Penuh kehancuran hingga seperti taka da lagi harapan untuk bertahan dari semua masalah yang terjadi. Elina tak menyangka di usianya yang masih 19 tahun, Tuhan sudah memberikan dirinya sebuah ujian yang mungkin sangat sulit untuk di jalani. Bahkan penyanggah dalam hidup sudah memiliki jalan masing-masing.
Aku tak tau setelah kabar itu, apakah aku akan tetap berpijak pada bumi ini. Mama dan papa, kedua pasangan suami istri yang paling aku sayangi sudah pergi dan memilih kebahagiannya sedangkan aku dan Sindy, adik paling bungsu hanya mampu menatap betapa kejinya hati mereka berdua menelantarkan aku dan Sindy yang saat ini sangat membutuhkan dukungan dari keduanya.
Di balik layar, aku berusaha menerima kenyatanya hingga orang mampu melihat bahwa taka da lagi luka di hatiku, namun pada kenyatanya hal itu suatu kesalahan yang amat fatal.
"Tuhan, bagaimana dengan Sindy. Apakah aku mampu untuk berkata pada dia," dalam hati terus berkata, akan hari esok. Dimana Sindy akan bertanya semuanya.
Rintik hujan kecil, mulai berjatuhan. Hingga malam yang gelap tak menimbulkan pandangan samar ketika melihat hal d sekitar. Elina tetap berjalan dengan kedua kakinya, tatapan kosong hingga rambut pun sudah tak beraturan lagi. "Kenapa hidupku tidak seberuntung mereka?" tanyanya sendiri, tanpa menghiraukan keadaan.
"Arghh!! " sambil memukul stir mobil " dan berkata "Isa kamu kemana sih! Kenapa selalu menghilang tanpa kabar, sudah tau aku tidak bisa tenang jika kamu tak ada kabar,"
Mobil terus melaju sepanjang jalan dengan perlahan, sambil mencari dimana kekasih hatinya itu pergi. Banyaknya masalah yang sedag di hadapi gadis 19 tahun it, memungkinakan dia mengalami depresi hingga terjadilah hal seperti ini.
"Kamu dimana Isa, aku khawatir," terus menghubungi Elina, tapi tak kunjung mendapatkan jawaban.
Sejeli mungkin mata Bryan melihat keadaan sekitar walaupun sudah malam, ia akan berusaha menemukan wanita yang paling berharga dalam hidupnya.
00:00
Hari sudah tengah malam, namun batang hidung Elina juga tak terlihat. Malam yang gelap gulita membuat Bryan sedikit kesal karena ia tak bisa melihat semua sudut yang ada di jalanan.
"Mana hujan lagi," dengusnya, sambil memberhentikan mobilnya sejenak. Lalu meraih ponsel untuk menghubungi Elsa.
"Halo Bryan, ada apa? Gimana Elina, apakah dia sudah di temukan?"
"Belum Sa, gua bingung mau cari dia kemana lagi. Lu tau nggak tempat biasanya dia melampiaskan masalah tuh dimana. Siapa tau dia situ,"
"Ya ampun, itu anak. Mana hujan lagi," resah Elsa, yang juga khawatir akan keadaan Elina.
"Bisanya dia jalan ke taman kota. Lu coba aja deh cari," lanjut Elsa.
"Oke, thanks. Ini ga juga lagi di taman kota,
"Semoga lekas ketemu, dan jangan lupa untuk kabarin gua ya," pinta Elsa, dengan dada sesak. Karena, dirinya juga merasa sangat khawatir. Namun, pekerjaan ini juga lebih penting untuk biaya hidup.
Informasih yang di dapatkan dari Elsa, sedikit membuat hato Bryan merasa lega. Dan tepat sekali saat ini posisinya sedang berada di taman kota, "Semoga Elina ada disini," ungkapnya, penuh harapan. Sambil membuka pintu mobil lalu berjalan.
Perjuangan Bryan hanya untuk membawa Elina kembali ialah sebuah bukti bila rasa cinta yang di miliki oleh lelaki berusia 21 tahun itu, tak pernah main-main. Meskipun latar belakang keluarganya dengan Elina sangat berbeda jauh tak membuat Bryan merasa bahwa itu adalah penghalang.
Rintikan hujan semakin deras, hingga rasa dingin menusuk hingga ke tulang-tulang. Keadaan sudah cukup gelap, hingga orang lalu lalang pun terlihat sudah semakin sepi.
"Siapa wanita itu?" ujar Bryan, sambil memandingi. Taka da pencahayaan yang terang membuat dirinya kesulitakn untuk mengenali wanita yang duduk di taman kota sendirian.
"Apa itu Elina?" tebaknya. "Ahhh, masa dia duduk sendirian di taman?" penuh keraguan ketika untuk mendatangi wanita yang duduk disana.
Antara iya atau tidak menghampiri wanita yang tengah duduk sendirian di taman kota berteman dengan kegelapan serta hujan rintik yang terus saja turun. Namun, hati Bryan, menuntunnya untuk menjumpai wanita itu.
Payung lebar milik Bryan seketika menghadang hujan yang turun membasahi tubuh wanita yang tengah menduduk.
"Hujannya kenapa berhenti?" sambil mengangkat kepala, dan melihat apa yang terjadi di atas kepalanya.
"Apa yang kamu lakukan disini? Mari pulang bersamaku," ajak Bryan dengan nada lembut.
Seperti mengenali suara yang sedang berbicara pada dirinya, wanita itu pun langsung bediri dan menatap lekat wajah pria yang memegangi payung.
"Bryann!!" sambil memeluk dengan erat.
Disaat seperti ini hanya Bryan yang selalu ada untuk Elina, bahkan lelaki itu sudah seperti malaikat yang selalu menjaga dan mencari dimana pun dirinya berada.
"Aku bahagia banget punya kamu," semakin erat memeluk tubuh Bryan.
"Kamu jangan seperti itu, aku sudah berjanji bahwa aku akan selalu ada untuk kamu. Sekarang kita pulang, baju kamu sudah basah kuyup," dengan nada lembut, Bryan berkata pada Elina.
"Aku masih ingin memelukmu dengan erat Bryan, biarkan hal ini terjadi untuk beberapa menit saja," pinta Elina.
Bahkan setelah meminum kopi yang sangat pahit dan di temani dengan ketenangan, tak membuat Elina merasa puas. Namun, entah mengapa setelah bertemu dengan Bryan dan memeluk dia serasa semua masalah yang ada di dalam hidup seperti membuyar dan hilang begitu saja.
"Aku juga sudah berjani dengan mama aku bahwa aku akan selalu menjaga kamu Elina. Karena, itu adalah amanah maka harus aku jalankan," sambil mencium rambut Elina.
5 menit berlalu.
Bryan merasa pelukan tak lagi erat, dan suara Elina pun tak bergeming. Namun, ia berusaha menghiraukan perasangka buruk itu.
"Mari kita pulang, pelukannya nanti saja. Kamu juga harus ganti baju," ajak Bryan, sambil melepaskan pelukan dari Elina.
"Elina, kamu kenapa kok malah tidur?" sambil menepuk wajah pucat kekasihnya itu.
"Elinaaa!!" dengan wajah panik, karena wanita itu tak kunjung bangun.
Tak adanya responan yang di berikan oleh Elina membuat Bryan langsung membopong tubuh mungil itu dan membawa ke dalam mobil.
***
Malam sunyi penuh kegelapan di sertai rintikan hujan, menjadi saksi betapa hancurnya hati seoarang anak ketika melihat perceraiannya. Dan menjadi saksi pernikahan yang kembali di laksakan meski dengan orang yang berbeda.
"Kok aku sudah ada diapartemen?" menatap langit yang tak lagi asing.
Terasa sebuah tangan melingkar pada perut, ia pun langsung menoleh kesamping.
"Bryan, kenapa kamu ada disini? Apakah semalam kamu tidur disini?" tanya Elina, dengan mata terbuka lebar. Merasakan betapa kekarnya tangan itu.
"Sudah, jangan banyak bicara. Lebih baik kamu istrirahat,"
"Tapi,"
"Hustt!! Diam," sela Bryan, semakin mendesal pada tubuh Elina. Agar merasakan kehangatan yang tak akan ia dapatkan pada wanita manapun.