Edward tiba seraya membawakan mereka makanan dan minuman. Dia ingat betul jika sejak pagi, kakak Willy belum makan sama sekali.
"Teh, saya bawakan makanan, tolong di makan, ya," pinta Edward.
Kakak Willy tampak tengah tenggelam dalam dalamnya lamunan hingga ia tak bisa mendengar apa yang Edward katakan.
Ed beranjak menemui kakak cikal Willy. Ia tampak tengah khawatir dengan keringat yang mengalir deras. Tangannya terus mengepal.
"Kak...,"
"Eh?" refleks dia menoleh pada Edward yang duduk di sebelahnya.
"Makan dulu, kak," pinta Edward.
"I, iya, makasih...,' jawabnya dengan tatapan yang kosong.
Sadar jika saat ini kedua kakak Willy tak bisa diajak bicara, Edward beranjak pulang karena hari sudah petang.
*****
Tiba di rumah, ia menghampiri Rama yang tengah memainkan ponsel di halaman belakang.
"Lagi apa, Ram?" Edward menyapa membuat Rama salah tingkah.
"Ah, nggak, ini lagi main hp aja."
Edward mengangguk dan bergegas ke kamarnya.
"Aku turut berduka atas musibah yang menimpa Willy," ucap Rama.
Edward mematung dengan mata yang melebar.
Rama terpukul atas kabar yang menimpa Willy. Dia masih tak percaya mendengar seorang siswa SMA terlibat kasus penyerangan hingga tuduhan narkoba.
Saat hendak memasuki kamar, Emily berjalan tersedu-sedu menuju ruangannya. Ed semakin tak bisa mengerti apa yang terjadi dengan hari ini. Ia menghampiri adiknya yang berjalan seperti melayang itu.
"Kenapa?" tanya Edward seraya menahan lengannya.
Menjawab dengan terisak tangis. "Alisya hamil, Ed."
Edward terkejut.
"Apa?!"
Emily menariknya menuju kamar.
"M, maksudmu apa?"
Emily menghela nafas panjang.
"Waktu orang tuanya dinas, Alisya pernah bangun tidur telanjang. Pas denger cerita itu, aku nggak anggap serius karena dia anaknya memang nggak pernah serius, tapi pas dia menunjukan foto itu, ada banyak noda darah, bahkan ada satu suntikan bekas pakai di toilet. Aku kasihan sama dia, Ed. Aku merasa gagal jadi sahabatnya."
"Terus siapa pacar Alisya?"
"Nggak tahu, Ed. Dia bilang jomblo, tapi punya satu temat dekat kakak kelas."
Ed geram, ia mengepalkan tangannya erat-erat.
Emily mencium bau alkohol dari tubuh Edward yang sejak kemarin belum mandi, bahkan tak sempat berganti pakaian.
"Kamu semalam habis apa sama dia?"
Edward membelalak mendengar pertanyaan yang menyudutkannya.
"A, anu ... habis dari Sayap Emas," jawabnya.
Emily mendengkus kesal melihat kakaknya bertingkah ceroboh dan tidak tahu batasan.
"Ya, udah, sana mandi! Badanmu bau alkohol," titah Emily.
Edward kembali ke kamarnya dengan pikiran yang berkecamuk.
*****
Dalam kucuran air shower, Edward tak kuasa menahan tangis atas apa yang menimpa Willy. Ia tak bisa berpikir jernih dan terus menyalahkan dirinya.
"Andai aja semalam aku mengantarnya pulang, mungkin semuanya nggak akan kayak gini," batinnya terus berteriak menyahuti riuh kucuran air shower.
"Alvin, kenapa kau pergi begitu saja?"
Setelah mandi, Edward pergi ke meja makan. Perutnya sudah minta di isi ulang. Saat berjalan menuruni tangga, dia melihat Emily tengah duduk sendirian. Edward segera menyusul adiknya yang terlihat benar-benar kesepian.
"Kamu ngga apa-apa?" tanya Edward seraya mengunyah makanannya.
"Nggak habis pikir sama kejadian tadi. Bisa-bisanya si Romli bau kencur itu buat sekolah heboh," ucap Emily kesal.
Edward hanya tertunduk menyimak perkataan saudara kembarnya. Nasi yang ia coba telan pun terasa sangat berat.
"Bagaimana keadaan Willy?"
Edward menoleh sendu. "Dia kritis, kalo aja nggak ada yang menemukannya, mungkin nyawanya tak bisa tertolong...,"
Emily menelan nasinya bulat-bulat.
"Terus, sekolah ramai banget tadi. Willy di sangkut-pautkan sama rumor pengedar di sekolah kita."
"Udah pada gila emang!" Edward berdengkus.
*****
Saat Edward bolos, sekolah ramai dengan rumor Willy adalah pemakai narkoba yang di gosipkan sebelumnya. Kabar itu menyebar secepat kilat.
Alisya sempat pingsan di toilet mengeluh sakit perut. Mendapati hal itu, Emily merangkulnya ke kelas dan Jessika mencari obat yang Alisya minta.
Saat membuka tasnya, tak sengaja Jessika menemukan sebuah alat tes kehamilan yang bergaris dua. Kejadian itu disaksikan banyak orang.
"Eh, apa, tuh?"
Romli, ketua kelas Emily membawa hasil tes itu ke wali kelas dan melaporkannya. Kelas Emily gempar dan rumor tersebar cepat.
Alisya di bawa ke rumah sakit bersama dengan Jessika. Emily pulang untuk membawakan mereka makanan dan memeriksa keadaan rumah. Dia juga khawatir dengan keadaan Willy, di tambah kakaknya juga membolos.
*****
Edward melihat Rama di gerbang belakang bertemu dengan seseorang memakai hoodie hitam dan masker. Mereka seperti saling bertukar sesuatu dan hal itu persis dengan yang Edward lihat di gang luar komplek beberapa saat yang lalu.
Rama menoleh dan mereka bersembunyi. Namun yang jelas, Rama menjatuhkan secarik kertas di sana. Merasa ada sesuatu yang janggal, Ed bergegas turun mengambilnya.
'Jalan Melati Putih NO. 225, JKS.'
"Ini kan alamat rumah Alisya?!"
Edward mengerutkan wajahnya.
"Apa hubungan Rama dengan Alisya?"
*****
Rama tengah mengotak-atik laptopnya, membuka website aneh yang penuh dengan kode di dalamnya. Ia tengah membuka situs penjualan online narkoba. Rama mencari informasi mengenai kebenaran isu yang mengikat Willy.
Dia merasa iba dan khawatir sesuatu yang lebih buruk akan menimpanya. Ternyata memang benar, inisial 'W' pernah memesan narkoba di toko koleganya. Dan ia mendapati inisial Ab adalah pengedarnya. Karena ia memiliki kemampuan meretas dan melacak, Rama mencoba mencari informasi mengenai orang yang berinisial Ab di wilayah distribusinya, tapi tak ada hasil.
Ia pun meretas informasi sekolah dan mendapati sebuah nama yang mendekati, yakni Abdul. Rama hanya tersenyum dan bergegas menemui Ed di lantai atas.
Tok Tok Tok!
"Tuan, boleh saya masuk?"
"Ya," jawabnya dengan pikiran kosong.
Rama mengatakan ada yang aneh di sekolah. Mengapa tuduhan pengguna narkoba itu begitu menohok pada Willy, sementara kebenaran belum terungkap.
Ed terkejut, mengapa anak baru sepertinya tahu mengenai gosip yang ada sebelum dia pindah.
"Kau tahu dari mana, Ram?"
"Aldi."
Aldi mendekati Rama dengan alasan merasa bisa berteman dengan baik dengannya. Sementara Rama, ia lebih pandai memainkan peran untuk menggali informasi di sekolah baru untuk kepentingan pribadinya.
"Pengedar itu kelas 11, Ed. Bukan 12."
Edward terkejut hebat.
"Biar kutunjukan...,"
Rama membuka komputer Edward dan memperlihatkan transaksi Narkoba dalam sebuah situs. Edward lagi-lagi terkejut mengapa Rama bisa mengaksesnya.
Dia bisa meretas website, termasuk informasi penting sekolah. Melihat hal ini, Edward meminta Rama untuk melihat siapa orang-orang dengan nama inisial di daftar itu, tapi Rama menolak karena terlalu beresiko, mengingat tak hanya dia saja yang bisa melakukannya. Ia tegas memastikan jika pengedarnya ada di kelas 11 dan satu di antara mereka berinisial Ab245d.
"Boleh kupotret nama-nama ini?"
Rama mengangguk.
Edward memotret daftar-daftar nama itu dan mencari siapa saja nama murid kelas 11. Dia tak ingin Willy di gosipkan buruk, Edward bertekad untuk mencari pelakunya.
"Semoga terpecahkan, mesin baru."
Emily tiba-tiba masuk saat Rama keluar.
"Rama habis apa, Ed?"
Edward sibuk menulis catatan. "Nggak ada."
Emily merebut catatan Ed. "Ini angka apaan sih Ed...,"
"Kamu kepo banget, sih!" bentak Ed kesal.
"Ya, maaf." Emily kembali ke kamarnya.
*****
Satu bulan berlalu, keadaan mulai tenang. Alisya terpaksa keluar sekolah karena perutnya membesar dan kondisi kesehatannya memburuk.
Emily begitu terpuruk dan merasa gagal menjadi sahabat untuknya.
Lastri kembali ke rumah dengan bugar. Rama dan ibunya kembali berkenalan dan makan bersama sebagai rasa syukur atas kesembuhan bu Lastri.
*****
Di sekolah, Edward menggantikan Willy melatih anggota baru tim basket. Mereka terlihat kurang nyaman, tapi sikap lunak Edward membuat kegiatan lebih menyenangkan.
Prrriit!
Suara peluit menjerit, Listi meminta semua anggota berkumpul untuk evaluasi.
"Hari ini kalian luar biasa! Tetap semangat, ya! Juga terus doakan yang terbaik untuk kesembuhan rekan kita semua, William," ujar Listi.
"Latihan hari ini dicukupkan sekian, sekarang boleh ganti baju dan pulang," sahut Edward.
"Terima kasih!" sahut semua anggota seraya membubarkan barisan menuju ruang ganti klub.
"Thanks, ya, Ed," ucap Listi dengan senyuman yang tulus di wajahnya.
Edward membalas senyuman itu.
Sembari berjalan menuju ruang ganti, Listi tak bisa terus menutupi rasa sakitnya melihat keadaan Willy yang memprihatinkan.
"Lis, aku tahu kamu kuat!" ucap Edward seraya menepuk pundaknya.
Listi berusaha membendung air matanya dengan menengadahkan kepala.
Tiba di ruang ganti, para anggota mulai berpamitan untuk pulang.
"Kamu nggak ganti baju, Ed?"
"Gerah, Lis, nanti aja pakai jaket kalo dingin,' sahutnya.
Setelah semua anggota pulang, Listi mengunci ruangan klub dan kembali berjalan dengan Edward.
Ponselnya berbunyi.
"Ed, aku duluan, ya! Udah ada yang jemput," ujarnya.
Edward mengangguk sambil menatapnya berlari menjauh.
Dari sisi lain, ia melihat Fitri dan Amel melambai padanya. Rupanya, mereka menunggu Edward selesai latihan untuk membahas perihal Willy.
Ed menghampiri mereka. "Ada apa? Kalian dari tadi menungguku?"
Fitri mengangguk dan berbisik, "Ed, tadi aku menguping ibuku di telepon, ternyata yang pakai narkoba itu kelas 12. Nah, sedangkan, si pengedar itu kelas 11, seangkatan sama kita. Aneh nggak, sih? Kok jadi makin nggak masuk akal aja. Aku nggak masalah, lah, dia mau siapa juga, tapi please mereka nggak bisa asal tuduh kalo Willy salah satunya."
Fitri terus menyemprotkan unek-uneknya.
Amel menambahkan. "Bagaimana kalo kamu cari tahu sendiri, Ed? Siapa tahu anak basket lain punya alibi buat Willy...,"
"Oke, nanti kutanya anak-anak lain, sama anak luar sekolah juga. Willy sering latihan bareng klub luar sekolah, siapa tau kita dapat petunjuk. By the way, bagaimana kabarnya sekarang?"
"Fisiknya membaik, tapi masih nggak mau di ajak ngomong," jawab Fitri sedih.
Edward terdiam. Dia terlalu sibuk memecahkan kode di catatannya hingga lupa menjenguk dan menanyai kabar Willy.
Perhatian Edward teralihkan saat melihat Rama dan Aldi berjalan di lorong bersama. Mereka baru saja pulang setelah bel berdering tiga jam lalu. Rama melambai pada mereka, begitu pun Aldi. Edward membalas.
"Tumben nggak kamu abaikan, Ed?"
"Mereka, kan, teman kita."
"Nah, gitu, dong, senyum ... jangan kaya psikopat terus."
Ed memasang muka datar klasiknya.
Bugh!
Fitri menampol lengan atasnya.
"Kok, kamu masih keringatan, sih, udah beres main juga?!" celoteh Fitri.
"Lagi bakar lemak," sahut Edward.
Edward berjalan meninggalkan mereka seraya melambai membelakangi.
"Bye, pulang duluan."
*****
"Kamu yakin ini yang terbaik, Emily?"
Emily mengangguk dengan penuh keyakinan.
Emily dan Jessika memutuskan untuk bergiliran menjaga Alisya di rumahnya. Ia harus selalu di temani untuk mendukung kondisi fisik dan mentalnya. Mereka akan bergantian mulai hari ini.