Bian memasuki rumahnya, setelah pulang dari tempat Diandra, Bian memilih makan terlebih dahulu di luar sana, Bian juga mengantarkan mobilnya ke bengkel untuk memperbaiki kerusakan akibat tambrakan tadi, dan Bian pulang ke rumahnya dengan naik taxi.
"Bian," panggil seseorang dari belakang sana.
Bian menoleh dan melihat Burhan di sana, Burhan adalah papih yang dimaksud Bian saat bersama Diandra tadi.
"Dari mana kamu seharian ini?" tanya Burhan yang berdiri di hadapan Bian.
"Maaf, tadi Bian mengalami kecelakaan, Bian menabrak taxi di jalan."
"Apa itu omong kosong?"
"Itu benar, Bian harus menolong orang yang ada di dalam taxi tersebut, sehingga Bian tidak bisa hadir pada pertemuan tadi pagi."
"Dan kamu mengabaikannya begitu saja, apa susahnya kamu kabari Papih agar Papih bisa gantikan kamu pada pertemuan itu?"
"Maaf, tapi Bian panik tadi dan tidak mampu berfikir kearah sana."
Burhan mengangguk, jadi seperti itu jawabannya, bagus sekali Bian telah mengabaikan pekerjaannya padahal Bian tahu jika itu pertemuan penting.
"Bian akan terima apa pun hukumannya, tapi Bian sudah katakan yang sebenarnya."
"Kamu fikir Papih percaya, dan sekarang apa yang bisa kamu lakukan untuk mengembalikan semuanya, apa kamu bisa menyelamatkan tender besar itu?"
"Bukankah masih ada pertemuan berikutnya?"
"Pertemuan mana, pertemuan pertama kamu sudah tidak hadir dan kamu fikir kamu bisa hadir di pertemuan kedua?"
Bian diam, lalu apa yang harus dilakukannya sekarang, Bian juga sudah terlanjut melakukan semuanya, dan tidak bisa untuk mengulang semuanya juga.
"Pertemuan kedua adalah penentuan siapa yang akan memenangkan tender itu, apa yang bisa mereka pertimbangkan dari perusahaan kita sementar kamu tidak memberikan materi apa pun juga."
"Tapi Bian sudah katakan alasannya, Bian gak bohong dan kalau Papih gak percaya, silahkan saja Papih datang ke Bengkel sekarang, mobil Bian ada disana dan Papih bisa lihat kerusakannya."
"Ada apa ini?" tanya Asti yang tiba-tiba datang.
Asti adalah Mamih Bian dan sudah jelas jika Asti adalah istri dari Burhan, sekarang ketiganya ada di sana.
"Papih kenapa, baru saja Bian pulang, masa sudah dimarahi saja."
"Dia memang salah, jadi sudah seharusnya dia mendapatkan kemarahan."
"Iya tapi masalahnya apa?"
"Dia sudah mengabaikan pertemuan penting pagi ini, dan dia telah merugikan perusahaan."
Asti diam menatap Bian di sana, benarlah seperti itu, tapi Bian tidak ada pulang ke rumah seharian ini jadi kemana Bian sejak kepergiannya tadi pagi.
"Bian sudah jelaskan semuanya sama Papih, dan sekarang Mamih mau ikut marahi Bian, silahkan saja tapi satu hal, Bian tidak berbohong dengan alasan yang Bian ungkap saat ini."
Asti tersenyum dan menggeleng, tangannya terangkat mengusap pundak Bian, mana pernah Asti memarahi Bian selama hidupnya.
"Mana bisa Mamih kamu marah, dia kan selalu memanjakan kamu."
"Papih, sudahlah tidak perlu berlarut-laurt, biarkan saja mungkin memang tender itu bukan untuk perusahaan kita."
"Tidak bisa, Papih sudah sangat mempersiapkan semuanya, tender itu sudah Papih incar sejak awal."
"Lalu kenapa tidak Papih sendiri yang menghadirinya, pasti Papih tidak akan kehilangan tender itu kan."
"Kamu ini ...."
"Sudah sudah," ucap Asti memotong kalimat Burhan.
Mereka bisa bertengkat hebat jika dibiarkan seperti itu terus menerus, Asti tahu seberapa keras mereka berdua apa lagi saat marah seperti saat ini.
----
Diandra membawa Diana kembali ke kamar, tentu saja Diandra melihat semuanya masih sangat berantakan, kasihan sekali Maya pasti kerepotan mengurus Diana seharian.
"Mamah duduk ya," ucap Diandra seraya mendudukan Diana.
"Mamah kenapa lagi, kok kamarnya berantakan?"
Diana menggeleng, sejak tadi Diana tidak memalingkan tatapannya dari Diandra, dan Diandra tidak mengerti apa yang sedang difikirkannya saat ini.
"Ibu," panggil Maya di luar sana.
Diandra melirik pintu dan menjawab panggilan Maya, tak lama pintu terbuka dan pandangan keduanya bertemu.
"Diandra, kamu pulang juga akhirnya."
"Maaf May, aku terpaksa abaikan panggilan kamu."
"Tapi kamu gak apa-apa kan?"
Maya berjalan dan duduk di samping Diana, ada segelas minum di tangan Maya saat ini.
"Aku gak apa-apa kok, baik-baik saja."
"Syukurlah, aku fikir kamu kenapa-kenapa sampai gak bisa jawab panggilan aku."
Diandra tersenyum dan menggeleng, tidak perlu khawatir karena Diandra akan selalu berhati-hati dalam melangkah.
"Ya udah, Bu ini minumnya ya."
Diana menoleh dan menerima gelas yang diberikan Maya, Diana meneguknya sendiri dengan tetap melihat Diandra.
"Di, kamu mending beli makan, Ibu sudah tunggu kamu sejak tadi, dia mau makan sama kamu."
"Oh iya, Mamah mau makan?"
Diana mengangguk menjawab pertanyaan Diandra, Maya tersenyum, sekarang Diana tidak akan mengamuk lagi karena Diandra sudah ada bersamanya.
"Sini, biar aku saja yang beli, kamu disini saja temani Ibu."
"Serius?"
"Iya udah mana, bilang saja mau makan apa?"
"Mamah mau makan apa?" tanya Diandra pada Diana.
Tak ada jawaban, Diana masih tetap diam menatap Diandra, memang membingungkan tapi tidak ada yang bisa dilakukannya.
Diandra tidak bisa memaksakan apa yang menjadi keinginannya pada Diana, karena jika memaksa sudah pasti Diana akan marah.
"Belikan aku makan sama telor saja ya, pakai sayurannya juga."
"Kalau Ibu?"
"Mamah, belikan ayam kecap saja, jangan lupa pakai tahu sama tempat."
"Oke, aku pergi dulu."
Diandra mengangguk seraya memberikan uang pada Maya, tanpa buang waktu Maya lantas berlalu pergi meninggalkan keduanya.
"Mamah disini ya, aku mau bereskan semuanya terlebih dulu."
Dianda mengangguk dan kembali meneguk minumnya, Diandra tersenyum dan bangkit membereskan semua yang berantakan di sana.
Diandra sengaja menghindarkan barang pecah untuk disimpan di kamar Diana, sehingga ketika Diana mengamuk tidak akan melukai siapa pun termasuk Diana sendiri.
"Mereka jahat, kamu tidak boleh pergi."
Diandra menoleh dan terdiam, apa mungkin ada yang dikatakan Maya pada Diana saat Diandra tidak ada.
"Jahat, jangan ganggu mereka."
Diandra menunduk sekilas dan tersenyum pada Diana di sana, Diandra berjalan menghampiri Doana dan berlutut di hadapannya.
"Mamah percaya sama aku ya, aku akan tetap baik-baik saja, mereka tidak akan bisa menyakiti aku sedikit pun juga."
Diana menggeleng mendengar kalimat tersebut, mungkin saja Diana mengerti dan tidak bisa percaya dengan semua itu.
"Mamah harus percaya, Diandra akan buat mereka merasakan apa yang kita rasakan selama ini, menderita."
Diana tak merespon, ia hanya diam menatap Diandra tanpa celah.
"Mereka akan menerima balasannya, Mamah harus percaya sama aku, dan Mamah hanya harus mendoakan aku saja."
Diandra meraih kedua tangan Diana, menciumnya bergantian, Diandra tidak akan biarkan kebahagiaan ada bersama mereka terus menerus, Diandra juga ingin merasakan bahagia dalam hidupnya bersama Diana.