Chereads / don't blame us / Chapter 22 - losing control

Chapter 22 - losing control

Dalam sebuah rubanah bergaris polisi, terdapat aktivitas yang nampak sibuk. Orang-orang berjas putih tengah menimbang dan mengemas produk andalan mereka.

"Ada berapa kilogram pasokan bulan ini?" tanya pimpinan mereka.

"20, Macan." jawab sang kepala.

"Bagus. Tetap awasi aktivitas tikus kecil tukang retas itu. Dia pembawa petaka."

"Baik. Macan, berapa lama lagi kita harus menunggu untuk habisi dia?"

"Kita lihat dulu dia senang-senang, nanti tiba waktunya kita habisi bajingan itu. Sahabatku dia jebak, sialan!"

Setelah terjadi gempa bumi, mereka dengan cepat bangkit dan semakin berada di puncak.

*****

Hari ini adalah hari berkemah. Semua orang sangat bersemangat dan gembira.

"Wih, kau bawa apa aja, Ed? Banyak banget kaya mau ke luar negeri," ejek Fitri.

"Berisik. Adikku ribet banget, tapi nggak mau ribet."

"Jadi ini punya si Emily? Duh, baiknya."

"Ayo, cepetan duduk."

Edward duduk bersama Fitri, Aldi dengan Wahyu dan Rama sendirian. Semuanya terasa kaku.

"Baik semuanya. Selamat pagi! Saya bu Nida akan menjadi pembimbing kalian di bis ini. Tolong kerja samanya, ya!"

"Baik, Bu!" sahut semua murid.

Bis melaju dinamis di perbukitan.

"Masih jauh nggak, sih, Di?" tanya Wahyu.

"Nggak tahu. Tahun lalu aku nggak ikut."

"Sama," sahutnya.

Setelah beberapa jam, mereka tiba di lokasi perkemahan. Tempatnya sangat segar, rindang dan juga dekat dengan sumber air. Ini adalah perkemahan akbar karena hampir semua siswa ikut hingga kawasan ini di penuhi siswa-siswi SMA UTAMA.

"Semuanya tolong berkumpul! Kita akan bagi regu, ya!"

Setelah berkumpul untuk pengarahan dan membagi kelompok, mereka mulai membangun tenda. Edward dengan Aldi satu kelompok, mereka terlihat sangat canggung.

"Biar aku aja yang pasang, Ed." ucap Aldi.

"Oke, Di," jawabnya datar.

"Maafkan aku, Ed. Sebenernya aku nggak mau bersikap renggang kaya gini. Kamu adalah sosok orang paling tenang yang pernah kutemui. Aku belajar banyak dari sikapmu, Edward."

Ed hanya membalas senyum.

"Banyak bacot banget, nih, anak buta ijo," batin Edward.

Fitri berpisah kelompok dengan orang yang dia kenal. Tak ada lagi Amel di sisinya.

"Seru banget, nih, kayanya!" canda Fitri pada Aldi dan Edward yang nampak kembali dekat.

"Apaan, sih? Kamu satu regu sama siapa, Fit?"

"Tau, dah. Adik kelas semua. Malas banget bikin tenda kaya gini."

"Pantesan nggak ada kerjaan," ejek Aldi.

Rama tidak memberi tahu siapapun jika Amel adalah mata-mata dan ayahnya juga seorang pengedar yang tengah menghilang.

Dari kejauhan, tampak Emily satu regu dengan Jessika. Ed lega karena dia bersama orang yang bisa menjaganya.

Hari mulai malam, semuanya berkumpul di api unggun. Setelah berdoa atas kepergian teman-teman mereka. Semua orang merenung dan berharap semoga semuanya akan selalu baik-baik saja di masa yang akan datang. Amir maju membawa gitar untuk mencairkan suasana.

'Menarilah dan terus tertawa'

'Walau dunia tak seindah surga'

'Bersyukurlah pada yang kuasa'

'Cinta kita di dunia, selamanya.'

Hari mulai larut, siswa-siswi masuk ke tendanya masing-masing. Ed merasa sesak karena tenda itu terlalu kecil untuk banyak orang di dalamnya. Ia memilih tidur di luar tenda dengan membawa alas dan kantong tidurnya. Tidur di alam terbuka membuat pikirannya tenang hingga ia terlelap.

*****

Pagi buta, Ed pergi ke toilet untuk mandi lebih awal karena enggan mengantri. Dari hutan, dia mendengar gema suara orang merintih meminta tolong yang membuat bulu kuduknya merinding. Teman-temannya masih tidur meningat hari masih gelap dan dingin.

Jam 6 pagi sirine berbunyi membangunkan semua murid.

Riuh suara orang bersahutan membuat hutan yang dingin itu menjadi sibuk oleh siswa-siswi yang sibuk mengantri mandi.

"Bang Ed, nggak pergi mandi?" tanya adik kelas.

"Udah tadi pagi," sahutnya.

Ed berbaring di tenda memainkan ponselnya, mengingat kegiatan belum di mulai. Dia menatap fotonya bertiga dengan Erik dan Willy. Ia tak ingat jika dirinya mengajak mereka berfoto saat di Bar. Ed tak kuasa menahan tangis. Satu dari mereka sudah berbeda alam dan satu lagi menghilang.

Tiba-tiba Rama berteriak mencarinya.

"Edward! Ed!! Edward!"

"Kenapa?" Ed sontak bangun penuh tanya.

Dia bergegas keluar dan terkejut melihat Emily di atas tandu. Jessika menangis. Ia menemukan Emily jauh di sebuah gasebo dalam hutan. Emily meneleponnya sambil menangis meminta tolong. Ed mengecek panggilan ponselnya, namun sial, hanya tersedia jaringan operator tertentu saja di sana. Emily terlihat berantakan dengan berlumur darah kering di baju dan celananya.

"Emily! Apa yang terjadi?!" Ed membawanya ke ambulans hingga Emily pingsan di pangkuannya.

"Emily!"

"Pak, tolong cepat ke ruma sakit," pinta Edward dengan menggenggam erat tangan adiknya. Mereka bergegas ke rumah sakit terdekat dari lokasi kemah.

Di Ambulans, Edward tak kuasa menahan tangis dengan terus menggengam erat tangan kembarannya. Pikirannya berteriak jika ia kembali gagal menjaga orang yang dia amat sayangi.

Sirine Ambulans berhenti tepat di depan pintu unit gawat darurat

Tiba di rumah sakit, petugas UGD bergegas menbawanya. Dengan rasa gundah, Ed melepas genggamannya di pintu pemeriksaan. Yang hanya bisa ia lakukan hanyalah pasrah pada Tuhan.

Drrt Drrt!

Tengah menunggu Emily siuman, Fitri mengirim Ed sebuah gambar berisi foto Amir yang tergeletak dengan luka tusuk di perut dan pahanya.

"What the fuck?!" Ed mengerutkan wajah, merasa tak asing dengan letak tusukan itu. Fitri menambahkan, perkemahan di bubarkan karena keadaan semakin tidak terkendali dan mereka sedang di perjalanan pulang.

Fitri mengirim video. "Ed, kacau Ed! Ada pelaku kriminal di sekolah kita. Semua orang panik. Kemah ini memang mimpi buruk!"

Bu Lastri dan om Wandi datang ke ruangan Emily tanpa di kabari Ed. Bu Lastri memukul Ed karena bisa-bisanya dia lengah dengan keselamatan adiknya, padahal dia berjanji untuk selalu melindungi saudara kembarnya itu.

"Kamu ini bagaimana?! Katanya mau jaga adikmu! Ini buktinya apa?!"

Dia menangis di pelukan Edward.

Lagi dan lagi, Ed gagal menjadi seorang kakak, Ed gagal menjadi seorang pelindung. Ia merasa sangat payah dan tak berdaya dengan kenyataan ini. Om Wandi meminta dokter untuk melakukan pemeriksaan fisik menyeluruh terkait dengan darah kering di celana Emily.

"Edward, tahan diri kamu, ya. Jangan sampai ada orang lain yang kuasai kamu," ucap pamannya perlahan seraya memeluknya.

Edward hanya terisak tangis dalam pelukan Wandi.

"Edward? Siapa itu Edward? Dia sudah kubunuh," batin Edward.

Hampir satu hari mereka berada di sana menunggu Emily siuman. Dokter kembali ke ruangan dengan membawa hasil tes. Beliay menjelaskan jika itu adalah darah dari kemaluan Emily. Nampaknya Emi di perkosa oleh seseorang dengan brutal. Juga terdapat bekas cekikan dan tali di badannya.

Brak!

Ed menggebrak meja dan menendangnya. Dia berlari menuju taman belakang rumah sakit dan tak berhenti membenturkan kepalanya.

"Argh, anjing! Kau memang bodoh Edward, kau memang payah, kau memang sialan, kau-,"

Tiba-tiba Fitri datang menahannya.

"Ed, Edward! Kamu kenapa? Ada apa?!"

"Emily, Fit. Emily!" Edward merintih memeluk Fitri.

Dengan nafas terisak Edward menjelaskan apa yang terjadi. Fitri tampak sangat fokus mendengar ceritanya.

"Udah cukup, aku nggak sanggup mendengarnya...," Fitri menangis membalas erat pelukan Edward.

"Ini semua bukan salahmu, Ed. Ini semua kecelakaan," ujarnya.

Dengan berusaha menyeka air mata yang tak berhenti mengalir, Edward bertanya padanya, "Kenapa kau bisa ada di sini?"

Saat di perjalanan, Fitri bertanya di mana rumah sakit terdekat. Rupanya rumah sakit itu akan dilewati mereka. Maka dari itu, Fitr turun di depan rumah sakit dan berpisah dari rombongan bis karena khawatir dengan Edward, satu-satunya teman Fitri yang tersisa.

*****