Chereads / Pseudo : THE CHEATER'S SONG / Chapter 4 - 4. Dibully

Chapter 4 - 4. Dibully

"Heh! Lo pikir lo siapa?! Seenaknya aja deketin Oscar! Ngaca dong! Lo tuh gak pantes buat dia!" sela Agnes yang merupakan anak kelas 3. Tiada angin tiada hujan dirinya langsung membentak Kaia.

Dahi berkerut pun terhias di rupa lawan bicara. "Aku?" tanya Kaia sambil menunjuk diri sendiri.

"Ya iyalah! Memangnya siapa lagi?!" marahnya dan mendorong kasar gadis itu. Sontak saja punggung Kaia menabrak wastafel di belakang namun tak merintihkan pesakitan.

"Tapi aku dan dia cuma temenan."

Mendengar hal itu kedua teman Agnes ikutan geram. Mereka pun maju seolah-olah ingin mengeroyok buruannya. 

"Halah, bohong tuh! Kita-kita lihat sendiri kok gimana perlakuan Oscar ke lo! Jadi cewek ganjen banget sih! Udah jelek juga, gak tahu diri!" Fenia pun menepis kasar ujung rambut Kaia yang terjuntai ke depan.

Semakin memanaskan keadaan apalagi Agnes yang notabene memang penggemar berat Oscar ikut terpancing emosinya.

Gadis yang dibully terkesiap karena perlakuan mereka. Apalagi Agnes tiba-tiba mencengkeram kerah seragam Kaia, dan memamerkan ekspresi seakan-akan ingin merobek wajah cantik di depan mata.

Napas Kaia pun tercekat akibat sensasi sakit mulai menggerogoti lehernya.

"Heh! Lo tuh harusnya sadar diri! Lo tuh gak pantes deket-deket sama dia apalagi anggota Vayrez!"

Tapi bukannya takut, Kaia justru memiringkan kepala. Menatap remeh pada Agnes yang berbicara. "Heh ... bukannya kamu cuma fansnya ya? Apa kamu gak malu songong begini?" Tapi tamparan tak terduga justru langsung menghiasi pipinya. Ia terdiam dan tertunduk di depan lawan.

"Jaga bicara lo brengsek!" Perlahan gadis itu pun mendongak. "Apa lo lihat-lihat! Mau nantangin gue lo!"

Namun bukannya merintih kesakitan ia malah memasang muka datar, dan hal itu berhasil membuat kakak kelasnya semakin kesal.

"Telingaku berdenging," ucap Kaia dengan santainya.

"Agh!" pekik Agnes tiba-tiba karena perutnya ditinju tanpa aba-aba. Tentunya mengejutkan kedua temannya. Cengkeraman di kerah baju pun terlepas begitu saja.

"Nes! Lo—" geram Fenia dan Alexa. Tapi sebelum sempat membantu rekannya, Kaia sudah terlebih dahulu menjambak rambut Agnes dan mengunci lehernya.

"L-lepasin gue!" kakak kelasnya pun meronta.

"Heh! Brengsek! Berani lo yah ke senior!" kesal Alexa yang langsung maju. Dan Kaia pun mendorong kasar korbannya sehingga menabrak dua orang di depan. "Agh! Lo!"

"Sialan! Berani lo ya sama kita!" Fenia yang marah menjambak rambut Kaia. Anehnya gadis itu tidak merintih tapi malah tersenyum tipis padanya.

"Sakit," lirihnya pelan.

Dan tangannya pun langsung terangkat mencekik leher Fenia. Semuanya berlalu begitu cepat sehingga lawannya tak sempat menghindar.

"Nia!" kaget Alexa yang melihatnya. "Lepasin dia breng—"

Namun sebuah tamparan dihantamkan Kaia ke pipi sang pembully. Berkali-kali sehingga Agnes dan Alexa bergidik ngeri menyaksikan. Terlebih lagi sosok pelaku menyeringai lebar.

Berlawanan dengan Fenia, rasa sakit yang terlanjur menguasai diri membuatnya tak banyak meronta. Apalagi satu tangan Kaia mencekik erat lehernya.

Aliran oksigen yang macet di tenggorokan seakan berbisik kalau kematian sudah di depan mata.

"Lo—" Agnes tampak syok sekarang.

"Aku kan gak salah. Kenapa dikeroyok sih? Sekarang jadi terluka sendiri kan?" Kaia pun melepas cengkeraman tangannya.

Fenia akhirnya bisa bernapas lega. Menghirup oksigen dengan rakusnya lalu mundur ketakutan.

Ia benar-benar tak menyangka kalau gadis lemah lembut yang dulu pernah menjadi korban bully justru sangatlah mengerikan.

Tak terlihat raut wajah bersalah atau cemas setelah melakukan kekerasan.

"L-lo! Lo psikopat!"

"Aku normal kok," dirinya tersenyum senang. "Asal kalian diam," ekspresinya seketika berubah menekan.

Kaia melonggarkan ikatan dasi yang terasa menyesakkan. Bersamaan dengan itu Agnes juga Alexa pun memegangi temannya.

"Fen! Pipi lo!" Alexa bergidik ngeri dibuatnya. Sudut bibir yang robek serta aliran darah dari hidung melukiskan kondisi Fenia. 

Mereka benar-benar tak habis pikir dengan tindakan kasar yang dilakukan adik kelas incarannya.

"Kayaknya kena cincinku, gak apa-apa kan?" gumam Kaia yang mengangkat tangan kanan. Dan benar saja, di jari kelingkingnya tersemat cincin perak polos di sana.

Entah sejak kapan dia mengenakannya. Walau memakai aksesoris tak dilarang di sekolah, tapi nyatanya sahabat Gabriella itu menggunakan cincin layaknya senjata.

Terbukti dari luka robek parah di sudut bibir Fenia.

"Lo—" tapi ucapan Agnes terpotong karena suara gedoran pintu di luar.

"Halo! Bukain dong! Kebelet nih!" pekik sosok itu.

Suara yang tak asing dan berhasil mengubah ekspresi Kaia seketika. "Itu kayaknya Gabriella. Aduh, gimana dong? Sepertinya dia gak akan diam saja kalau melihat ini. Menurut kalian kita harus bagaimana?" tampangnya bahkan terlihat meremehkan.

Sungguh berbeda dari sosok Kaia yang biasanya. Dan hal itu membuat lawannya semakin geram.

"Lihat aja brengsek! Gue bakal bongkar sifat asli lo!" Agnes yang kesal mendengarnya langsung menuju pintu.

"Rumah sakit, aku dengar kamu aborsi." Mendadak langkah perempuan itu terhenti. Detak jantungnya langsung memburu mendengar ucapan adik kelasnya. Bahkan kedua teman Agnes di mana yang satu tampak tak berdaya lainnya menatap tidak percaya menjatuhkan rahang sekarang. "Kebetulan sekali bukan? Mau kusebar? Aku punya fotonya kok," ancam Kaia sambil memamerkan senyuman.

Keringat dingin pun langsung mengucur di tubuh sang pendengar. Bersamaan dengan gedoran pintu yang terus berlanjut dan juga diikuti suara laki-laki di luar sana, memaksa debaran di dada menjadi kejam iramanya. Kemungkinan sebentar lagi mereka akan ketahuan.

"Lo," syok Agnes yang berbalik sekarang.

"Duh, lama banget sih! Woy! Cepet bukain gue udah mau bocor nih! El, tolongin dobrak dong! Gue bener-bener udah gak tahan nih!" Gabriella begitu berisik di luar sana.

Tapi tiba-tiba Kaia malah menampar pipinya sendiri. Cukup keras dan mengejutkan ketiga pembullynya.

"Apa yang lo lakuin?!" pekik Alexa. Walau nyatanya suaranya takkan terdengar jelas ke luar sana.

Kaia mengacuhkan pertanyaan. Dan memilih berkali-kali menampar pipinya, sampai sudut bibir robek memamerkan sedikit darah. Perlahan ia lepaskan cincin di tangan lalu memasukkan benda itu ke saku jas sekolah.

"Aku akan jadi korban. Itu jauh lebih baik bukan? Atau fakta kotor itu kusebarkan." Ia pun maju dan menyentuh bahu Agnes. "Jadilah lebih cerdas, Kak. Mana yang lebih memalukan? Dihukum atau mencoreng nama keluarga? Bagaimanapun juga, kamu putri Donatur sekolah kan?"

Kakak kelas Kaia pun terkesiap mendengar ancamannya. Bersamaan dengan suara percobaan pendobrakan pintu yang entah dilakukan oleh siapa.

Salah satu dari mereka harus segera membukakan pintu atau situasi akan semakin parah nantinya. Dan Kaia pun menarik kasar kerah bajunya sebelum tangannya membuka pembatas yang dipukul brutal para pengganggu di luar sana.

"Kaia!" kaget Gabriella dan Ellio bersamaan.

"Apa yang terjadi?!" temannya itu langsung memegang tangan sang gadis muda, di mana dirinya mencoba menutupi pakaian depannya. Bagaimanapun juga kancing kemeja sekolahnya jelas copot akibat ulahnya sendiri.

Tapi tak mungkinkan Kaia mengaku pada mereka? Selain sekarang memasang muka teraniaya.

Beruntung ada dalaman kaos putih sehingga area dada masih tertutupi.

"Kalian! Apa-apaan ini?! Kalian membully!" Teriakan lantang Ellio berhasil menarik perhatian orang-orang yang berdiri tak jauh dari sana. Tentunya mereka mendekat dan para anggota Vayrez di lokasi berbeda juga menatap ke arah keributan.

"Ada apaan tuh!" Edgar tampak penasaran.

"El," gumam Ben yang langsung berlari menuju keributan.

Sementara di satu sisi Kaia malah menangis. Tentunya mengundang rasa tak percaya tiga kakak kelas yang sudah diberi kejutan. Apalagi mereka melihat dengan jelas seperti apa sifat gadis itu sebenarnya.

Namun Agnes yang diancam malah menggelengkan kepala. Berharap kedua temannya tidak mengatakan apa-apa. Walau salah satu dari mereka juga terlihat mengenaskan.

"Lo gila ya! Apa yang udah lo lakuin ke temen gue?!" Gabriella yang emosi langsung mendorong kasar sosok tak jauh di depannya.

"Udah, El. Udah, aku gak apa-apa," Kaia mencegahnya sambil meraih lengannya. "A-aku, bener-bener gak apa-apa," ucapnya terisak.

"Apanya yang gak apa-apa?! Lihat pipi lo Kai! Lihat dandanan lo! Lo dibully kan sama mereka!"

"Apa-apaan ini?!" teriakan ketua OSIS yang menyelonong masuk ke toilet perempuan pun menimbulkan keributan. Tentunya dia mendapat laporan dari salah satu juniornya. "Lho! Kai!" kagetnya dan langsung menghampiri. "Pipi lo!" syoknya dan tanpa ragu menyentuhnya.

Gadis itu hanya meringis sambil menggelengkan kepala. "A-aku, aku gak apa-apa."

"Os, mending lo urus aja deh mereka. Kai biar gue yang bawa ke UKS," Ellio pun bersuara dan memegang lengan sosok yang dimaksud.

Ketua OSIS itu mengangguk menyetujui. Lagi pula pipi dan sudut bibir Kaia memang harus segera diobati agar tidak infeksi.

Jujur saja, batin Oscar juga merasa sesak dan tidak nyaman saat melihat keadaan teman perempuannya itu. 

Entah karena khawatir atau ada rasa suka sosoknya juga tidak tahu.

"Emang gak ngotak lo ya jadi cewek! Dasar bengsek!" Gabriella pun menjambak rambut Agnes dengan lancang.

Membuat gadis itu mengaduh tiba-tiba. "Sakit! Lepasin gue sialan! Lepas!"

"El! El! Udah, El. Stop!" Ketua OSIS pun melerainya. Bahkan Ben juga memegangi tangan Gabriella agar gadis itu menahan diri dari tindakannya.

"Yuk, Kai. Kita ke UKS," ajak Ellio.

Sebelum pergi Kaia yang menutup separuh wajahnya dengan tangan kiri pun memandang para pembullynya. Agnes terkesiap karena tatapan dingin dan seringai samar di sudut bibir adik kelasnya menusuk kesadaran. Entah kenapa langsung membuat tubuhnya gemetaran.

Edgar dan Roma pun memilih mengikuti langkah Ellio dan Kaia yang berjalan di depannya. Diiringi bisik-bisik para murid sekitar karena tadinya sempat menonton mereka.

Sebagian bertanya-tanya namun ada juga yang memandang sinis ke arah Kaia. Walau sosoknya ramah dan menjadi idola untuk dijadikan teman atau pacar, tapi melihat dirinya di gandeng ketua basket jelas menimbulkan kecemburuan.

Banyak yang gigit jari dan tak sedikit pula mengumpat mengutuknya.