Ajeng masih merasa kesal dengan sikap anaknya semalam pergi malam-malam hanya untuk berjumpa dengan wanita pilihan anaknya.
"Sudahlah ma, kenapa pagi-pagi begini sudah masang wajah masam sih," goda Alan, duduk di samping istrinya yang terus mengamati pintu.
"Mama masih kesel sama Bryan, kenapa dia segitunya banget sih,"
"Sudahlah ma, itu namanya di sedang berjuang untuk hidup dengan orang yang dia cintai," bela Alan. Akan keputusan anaknya, karena ia juga tak ingin memaksa Bryan harus mengikuti perjodohan yang di lakukan oleh istrinya hal itu hanya akan membuat anaknya semakin tertekan dan berbuat nekad.
"Berjuang apanya sih pa!! Udah deh, jangan bikin mood mama nambah rusak," sela Ajeng, sambil bangkit.
"Mama, mau kemana?"
"Mama mau kemana itu bukan urusan papa. Selagi papa nggak mendukung perjodohan ini," jelasnya sambil berjalan kea rah pintu keluar.
Mendengarkan kembali sebuah perjodohan membuat hati Alan merasa sangat sedih sekali kenapa istri kerap berkata seperti itu, bahkan hal itu sudah terjadi dalam pernikahnya dan jangan sampai anak tunggalnya itu merasakan juga apa yang dulunya ia rasakan. Hatinya sudah yakin, bila Bryan tak akan bahagia jika terus mendengarkan apa yang di katakan istrinya, semua itu hanyalah keingian Ajeng dan bukan berdasarkan hati anaknya.
"Sebenarnya wanita itu seperti apa kenapa Bryan begitu suka sekali dengan dia?"
"Iya tante, aku juga sangat penasaran sekali. Kenapa Bryan sampe jahat banget ngacuhin Amora, padahal aku ini adalah calon istri Bryan," bela Amora, dengan penuh semangat. Saat ini Mama Bryan sudah berada di posisinya dan sampai kapan pun dia pasti akan setuju dengan perjodohan ini.
"Terus kita mau cari tau kemana tan?" tanya Amora, sambil melihat ke arah wanita yang tengah fokus menyetir.
"Kita ke Mall saja dulu, tante pusing banget. Masa suami saya terus saja membela Bryan yang jelas-jelas sudah salah dalam mengambil keputusan,"
"Ya sudah tan, kita ke Mall aja. Aku juga bosan banget di rumah, nggak ada yang buat aku happy,"
Ajeng sebenarnya masih merasa tak enak dengan Mami Amora, karena perlakukan anaknya pada calon menantunya ini hingga membuat Vio naik darah.
"Mami kamu kemana?" tanya Ajeng, dengan nada lirih.
"Mami ya sibuk sama kantor dan begitupun dengan papa yang masih di luar kota," jawab Amora.
"Oh, setelah kejadian itu apa mami kamu menentang perjodohan ini?"
"Ya awalnya begitu tan, tapi ya sudahlah tak perlu di pikirkan yang akan menikah juga Amora bukan mama. Jadi, ya suka akulah," terangnya dengan penuh semangat.
Saat ini hatinya sudah di labuhkan pada Bryan, hingga sampai kapan pun ia tak akan pernah menyerah karena Bryan adalah tujuannya saat ini.
"Ya syukurlah kalau begitu, tante lega. Solanya nggak enak banget sama mami kamu karena sikap Bryan yang kuran ajar,"
"Tidak usah di pikirkan yang penting tante mendukung hubungan aku dengan Bryan saja, Amora sudah seneng banget," ungkapnya dengan penuh senyuman.
Kebahagian pastinya hanya akan timbul bila keduanya saling mencinta satu sama lain, dan memberikan kasih sayang yang sepenuhnya. Tuhan selalu memberikan segala cobaan pada hambanya hingga pada batas dia melalui semua ini.
"Aku sayang kamu, jangan seperti semalam lagi ya," sambil memeluk dari belakang.
Terdiam dan mengingat betapa menyakitkannya malam itu, seperti tak memiliki siapa pun lagi di dunia ini, "Aku hanya ingin menghempaskan rasa sakit hati ini. Karena," sambil membelikan tubuh hingga kedua mata terlihat lebih dekat.
"Apa?" satu alis terangkat, sembari memajukan tubuhnya hingga lebih dekat dengan Elina.
Tangan Bryan terus mengusap rambut Isa, dengan lembut. Tatapan begitu dalam, "Papa akan menikah minggu ini Bryan, dan Sindy akan pulang juga hari ini. Makanya aku bingung apa yang harus aku lakukan untuk menjelaskan semuanya pada Sindy," curah Elina, beban pikiran yang selalu menggagu otaknya. Tak pernah lagi ia rasakan sendiri.
Bryan langsung bangkit dan menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang, "Emm, kamu kenapa?" bingung Elina ketika melihat Bryan yang langsung bangkit.
"Sinii," menarik tubuh gadis 19 tahun tersebut lalu menyandarkan dia pada dadanya yang bidang.
"Apapun yang terjadi sama kamu, jangan pernah di pendam sendirian. Aku semalam panik banget nyariin kam begitu pun dengan Elsa, jadi jangan pernah begitu. Apapaun masalah kamu, aku akan bantu untuk mencari jalan keluarnya," ucap Bryan, sambil mengusap pundak Elina.
Sedangkan Isa hanya terdiam dan terus menyandar pada tubuh Bryan. Disana ia mampu merasakan sebuah kenyaman yang tak pernah ia dapatkan setelah papa dan mamanya berpisah.
"Aku sayang sama kamu Bryan, makasih selama ini kamu sudah selalu ada untuku," balas Elina menatap wajah tampan Bryan.
"Sudah tak perlu berkata seperti itu, semua yang aku lakukan ke kamu selama ini adalah bukti kalau rasa sayang dan cinta aku bukanlah sebuah permainan,"
"Iya aku percaya sama kamu," jawab Elina, semberi mengecup tangan lelaki yang sedang bersandar pada kepala ranjang.
Selama ini ia tak pernah di cintai oleh pria seperti Bryan, dan dia adalah lelaki pertama yang selalu berusaha dan membuktikan bahwa perasaan ini memang layak untuk di perjuangkan.
"Kita mau jemput Sindy jam berapa?" tanya Bryan.
"Sore saja, aku juga sudah berbicara dengan dia. Jika pagi dia mungkin masih di sekolah,"
"Lalu jika Sind yada disini, apa aku masih boleh menginap?" tanya Bryan.
Jika berada di rumah pun ia tak akan pernah betah, yang ada mamanya akan terus membicarkan perihal perjodohan yang sampai kapan pun tak akan terjadi.
"Ya kita lihat nanti saja," jawab Isa.
"Emm, Isa. Selama ini kita nggak ada ikatakan apapun, bagaimana jika kita pacaran saja? Supaya jelas juga kalau kamu itu punya aku," tutur Bryan. Rasa ketakutan kehilangan Elina teramat besar hingga membuat ia mengharuskan untuk mengubah status ini.
"Pacaran?" dengan kening mengkerut.
"Iyalah, kenapa? Apa kamu tidak ingin pacaran denganku, apa kamu sudah memiliki lelaki lain?" sontak Bryan, terkejut dengan penuturan Elina yang ternyata di luar ekspestasinya.
"Bukan begitu? Aku saat ini tidak ingin pacaran,"
"Lalu?" bingung Bryan, dengan jawaban Elina. Menurutnya pacaran itu lebih baik untuk saat ini sekaligus memperjelas status agar taka da lagi yang menggangu.
"Aku ingin fokus kerja, dan membiayai Sindy. Dan perihal pacaran itu tak penting bagiku yang penting kita saling menjaga perasan satu sama lain," jelasnya.
"Apa kamu yakin akan hal itu Isa?" denga perasaan ragu, komitmen hanyalah bulshit bagi Bryan, kapan saja seseorang dapat berubah bila menemukan sosok baru. Dan tak ada hak untuk melarang atau pun marah.
"Yakin dong, aku bukan tipikal orang yang suka pacaran. Yang penting kita saling menjaga dan sama-sama berjuang,
"Lalu mau kamu yang bagaiaman?" semakin penasaran.
"Langsung menikah," bisik Isa pada telingan Bryan, dengan suara penuh menggoda.