Kenyataan pahit begitu sulit di terima oleh kedua putri yang masih mengharapkan ayah mereka kembali dalam pelukan. Tapi, pada kenyataanya hal itu tak akan mungkin terjadi lagi keduanya sudah memiliki hidup masing-masing dan begitu juga oleh Elina dan Sindy harus mengikuti oleh keadaan pergi dari hidup orang tuanya yang mungkin saat ini sudah bahagia dengan pilihan masing-masing.
Dan kini Sindy yang masih menjalani jenjang pendidikan sudah tak fokus setelah mendengarkan kabar sang papa yang amat ia sayangi selama ini.
"Kak jawab kenapa diam saja, aku butuh jawaban dari kakak," sentak Sindy, karena ia juga membutuhkan kepastian tentang kabar yang beredar.
Mulut Elina begitu sulit untuk menyebutkan sepatah kalimat, semua terasa kaku dan bungkam. Hatinya juga merasakan rasa sakit begitu dalam akan berita itu.
"Kak, jawabn hiks hiks hiks. Apa itu benar papa, kenapa kalian jahat sekali denganku??" tangis pecah Sindy yang tak sanggup lagi menahan rasa sakit ini.
Dari kecil, hingga masuk dalam sekolah asrama yang paling dekat dengan ayah mereka. Hanyalah Sindy dan dia adalah anak bontot yang paling di sayang oleh lelaki itu. Tapi, pada kenyatannya dunia begitu jahat sekali pada kedua gadis tersebut.
"Lalu apakah mama menerima akan kabar ini? Apa yang sebenarnya terjadi kenapa kalian jahat denganku? Apa ini alasannya aku di taruh pada sekolah asrama, agar aku tak mendengar kabar kalian?" ujar Sindy, sambil terus menangis.
"Enggak dek, jangan pernah berburuk sangka. Kami semua sayang sama kamu," sangkal Elina, sembari menghapus air mata yang terus saja mengalir.
Bahkan dalam kondisi seperti ini otaknya tak mampu berpikir jernih, segala pertanyaan yang keluar dari mulut sang adik hanya mampu ia tampung, bukan tak ada jawaban bagi Elina, hanya saja ia bingung untuk menjelaskan hal ini.
"Kak, aku ingin esok balik dan akum au menyaksikan papa menikah," pinta Sindy.
"Jangan, kamu harus pikirkan sekolahmu. Jangan sampai masalah ini menggangu pendidikan kamu Sindy,"
"Aku butuh papa ka, aku ingin melihat apakah papa memang sayang padaku atau tidak. Selama ini aku sudah menuruti apa yang kalian minta tapi, apa balasan yang aku dapat. Selalu saja kabar buruk,"
"Dek, jangan pulang dulu ya. Kakak minta sama kamu fokus sekolah, urusan papa biar papa yang cari tau,"
"Enggak!! Esok aku akan tetap pulang, jika memang tak ingin menjemputku tak masalah, aku akan pulang sendiri," kekeh Sindy akan keputusannya. Lalu mematikan sambungan telpon.
"Ya Tuhan, kenapa semuanya jadi seperti ini kalimat apa yang harus aku katakan pada Sindy. Bahwa mama dan papa sudah resmi berpisah. Dan mereka berdua sudah memiliki kebahagian masing-masing," ucap Elina dalam hati, sambil berjalan menyusuri jalan. Di tengah gelapnya malam.
Kaki tak henti untuk melangkah, terasa jika saat ini perasaanya begitu pupus ketika melihat apa yang ada di depan matanya. Sangat menyakitkan tapi, itulah pilihan papanya.
"Aku butuh ketenangan untuk malam ini," ucap Elina, menoleh kea rah caffe yang masih buka.
Tanpa pikir panjang lagi, ia pun meniatkan kakinya untuk berjalan kea rah caffe. Saat ini yang ia butuhkan ialah sebuah ketenangan hati dan pikiran.
"Saya pesan kopi satu, dan gulannya sedikit saja,"
"Baik, silahkan duduk dahulu, saya akan membuatkannya," ucap pelayan sambil tersenyum.
Terlihat seperti orang yang tak memiliki daya untuk berjalan, bahkan tatapan pun seperti orang sedang melamun.
"Mbak ini kopinya," menyajikan di atas meja, sambil menatap Elina, yang tak memberikan respon.
"Lagi banyak pikiran ya mbak? Dari tadi saya perhatikan mbak melamun saja," lanjut tanya pelayan, menatap wanita itu dengan rasa iba.
"Hehehe, nggak kok. Tadi Cuma keinget sesuatu jadi kurang fokus," jawab Elina tersenyum tipis.
Mungkin saja saat ini ia dapat membohongi orang yang berada di sekitarnya, tapi hati yang sedang terluka tak dapat lagi ia bohongi.
"Semoga kamu selalu bahagia ya," ucap pelayan, lalu bergegas pergi meninggalkan Elina, bersama kopi yang panas.
23:00, Bryan yang tak kunjung mendapatkan kabar dari kekasih hatinya merasa sangat khawatir sekali. Pikiran dan hatinya sudah mulai gelisah ketika pesan yang ia kirim sejak 2 jam yang lalu belum juga mendapatkan balasan apappun. "Kemana ini anak, apa jangan-jangan terjadi sesuatu dengan dia," tebak Bryan, bangkit dari tidurnya lalu meraih jaket dan berjalan keluar kamar.
"Apa yang akan kamu lakukan malam-malam begini? Apa masih ada hal yang lebih penting dari istirahat malam?"
"Mama?" dengan mata melotot, dan mundur satu langkah.
"Kenapa? Apa kamu ingin pergi, ata kamu ingin kencan dengan kekasih kamu itu?" tanya Ajeng, dengan wajah sengit.
"Sudahlah ma, jangan seperti itu. Bryan tak ingin berdebat, aku ada urusan yang lebih penting dari ini,"
"Ohh, hebat yaa!! Jadi perempuan itu yang saat ini menjadi prioritas kamu, sedangkan mama. Ibu kandung kamu yang melahirkan kamu sudah tak kamu anggap penting lagi?" dengan perkataan yang kian memanas. Karena, Ajeng juga merasa kesal akan peremuan seperti apa yang mampu mencuci pikiran anaknya hingga dia seperti ini pada dirinya.
"Sudah ya ma, aku tidak ingin berdebat. Saat ini aku sedang ada urusan penting, jangan halangi aku. Permisi," pamit Bryan, dengan langkah yang buru-buru.
"Arghh!!! Lihat saja Bryan, jika mama sudah menemukan perempuan yang menjadi kekasih mu itu, aku tak akan tingga diam!!"
Berulang-ulang kali Bryan mencoba untuk menghubungi Elina tapi, tak juga mendapatkan jawaban yang memuaskan, "Ada apa sama dia, kenapa seperti ini sih!!" ujarnya, sambi berjalan masuk ke dalam Club.
Dengan langkah yang sigap, Bryan langsung saja menyelundup masuk ke dalam ruang kerja Elina.
*Brukh…
"Ehh, sory-soru gua nggak sengaja," ucap panik Bryan, sambil melihat keadaan sekitar.
"Bryan? Lu kok malah disini, gua pikir lu sekarang sama Elina,"
"Elsa? Maksud lu apaan sih gua sama sekali nggak paham, dengan kalimat lu ini," menatap serius teman Elina ini.
"Lah, lu nggak tau kalau Elina udah bali dari tadi,"
"Hah! Balik? Sejak kapan gua sama sekali nggak paham sama omongan lu, sejak tadi gua chat dia aja nggak ada balasan sama sekali di telpon pun nggak diangkat. Maka dari itu gua langsung datang kesini untuk memastikan apakah dia baik-baik saja atau tidak," terang Bryan.
"Yaealah, modelan kek Elina aja di khawatirin. Cantikan juga gua, ngapain sih kamu nyariin dia. Mending main sama aku yuk," sambung suara ketus, sambil menarik tangan Bryan. Namun sayangnya lelaki itu, mengalihkan tangannya hingga wanita yang baru saja datang dalam percakapan Elsa dan Bryan tak dapat meraihnya.
"Hih! Kok kamu gitu sih!!" dengus suara dengan nada manja.
"Erika!! Lu bisa nggak sih jangan ikut campur, gua lagi panik, tadi si Elina pergi sambil menangis," sentak Elsa.
"Hah! Isa nangis?" sontak Bryan dengan mata melotot.