"Ayah sudah pusing mencari uang."
"Perusahaan kita akan bangkrut jika seperti ini."
Tuan Robert menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan. Dia memandangi kedua putrinya. Tuan Robert memijit pelipisnya yang terasa berat. Martha menunduk ke bawah. Ladifa memandangi ayahnya sambil mencoba menghubungi Antoni. Sudah tiga minggu suaminya itu tidak mengirimkan pesan kepadanya.
"Ini salah ayah, terlalu percaya dengan ide busuk sahabat ayah dan membuat perusahaan kita bangkrut!" protes Ladifa. Tuan Robert menunduk ke bawah.
"Ayah harus mencari dana di mana?" keluhnya. Martha menatap ayahnya. "Aku bertemu Ares."
"Kau bertemu dengan Ares?"
"Lelaki miskin itu?" Ladifa spontan memandangi Martha dengan kening berkerut.
"Ya, dia akan membantu kita," sambungnya.
"Kau percaya itu?"
"Martha, apa kah kau masih berhubungan dengan Ares? Lelaki itu adalah lelaki miskin, apa Thomas tidak memberitahumu?" Ladifa berkacak pingang di depan Martha. Dia berdecak kesal. "Aku kecewa kepadamu!" sambungnya.
"Aku benar-benar kecewa kepadamu, Martha! Apa yang kau harapkan dari Ares? Lelaki miskin itu?" keluhnya. Martha menghela napas panjang. Dia menunduk ke bawah.
"Ares mengatakan bahwa dia bisa membantu keluarga kita," ulangnya. Bola mata Ladifa membulat. Dia tertawa mendengarkan ucapan Martha.
Martha sebenarnya tidak percaya namun bisa saja Ares memiliki uang. "Omong kosong saja!" Ladifa bergegas meninggalkan ruang tamu. Dia tidak ingin terjebak dengan ucapan Martha. Ah, pasti lelaki itu berbohong.
"Apa benar Ares mengatakan demikian?" tanyanya. Martha menganggukan kepala.
"Dia tahu bahwa keluarga Smith membutuhkan uang. Jadi, aku yakin dia akan membantu kita."
Martha menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan. Peluh menetes membasahi keningnya. Tuan Robert menatapnya dengan pandangan serius.
"Jangan dekati lelaki miskin itu, Martha. Dia tidak akan menguntungkan di keluarga kita."
"Bisa berjanji kepada ayah?"
"Tugasmu sekarang, membujuk Thomas untuk memberikan banyak uang kepada ayah," bisiknya pelan.
***
Ares menikmati tea yang baru saja dibawah oleh pengawal ayahnya dari Turkey. Ares duduk di taman rumahnya sambil memandangi pemandangan di depannya. Ares menghirup udara segar. Dari kejauhan, dia menatap Anne, gadis itu terlihat cemberut membersihkan taman rumahnya.
"Bisa kamu bersihkan semuanya?" tanya Ares sambil tersenyum.
"Tuan Ares, apa bisa aku tidak menyapu di depan anda?" jawab Anne segera. Rasanya tidak sopan menyapu di depan tuan muda Yuan. Ares menatap sekelilingnya.
"Bersihkan taman yang ada di sampingku," perintahnya. Anne menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan. Dia segera menarik sapu itu untuk membersihkan beberapa daun di samping tempat duduk Ares. Sebenarnya taman yang berada di rumah keluarga Yuan sangat terawat. Namun setiap pelayan harus membersihkannya tiap pagi sekecil apapun daun yang jatuh.
Ares terus memandangi Anne. Dia tersenyum menatap wajah cemberut perempuan itu.
"Anne," serunya.
"Mengenai ucapan istriku itu, jangan pernah katakan kepada siapa pun. Aku hanya ingin mantan istriku tahu, aku sudah berubah."
"Jadi, tutup semua rahasia yang kau dengar itu!" sambungnya. Anne menganggukan kepala mengerti.
Setelah membersihkan taman, Anne bergegas berjalan masuk ke dalam kamar pelahan. Bibi Fani memandanginya. Perempuan itu berkacak pingang menatapnya saat ini.
"Apa yang kau lakukan, Anne!"
"Apa kau tidak lihat? Masih banyak kerjaan?"
Anne yang baru saja istirahat segera berdiri dan berjalan menuju bibi Fani. Dia menarik napasnya dalam-dalam dan mencoba menghembuskan dengan pelan. Anne menenangkan dirinya saat ini.
"Apa setelah ini, aku bisa istirahat?" tanya Anne memandangi bibi Fani yang masih berkacak pingang.
"Ya, kau harus merapikan piring dan setelah itu, kau bisa istirahat!"
Anne bergegas menuju dapur. Langkah kaki tuan Victor terdengar jelas. Anne memandang ke belakang. Lelaki itu berjalan cepat ke arahnya. Tanpa aba-aba, tuan Victor menarik tangannya dengan kasar.
"Ikut denganku!"
"Hai, aku mau ke mana?"
"Tuan Victor, lepaskan aku!" jerit Anne. Dia mempercepat langkahnya mengikuti lelaki tampan itu. Bibi Fani hanya bisa terdiam. Tidak ada yang bisa melawan Victor di rumah ini.
"Hai, lepaskan aku!" keluh Anne kesal.
"Duduk!" perintah Victor.
Anne duduk di sofa yang berada di dalam kamarnya saat ini. "Apa kemarin kau keluar dengan Ares?" Sorot mata lelaki itu sangat tajam. Anne hanya bisa menunduk ke bawah sambil menganggukan kepala.
"Iya, Tuan!" jawabnya lirih. Anne tidak memandangi Victor. Bulu kuduknya terasa berdiri seketika. Decak lidah jelas terdengar dari bibir lelaki itu.
"Kau sekarang menjadi wanitaku!"
"Ah?"
"Wanitamu?" Anne spontan menonggakan wajahnya menatap Victor. Tidak percaya dengan ucapan Victor. Bola matanya membulat.
"Menjadi wanitamu?" ulangnya. Victor menyeringai dengan sangat menyeramkan. "Tentu saja, kau harus mau jika aku membutuhkanmu," ucap Victor memperjelas. Anne spontan menggelengkan kepala. Dia tidak ingin menjadi perempuan simpanan. Ah, bedebah dengan semua itu.
***
"Halo Ares, apa benar kamu memiliki uang banyak untuk membantu ayahku?"
"Thomas mengatakan sahamnya lagi menurun. Aku tidak mempercayaimu namun aku tidak punya pilihan lain," jelas Martha melalui sambungan telepon. Ares tersenyum puas. Dia sangat bahagia mendengarkan ucapan Martha. Dia tidak ingin kembali ke perempuan itu. Hanya saja Ares ingin menunjukan kehebatannya. Dia bukan sampah, dia bukan lelaki yang tidak berguna.
"Aku akan memberikan kalian uang."
"Tapi dengan beberapa syarat," sahut Ares melalui sambungan telepon. Martha terdiam cukup lama.
"Apa itu?" sergapnya. Ares tertawa. Kini Martha seperti kelinci kecil yang bisa dia permainkan. Ya, martha yang menghinannya akan berlutut di hadapannya.
"Aku akan mengundangmu makan malam."
"Makan malam ini khusus untuk keluarga Smith, bagaimana?" sahut Ares kemudian.
"Kau memiliki uang?" sergap Martha ragu. Ares menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan.
"Ya, tentu saja."
"Kau pikir aku semiskin itu? Tidak mungkin aku menawarkan bantuan jika aku tidak punya makan," jelas Ares secepat mungkin. Martha menghela napas panjang.
"Baiklah."
"Oke, aku akan mengirimkan pesan kepadamu," sahutnya kemudian.
Tit!
Sambungan telepon terputus, Ares meletakkan ponselnya di meja. Dia memandangi Anne yang mengintip dari balik pintu.
"Anne!"
"Apa yang kau lakukan!" teriaknya. Anne bergegas menundukan wajahnya. Dia ketakutan.
"Aku ingin memberikan Tuan minuman. Tapi, aku takut masuk jadi …,"
"Masuklah!" perintahnya. Anne masuk ke dalam ruangan itu. Dia meletakkan secangkir susu cokelat di atas meja. Ares menatap Anne dengan pandangan serius.
"Kamu mau membantuku lagi?" Anne menatap Ares.
"Membantu apa, Tuan?" sahutnya. Ares menghela napas panjang. Dia tersenyum sesat.
"Aku akan memberikan uang jika kau mau membantuku. Aku ingin kau membantuku untuk bertemu dengan mantan istriku lagi. Aku ingin mereka menyesal."
"Aku akan membuka identitasku di publik. Jadi, mereka akan menyesal sudah menghinaku!" Ares membayangkan betapa menyedihkannya Martha dan Ladifa saat mengetahui bahwa dirinya adalah lelaki kaya raya.
Anne menghela napas panjang. Kerjaanya di keluarga Yuan sungguh banyak. Kapan dia akan memusnahkan keluarga ini? Pikirnya.
"Apa kau mau?" Anne menongakan wajahnya. Dia terdiam cukup lama.
"Baik, Tuan!" sahutnya kemudian.
"Ya, aku mau.
"Oke, aku akan mengirimkan gaun untukmu. Ini tentu saja bukan makan malam biasa. Jadi, jaga sikapmu. Jangan tunjukan kalo kau hanya sebatas pelayan!" tegas Ares.
"Baik Tuan," jawab Anne. Tubuhnya seketika lemas.
"Kapan aku bisa menghancurkan kalian?" garutunya dalam hati.
Bersambung …