Diandra dan Bian keluar bersamaan, keduanya memasuki salah satu gedung, Diandra tidak tahu dimana tepatnya mereka akan melakukan pertemuan itu.
"Pak Bian," panggil Diandra.
"Kenapa?"
"Aku mau .... maksudnya, saya mau izin ke Toilet dulu sebentar."
Bian tersenyum, kenapa Diandra harus mengganti perkataannya itu, padahal Bian tidak akan keberatan sama sekali.
"Boleh kan, Pak?"
"Silahkan saja, kamu tinggal lurus kesana, nanti belok kanan."
Diandra mengikuti arah tunjuk Bian, Diandra mengangguk paham dengan petunjuk itu.
"Nanti saya temui Bapak dimana?"
"Oh iya, nanti kamu masuk, kamu ke lantai paling atas, Rooftop nanti aku ada disana."
"Oh, iya Pak."
"Kalau gitu, aku duluan."
Diandra mengangguk dan membiarkan Bian berlalu lebih dulu meninggalkannya, tidak masalah Diandra akan menyusulnya karena sudah jelas juga kemana Diandra harus datang nanti.
"Bian."
Bian menoleh dan melihat Burhan yang berjalan menghampirinya.
"Papih, Papih, disini juga?" tanya Bian bingung.
"Iya, Papih, sedang cari tempat meeting yang bagus dan sepertinya disini bagus."
"Papih, dari mana?"
"Dari Rooftop, bagus nyaman tempatnya."
Bian mengernyit, jangan sampai Burhan juga mengadakan meeting itu sekarang.
"Kamu ngapain disini?"
"Aku juga mau meeting di Rooftop."
Burhan mengangguk, baguslah karena tempat itu memang bagus untuk jadikan tempat pertemuan.
"Papih, meeting sekarang juga?"
"Tidak, nanti selesai makan siang."
Bian berpaling, baguslah kalau memang seperti itu, berarti Bian bisa santai tanpa merasa diawasi.
"Ya sudah, Bian pergi dulu."
"Kamu pertemuan sama siapa?"
"Sama, Bu Agnes."
"Oh, ya sudah Papih boleh ikut?"
"Ikut?"
"Ya gak apa-apa dong, Bu Agnes kan juga kenal sama, Papih."
Bian tak menjawab, kenapa Burhan harus terfikirkan untuk hal itu, kenapa tidak pergi saja dan kembali ke kantor.
Burhan sudah percayakan semua pada Bian, tapi kenapa harus ikut-ikut seperti itu.
"Bian, kamu keberatan?"
"Enggak, cuma kan Papih juga pasti punya kesibukan lain."
"Tidak masalah, Papih, hanya ada pertemuan itu saja, jadi sekarang Papih santai."
Bian mengangguk, terserahlah mau seperti apa, semoga saja Burhan hanya akan mendengarkan bukan akan mengganggunya.
"Ya sudah, ayo."
Burhan mengangguk dan mengikuti langkah Bian, tidak ada salahnya Burhan ikut sekarang, agar Burhan juga tahu sejauh mana perkembangan Bian sekarang.
"Bian, kamu hanya sendirian saja?"
"Tidak, ada Diandra, dia lagi ke toilet."
"Diandra?"
Bian mengangguk, keduanya memasuki lift dan terdiam sampai nanti mereka sampai di puncak.
"Diandra, siapa?"
"Diandra, dia Sekretaris baru aku, dan baru bekerja hari ini."
"Baru lagi?"
"Begitulah, karena Siska kemarin sudah mengundurkan diri."
Burhan menggeleng, suka sekali Bian ini gonta-ganti sekretaris, setiap yang menjadi sekretarisnya tidak pernah bertahan lama.
"Dari mana kamu tahu Diandra, kalau Siska baru resign kemarin, seharusnya kamu baru membuka lowongan."
"Diandra, dia penumpang taxi yang aku tabrak waktu itu, kebetulan dia minta kerjaan dan dia lulusan S1 jurusan bisnis."
"Oh iya?"
"Iya, baguskan, semoga saja dia bisa bantu aku di Kantor."
Burhan mengangguk, sepertinya itu bagus dan semoga saja Bian tidak perlu ganti sekretaris lagi setelah ini.
Keduanya keluar setelah pintu lift terbuka, tentu saja mereka telah sampai di lantai atas, sekarang hanya sedikit saja mereka harus menaiki tangga.
"Jam berapa mulainya?" tanya Burhan.
"Jam 10, sebentar lagi mereka pasti datang."
Burhan mengangguk, Bian langsung menempati kursinya, belum ada yang datang ternyata dan Bian memang sengaja datang lebih awal.
Burhan turut duduk, sepertinya Burhan akan pakai tempat Bian saja saat pertemuan nanti, di pojok dan bisa melihat jalanan di bawah sana.
"Papih, mau pesan minum, soalnya Bian hanya pesan untuk empat orang saja."
"Tidak perlu, Papih bisa pesan sendiri nanti, kalau mereka datang kan pasti Papih pindah."
Bian mengangguk, baiklah terserah saja mungkin itu sudah seharusnya, karena pertemuan kali ini adalah tanggung jawab Bian bukan Burhan.
Keduanya berbincang beberapa hal, terlihat akrab sekali tentu saja karena mereka adalah anak dan bapak.
Diandra yang ternyata telah sampai di rooftop pun melihat mereka berdua, Diandra menghentikan langkahnya dan memilih memperhatikan keduanya.
"Apa itu tamunya, kok cuma sendiri saja, gak bawa Sekretarisnya juga."
Diandra melihat sekitar, mencari kemungkinan ada orang lain disana, tapi tidak ada siapa pun juga dan sepertinya benar, tamunya itu memang hanya datang sendiri saja.
Diandra menggeleng, untuk memikirkan itu, biarkan saja orang itu datang sendiri atau pun datang berdua, tugasnya sekarang adalah menemani Bian di sana.
Diandra melanjutkan langkahnya menghampiri mereka berdua, dan cukup terkejut Diandra saat melihat siapa orang yang sedang bersama Bian itu.
"Permisi," ucap Diandra yang seketika terdiam menatap Burhan.
"Diandra, Papih, ini Diandra Sekretaris baru aku."
"Oh iya, hallo," ucap Burhan seraya mengulurkan tangannya.
Diandra diam tanpa merespon apa pun juga, jantungnya bergemuruh hebat, tatapannya mulai menunjukan amarah yang selama ini ditahan Diandra.
Tentu saja Diandra mengetahui lelaki itu adalah orang yang telah menghancurkan kehidupannya, Burhan, dialah orang yang akan mendapatkan pembalasan dendam dari Diandra.
"Diandra," panggil Bian seraya menepuk bahu Diandra.
Diandra mengerjap dan berpaling, apa yang dilakukannya, kenapa hanya diam seperti itu, semoga saja mereka tidak sadar dengan tatapan kebencian Diandra.
"Di, kamu baik-baik saja?" tanya Bian.
Diandra kembali menoleh dan berusaha tersenyum setenang mungkin, Diandra sadar sekarang jika kedua lelaki itu telah bangkit dari duduknya, Diandra melirik Burhan yang masih mempertahankan uluran tangannya.
"Maaf, Pak," ucap Diandra seraya menjabat tangan Burhan.
"Saya Diandra, Sekretaris, Pak Bian."
Burhan mengangguk dan melepaskan jabatan tangannya, Bian dan Burhan kembali duduk, sedangkan Diandra masih berdiri dan kembali menatap Burhan.
Datar sekali lelaki itu, seperti tak pernah melakukan kesalahan selama hidupnya, terutama terhadap Diana.
"Diandra," panggil Bian meraih tangan Diandra.
Diandra menoleh dan ikut duduk bersama keduanya.
"Kamu kenapa sih, kok jadi gak fokus gitu?"
"Hah .... eng .... enggak kok, enggak aku gak apa-apa, maaf."
Bian melirik Burhan setelah mendengar kalimat Diandra, kenapa Diandra jadi seperti itu, seingat Bian sebelum berpisah tadi Diandra baik-baik saja.
"Pak Bian, jadi ini?" tanya Diandra seraya melirik Burhan sekilas.
"Oh iya, ini Papih aku, Pak Burhan namanya."
Diandra mengangguk dan kembali menatap Burhan, semesta mendukung rencana pembalasan dendam Diandra.
Karena mangsanya berdatangan dengan sendirinya, Diandra tidak perlu bekerja keras untuk bisa bertemu dan dekat dengan mereka.
"Kamu harus baik-baik sama Bian, dia kalau sedikit saja tidak cocok dengan hasil kerja kamu, kamu pasti langsung dipecat."
"Papih."
"Memang benar kan?"
"Enggak."
Burhan sedikit tertawa mendengar jawaban Bian, tangan Diandra seketika mengepal, muak sekali Diandra melihat dan mendengar tawa itu.