mengedipkan mata berulang. Sosoknya tampak imut sehingga senyuman pun tersungging di bibir Kaia yang menyaksikan.
"Gak usah, El. Masa lagi-lagi aku ganggu kencan kamu. Memangnya kamu gak bosen aku jadi nyamuk."
Kaia tahu kalau temannya itu sangat menyukai ketua geng Vayrez. Tapi nyatanya sebagai sahabat mereka masih belum berpacaran. Dan semua karena alasan konyol Ben Emanuel Alkarki.
"Ya sudah kalau gitu. Tapi kalau lo pulang sama Alen gak apa-apa kan? Al! Lo mau gak pulang bareng Kai?" tanya Gabriella tiba-tiba karena pemuda itu kebetulan terlihat olehnya.
"El!" sela Kaia.
"Boleh."
"Nah! Udah, gak apa-apa kok! Lo kek sama orang lain aja. Dia kan temen lo juga," Gabriella meyakinkan dirinya. Terlebih ia sangat mengerti kalau Kaia tipe yang tidak enakan dan tak mau merepotkan.
Padahal mereka sudah cukup lama berteman namun entah kenapa gadis itu masih sungkan untuk diantar pulang.
Anak-anak geng Vayrez tak ada yang merasa keberatan. Lagi pula Kaia itu juga sangat disayang.
Terbukti jika ada apa-apa para pemuda itu pasti langsung menawarkan bantuan. Dia adalah gadis kedua setelah Gabriella yang begitu dijaga dan tak boleh lecet oleh para buaya yang mengincarnya di luar sana.
"Gimana nih? Jadi kan? Kapan lagi coba gue anterin lo pulang," ucap Alen sambil menaik turunkan alisnya.
Terpaksa gadis itu mengangguk. Rasanya tak enak juga menolak apalagi setelah Gabriella duluan yang meminta tolong pada sang pemuda.
Dan tak lama kemudian Ben pun muncul bersama teman-temannya yang lain. Barulah Kaia juga Alen pulang duluan.
"Gue ke markas abis anter El ya," tukas ketua geng Vayrez.
"Oke!" sahut Edgar. Dan semua temannya kecuali Roma mengangkat jempol sebagai balasan. Masing-masing pun terpisah sekarang.
"Gue, gak mau pulang."
Ben pun langsung menoleh pada sosok yang bergumam. Tentunya ia heran karena sang sahabat tiba-tiba mengatakan itu.