Chereads / don't blame us / Chapter 18 - fate

Chapter 18 - fate

Edward mendapat tugas kelompok mengenai bahaya narkoba dan kegunaan narkoba untuk medis. Tugas itu harus di kerjakan di luar sekolah. Suasana hatinya tengah kacau akhir-akhir ini. Ed malas berkunjung ke rumah orang lain dan meminta anggota kelompoknya untuk pergi ke rumahnya.

"Guys, kalian ke rumahku aja, ya? Aku nggak bisa kalo di tempat lain."

"Tapi kita nebeng, ya?" canda Erik.

"Sure," balas Edward.

Edward satu kelompok dengan Fitri, Erik, Aldi, dan Rama.

"Kenapa sama mereka, sih?" batin Edward.

Pikiran Ed mengatakan jika orang-orang ini terlihat aneh di matanya sejak kejadian yang menimpa Willy.

Mereka pergi bersama naik mobil Edward, kecuali Rama. Aldi takjub karena mobil milik Ed adalah mobil impiannya selama ini. Namun, orang tuanya tak memberi fasilitas itu. Ed memelokkan setir ke gerbang perumahan mewah.

"Ed, rumahmu di komplek elit ini?! Wah, kamu sultan berarti," ucap Fitri.

"Eh, guys, guys ... bukannya ini kompleks perumahan direktur batu bara yang meninggal misterius empat tahun lalu itu, ya?" ujar Aldi.

"Bacot! Kalo ngomong jangan sembarangan!" Erik menyemprot.

Degh!

Hati Edward seperti baru saja terkena ribuan paku yang menancap. Edward terpukul karena bisa-bisanya anak polisi itu mengungkit masa lalu terpahitnya.

Ed memelokkan kembali mobilnya menuju sebuah rumah besar di pengkolan.

Setibanya di rumah, teman-teman Ed turun dan tak berhenti berputar melihat sekitar. Rumah Edward cukup luas, tamannya begitu indah, terlihat minimalis namun tetap mewah dan berkelas.

"Ayo, masuk! Kita langsung naik aja ke balkon," ajak Ed.

Di sana terdapat tempat yang nyaman untuk belajar, lengkap dengan lemari koleksi komik dan bukunya. Saat mereka hendak naik, bu Lastri menyapa dan mereka semua memperkenalkan diri.

"Eh, ada teman-teman Edison. Silahkan masuk, Nak. Anggap saja rumah sendiri, ya."

"Terima kasih, Bu," jawab mereka serentak

"Eh, Rama mana, sih? Dia bakal ke sini nggak?" tanya Aldi

"Bakal," jawab Ed singkat.

Bu Suryani datang diikuti dengan Rama menyuguhkan cemilan dan minuman

"Silahkan dicicipi cemilannya," ucap bi Suryani ramah.

Aldi terkejut. "Rama, kamu lagi apa di sini?!"

"Hehe ... aku, kan, tinggal di sini, ikut ibu kerja."

"Hah?! Jadi selama ini Edward sama Rama satu rumah? Kok, kalian tega nggak ngasih tau kita sih, Anjir." Fitri meradang.

"Iya ... plot-twist banget," tambah Erik.

"Ya, lagian buat apa di kasih tahu, toh, ini rumah tuan Edward."

Bugh!

Ed menampol Rama. "Jangan memanggilku tuan! Kan, susah kubilang, itu geli banget."

"Hahahaha."

Aldi bengong mendapati jawaban dari tingkah Rama yang selalu menolak halus saat dia ingin mengunjungi rumahnya.

"Pantes aja tiap kuminta buat main ke rumahmu, kau pasti menolak," gumam Aldi.

Diskusi pun di mulai, mereka saling mengumpulkan informasi dan bertukar pendapat untuk laporannya. Rama terlihat sangat paham dan tahu banyak mengenai narkoba. Ed hanya tersenyum.

"By the way, Rama ... kamarmu di mana?" tanya Fitri

"Di bawah. Kenapa? sahut Rama.

"Nggak."

Tiba-tiba seorang gadis datang mencari kakaknya.

"Bang! bantu kerjain tugas dong...," Emily tersungkur malu menyadari ada banyak orang.

"Emily? Hahahaha."

Semua orang terkekeh-kekeh melihat sikap Emily yang jauh berbeda dengan di sekolah. Erik tak berhenti menatap Emily yang kemudian turun duduk di taman. Nampak jelas dia menyukai Emily.

Hari mulai malam, tugas mereka selesai.

"Huaa ... akhirnya beres juga," ucap Fitri seraya menggeliat.

"Iya. Tiba-tiba udah malam."

Saat hendak pulang, bu Lastri meminta mereka makan terlebih dahulu dan karena semuanya lapar, mereka tak menolak.

"Emily, sini makan bareng!"

"Iya," jawabnya tersipu malu.

Emily duduk di samping Erik. Nampak dia sangat canggung, mengingat Erik amat sangat menyukainya. Ed hanya tersenyum menggelengkan kepala.

"Di, kok diem aja?" tanya Ed

"Lagi makan, kan, nggak boleh bicara, Ed."

"Laper banget, ya, mas, sampe nggak bersuara?" canda Erik.

Aldi tiba-tiba menjadi pendiam, bahkan takut melirik pada Edward. Setelah selesai makan, mereka pamit pulang, kecuali Rama.

"Terima kasih atas makanan dan hidangannya, kami pamit pulang," ucap mereka bersamaan.

*****

Di Angkot, Aldi menekuk mukanya dan mengeluarkan aura mencurigakan.

"Kamu kenapa, sih, Di? Dari tadi diam mulu."

"Aku malu banget, Fit, Rik."

"Eh, memangnya kenapa?" tanya Erik heran.

"Kalian inget pas aku mengoceh soal kematian direktur batu bara yang misterius?"

"Ya ... terus?"

"Itu ayah Edward."

"Hah? Kamu nggak bercanda, kan?" mereka terkejut bukan main.

Aldi ingat jika kasus itu di tutup begitu saja karena terlalu rumit dan tak ada kemajuan. Direktur itu divonis serangan jantung oleh tim forensik. Padahal, setelah di lihat rekam medisnya, dia sehat dan bugar.

Fitri dan Erik melongo. "Kasian banget, Edward," kata Fitri. "... Emily juga," tambah Erik. Mereka kira jika keluarga mereka seperti keluarga lain. Sulit untuk tahu karena Edward sendiri sangat tertutup.

Erik memutuskan untuk semakin erat merangkul Ed apapun yang terjadi.

"Apa jangan-jangan ada hubungannya masa masa lalu Edward?" gumam Erik.

****

Rama mengampiri Edward di kamar untuk mengungkapkan sesuatu.

Pintunya tengah terbuka, membuatnya masuk begitu saja.

"Tuan, aku mau bilang esuatu. Tapi, tolong dengar dengan seksama, ya."

"Oke."

"Sebenarnya, saat pertama kali menginjak rumah Ed, aku tahu kalo kamu adalah keluarga mendiang pak Widyo, atasan mendiang ayahku. Aku tahu perihal apa yang terjadi di Kalimatan empat tahun yang lalu. Dan, aku pun sama kehilangan sosok ayah," ujar Rama.

"Jadi ... ayah kita saling kenal? Apa jangan-jangan ayah kamu itu Om Rusdi?'

"Iya, Ed. Kalo kamu ingat, dulu aku pernah menolongmu saat berenang di sungai."

Edward terdiam membuka matanya lebar-lebar.

"Rama? Ini bukan kebetulan, kan? Aku sudah lama mencarimu!" raut wajah Ed berubah seketika menjadi sangat bahagia.

"Hehe, dan sekarang kita bertemu lagi."

Ayah Rama meninggal karena mengetahui informasi penting mengenai perusahaan tempat ia bekerja. Rama sendiri yang menemukan mayat ayahnya kaku mengambang di atas danau bekas tambang setelah lima hari dinyatakan menghilang.

Setelah dilakukan autopsi, terdapat zat narkotika dalam tubuhnya. Itulah salah satu alasan mengapa Rama terjun ke perdagangan ini. Ia ingin mencari tahu kebenaran di balik kematian ayahnya yang tragis.

"Kamu sekarang paham, kan? Kenapa aku terbuka dan bilang kalo nasib kita sama?"

Edward mengangguk.

"Aku paham, Ram. Makasih banyak karena kamu berhasil menemukan kita disini. Ternyata semua hal itu nggak selalu kebetulan."

Ed masih belum bisa sepenuhnya menerima kepergian ayah terkasihnya, di tambah banyak kejanggalan dalam kasus kematiannya. Namun, Bu Lastri telah ikhlas dan menutup kasusnya. Derai air matanya tak bisa terbendung saat dia mengingat masa lalu itu.

"Eh, sorry, Ed. Aku nggak bermaksud menyinggung perasaanmu."

"Nggak apa-apa, Ram. Aku hanya merasa sangat senang... kalo begitu, kamu bisa membantuku, kan, buat kedepannya?"

"Tentu saja," sahutnya.

Setelah obrolan itu selesai, Rama memeluk hangat Edward dan pamit untuk pergi 'bekerja.'