Chereads / Wanita Club' Malam / Chapter 26 - Menjemput Sindy

Chapter 26 - Menjemput Sindy

Saat ini yang paling di utamakan oleh Elina ialah keberlangsungan hidupnya dimana dirinya harus bekerja keras demia Sindy, masalah hubungan gadis itu sama sekali tak pernah ambil pusing. Jika memang Bryan yang terbaik untuk dia maka, lelaki itu pastinya tak akan meninggalkan dengan alasan yang sepele. Terlahir dari keluarga yang sudah tak utuh membuat Isa harus berpikir lebih panjang lagi dalam memilih pasangan.

Bryan menunduk, lalu melangkah satu jengkal pada Elina yang masih berada di dapur.

"Heeii, kamu kenapa bermuka masam?" tanya Elina, menatap lelaki di depannya dengan raut masam.

Bryan tetap kepikiran akan ucapan Isa yang menginginkan untuk langsung menikah, dirinya hanya takut bila taka da ikatakan di antara keduanya maka sewaktu-waktu sebelah pihak dapat berubah perasaan dengan sesuka hati.

Meraih tangan Elina, dan menatap kedua bola mata berbinar dengan cerah. "Aku tak ingin kehilanngan kamu Elina, aku ingin di antara kita ada ikatan jangan seperti ini," mohon Bryan, dengan kedua mata yang berkaca-kaca.

Bila seperti ini tak ada pembelaan atas dirinya bila sewaktu-waktu sang mama menjodokan dengan Amora.

"Hahaha, kamu kenapa berkata seperti itu?" tawa Isa ketika mendengarkan ungkapan Bryan.

"Jangan anggap ini sepele, aku serius sekali. Kamu pastinya juga tau jika mama begitu kekeh untuk menjodohkan aku dengan Amora," terang Bryan.

Isa geleng-geleng kepala lalu, membalikan tubuh Bryan dan mengatakan, "Lebih baik kamu segera mandi, setelah ini kita harus menjemput Sindy,"

Tahan Bryan dengan langkahnya, dan menginginkan jawaban Elina atas apa yang telah dirinya katakan, "Aku masih penasaran dengan jawabanmu Elina," dengan nada yang kekeh.

"Ampun dehhh," sambil tersenyum, dan terus mendorong Bryan.

"Kita bahas itu nanti saja ya, yang penting saat ini kita harus ke sekolah Sindy jika tidak anak itu akan marah besar denganku," lanjut Elina.

Tak mau kalah dengan sikap Bryan, Elina terus mendorong lelaki itu untuk masuk ke kamar mandi. Jika tidak begitu maka Bryan akan semakin malas-malasan.

Sebelumnya Elina juga sudah menyiapkn mental untuk berhadapan langsung dengan Sindy, dan segala pertanyaan yang akan keluar pun sudah ia siapakan jawabannya.

"Kamu kenapa tegang begitu?" melirik kea rah Elina, yang sejak tadi terus menatap jendela mobil.

"Hah?" dengan mata terangkat. Bryan terdiam lalu menarik senyuman pada lingkaran pipinya, tangannya perlahan menggenggam erat tangan kekasih hatinya.

"Tangan kamu dingin? Kamu kenapa?" dengan kening mengkerut.

"Tidak Bryan, aku hanya sedikit gerogi saja. Karena, akan bertemu dengan Sindy," ungkapku sambil tersenyum lebar.

"Bagaimana jika kita menikah saja?" ucap Bryan.

"Hah!!" sontak Elina, dengan mata terkejut. Dan segera melepaskan genggaman tangan tersebut.

"Kamu gila ya?" tanyaku, terasa tak percaya akan ungkapan Bryan.

"Aku serius, dari pada begini terus. Kamu juga aku ajak pacaran tidak mau," dengusnya,

*Shittttt!!!....

Seketika mobil berhenti dengan mendadak, "Bryann!! Kamu jangan main-main deh, kita lagi di jalan ini," dengus Elina, sambil memegang kepalanya yang hampir saja kepntok benda di depannya.

Brayn terdiam, lalu pendangannya beralih menatapku dengan begitu dalam sekali. Entah apa yang akan di lakukan olehnya aku hanya pasrah.

"Lalu mau kamu bagaimana? Aku hanya tidak ingin kehilangan kamu sayang," ucap Bryan.

"Argh!!! Ini orang kenapa jadi begini sih!" dengus Isa dalam hati, merasa tak nyaman dengan tingkah Bryan seperti bukanya lelaki yang selama ini dirinya kenal.

"Sudah nanti saja bahas ini, kita harus menjemput Sindy. Hubungan kita masih panjang, jadi aku minta kamu jangan seperti ini," terangnya.

Membalikan pandangan hingga taka da lagi sela untuk melirik lelaki yang saat ini masih menatap dirinya dengan sangat tajam.

"Huftttt, ya sudah kalau itu mau kamu," pasran Bryan, lalu kembali menyalakan mobilnya.

Selama ini banyak tekanan dari luar, hingga membuat lelaki itu tak ada lagi pilihan bahwa dirinya sudah memiliki pasangan, namun nyatanya Isa sama sekali tak memiliki niatan untuk pacaran.

Sepanjang perjalanan kedua insan tetap berdiaman dan membisu di tengah ramaiannya jalanan. Hingga ketika sampai pada tujuannya Elina sama sekali belum membuka obrolan untuk Bryan.

"Kakakk!!" seru suara penuh semangat sambil berlarian.

"Itu Sindy ya?" sambil menunjuk.

"Iya, ayo kita kesana. Dia pasti sudah menunggu kita dari tadi," berjalan menghampiri sang adik yang tengah berlari ke arahnya.

Lubuk hati Elina merasakan sebuah kerinduan, karena terakhir kali ia datang ke asrama Sindy masih berjumpa dengan sang ayah. Meskipun lelaki itu telah membawa wanita pilihannya, dan kali ini terlihat sangat berbeda sekali untuk yang ke tiga kalinya, hanya tubuhnya bersama dengan kekuatan yang ada di dalam hati mencoba untuk tetap tegar.

Bryan berjaln lebih cepat lalu meraih tangan Elina, sambil menatap "Kamu yang kuat ya, jangan perlihatkan kalau kamu juga sedang rapuh," pinta Bryan, tersenyum.

Cukup dengan anggukan keduanya kembali melanjutkan langkah.

"Itu siapa yang bersama dengan kakak? Kok tampan sekali," batin Sindy tersenyum.

"Hai Sindy, kamu sudah menunggu kakak dari tadi ya? Maaf ya di jalan macet, jadinya agak telat,"

"Tak masalah ka, yang penting aku bisa pulang," jawab Sindy, sambil melirik kea rah Bryan yang berada di sisi Elina.

Elina sedikit heran dengan tatapan sang adik yang kali ini tak mengarah pada dirinya melainkan pada lelaki yang sejak tadi memegang tangannya, "Kamu suka ya sama Kak Bryan?" ledek Elina, sambil tersenyum.

"Kakakkk," melotot dengan lebar. Malu sekali dengan ucapan itu, hingga Sindy hanya mampu tertunduk.

"Kenalin, gua Bryan pacar kakak lu," ungkap Bryan, dengan penuh rasa percaya diri.

"Heh!!" mencubit keras lengan Bryan.

"Apaan sih, emang iya kan? Lagi pula kita sebentar lagi juga bakalan mau menikah, jadi nggak perlu ada yang di tutupi lagi," lanjut Bryan. Dengan penuh rasa percaya diri lelaki itu mengucapkan bahwa dirinya sebentar lagi akan menikah.

Meskipun hal itu belum di setujui oleh Elina.

"Wahh apa itu bener ka? Kalau memang begitu ya Sindy mah setuju-setuju aja sih," dengan penuh semangat.

"Apaan sih, udah deh jangan bahas itu dulu. Ayo kita balik, nanti keburu malam," sela Elina, sedikit tak nyaman. Karena ia merasa bila membicarakan hal itu di hadapan sang adik serasa belum tepat saat ini masih banyak masalah dan belum lagi ketika benar bila ia akan menikah dengan Bryan bagaimana pemikiran Sindy nantinya.

Ketika berada di dalam mobil suasana hening taka da pembicaraan yang terucap, begitu pula dengan Sindy yang heran melihat kedua pasangan di depan matanya ini sedang berdiaman tanpa dialog apapun.

"Mereka pacaran gak sih, kok dieman begitu?" batin Sindy dengan menatap keduanya berulang kali.