Hari sudah larut, Dokter memberi Edward obat tidur karena mendapati dirinya tidak tidur beberapa hari kebelakang. Emily makin resah dan khawatir dengan apa yang sebenarnya kakaknya lakukan.
Keesokan harinya, Fitri menjenguk Edward yang tengah kelelahan di rumah sakit. Dia mendapat kabar dari Emily. Fitri tak rela kehilangan satu-satunya teman yang ia miliki.
"Ed, sebenernya kamu sudah masuk gerbang itu sejauh mana? Banyak prasangka burukku terhadapmu. Tapi, kupercaya jika dirimu adalah orang baik yang selama ini kukenal. Bisakah kau terus mempercayaiku?"
"Kau memang teman terbaikku, Fit. Di antara semuanya, kamu paling tulus dan nggak menyimpan rahasia dariku."
Seketika Fitri mematung. "Perihal rahasia ... sebenarnya sejak pulang dari perkemahan itu .... aku mulai berpacaran dengan Rama."
Degh!
Hati Edward sakit, dia tak percaya sahabat yang paling ia percaya menyimpan rahasia terhadapnya dan berpacaran dengan orang jahanam seperti Rama.
"Kok, kamu baru kasih tahu sekarang?"
"Aku butuh waktu, Ed. Aku lihat waktu itu kau sedang mengalami hal berat dan kupikir seharusnya aku harus menemanimu, bukan memberi tahu hal yang nggak pas untuk di bahas."
Ed berterima kasih karena Fitri bisa menjaga perasaannya. Suasana berubah menjadi hening dalam hitungan detik. Suara klakson kendaraan dan riuh angin mengibas rambut Edward yang berantakan.
"Fit...,"
"Hmm?"
"Kalo aku jadi orang jahat, kau mau tetap menjadi temanku?"
"Kamu ngomong apa, sih? ... kamu itu muka aja seram, tapi sifatmu baik!"
Obrolan mereka sangat menyenangkan. Dua anak itu harus saling menguatkan karena hidup harus terus berjalan. Mereka berkeliling menyusuri kota untuk saling mengekspresikan diri hingga malam hari.
"Ed, aku boleh menginap di rumahmu malam ini?"
"Boleh, apa yang terjadi di rumahmu?"
"Tidak ada, aku hanya ingin bertemu Rama...,"
Edward mendengkus dalam batinnya.
*****
Tiba di rumah, tampak mobil Wandi terparkir. Dari dalam, terdengar suara dan suasana sangat menegangkan. Wandi dan Rama tengah cekcok. Bu Lastri, Tante Witri, dan Bi Suryani sedang pergi bersama. Sementara Emily dan Jessika terkunci di kamar.
Om Wandi babak belur terengah-engah, Edward segera merekam percakapan mereka seraya menguntit di ruangan sebelah. Mereka saling berdebat, Rama terlihat begitu marah. Dia bertanya pada Wandi apa yang sebenarnya dia lakukan malam itu? Kenapa dia bertelanjang dada dari kamar kakaknya? Kenapa dia memperkosa gadis desa yang dengan tulus mencintainya? Kenapa dia dengan teganya menyuntikan Morfin pada tubuh kakaknya? Rama terus menanyakan hal yang ia ingat empat tahun lalu.
Wandi tertawa seperti orang gila.
"Hahahaha ... apa salahnya senang-senang? Kakakmu hanya gadis lacur murahan!"
Kakak Rama yang tulus mencintai Wandi ternyata dikhianati oleh kekasihnya sendiri.
Rama sudah lama menunggu kehadiran si berengsek itu ke rumah ini. Dulu, dia tak sadar karena dirinya begitu berbeda dengan sosok yang terakhir kali ia lihat, tapi busuknya bangkai tak akan pernah bisa di tutupi. Seraya mencoba tenang dalam api emosi, Rama bertanya tentang informasi apa yang di ketahui ayahnya hingga dengan sadis bedebah itu membunuhnya.
"Llau, kenapa kau membunuh ayahku, keparat?!"
"Itu salah paham! Kamu nggak bisa menyimpulkan cerita dari sudut pandangmu saja! Ayahmu itu agen, pecandu,tukang main sama perempuan, bahkan istriku dia tiduri! Puas kau, bedebah kecil?! Tetap bersikeras membela bapakmu si gigolo itu? Asal kau tahu ya! Dia hanya kambing hitam si Widyo!"
Rama mengeraskan rahangnya dengan menahan air mata yang kian deras.
Wandi tak berniat membunuhnya. Namun, karena tersudut dan membela diri, dia terpaksa mendorong ayah Rama ke danau Tambang. Keadaan Rusdi yang teler sempat membuatnya bingung. Rusdi menjadi alat untuk membunuh Wandi karena Widyo takut akan terungkap satu identitas lainnya. Padahal, di balik itu dia tau sendiri siapa sosok kakaknya yang sesungguhnya.
Wandi menambahkan jika si Widyo psikopat itu tidak cocok menjadi direktur, ia hanya berbakat menjadi pemimpin Kartel berdarah dingin di negeri ini. Ia tak segan mengahabisi orang lain demi mempertahankan posisinya.
Semua anak buahnya bagaikan tikus yang haus akan uang di matanya. Rusdi tahu jika Wandi sudah lama menginginkan posisi dan harta kakaknya. Ia rela mempertaruhkan nyawanya untuk membunuh Wandi sebagai balasan rasa terima kasih atas kebaikan Widyo padanya. Namun malang, Rusdi membunuh dirinya sendiri dengan meniduri istri pertama Wandi yang kini telah pergi.
Rusdi sebenarnya adalah seorang predator yang berkedok manager polos dan lugu di perusahaan itu. Bahkan, setelah Wandi memanfaatkan kematian Rusdi dengan melakukan serangan balik pada Kartel terhadap 'kasus kelalaian divisi terhadap tanggung jawab agen,' tidak membuatnya puas begitu saja. Ia justru mengadu domba balik Erna si Madam dengan Widyo si Elang agar saling menuduh siapa yang lalai membunuhnya.
Lempar batu sembunyi tangan, Erna dan Wandi bersekongkol untuk merebut posisi Widyo. Kini, Wandi hanya menunggu Lastri si pengidap kanker otak itu mati sendirinya dan anaknya bisa dengan mudah ia tampung seperti anak anjing yang penurut.
Mendengar semua omong kosong itu, Edward tak bisa menahan amarahnya. Ia berlari pergi mengambil pistol di bawah ubin kamar Rama dan muncul menodongkan pisau di hadapan mereka. Fitri tak bisa ikut campur setelah mendengar semua kenyataan di antara mereka. Tubuhnya gemetar dengan nafas yang tak beraturan.
"Apa yang harus kulakukan?" ucap Fitri dengan lutut yang lemas.
Wandi terkejut dan meminta Edward untuk tenang. Dia beralasan semua ucapannya hanya untuk mengelabui Rama agar percaya dengannya. Ed yang pintar hanya bisa menurut karena dia hanya anak anjing yang penurut di hadapan pamannya. Edward menjatuhkan pistolnya dan pergi ke belakang om Wandi berlindung padanya.
"Semua ini hanya salah paham, biar paman luruskan," pungkasnya.
Hiks hiks hiks...
Edward bersikap seperti anak kecil yang ketakutan, ia menangis tersedu-sedu. Saat pamannya menoleh, Ed menggorok lehernya dengan pisau lipat yang ia genggam di sakunya hingga bercucuran darah.
"Mati kau, keparat!"
Srrt Srrt Crrt.
Rama terkejut hingga terjatuh merangkak ke sudut ruangan, dia tak percaya melihat anak naif dan pendiam di depannya adalah pembunuh yang selama ini dia cari.
Argh, tidak!
Fitri menjerit histeris membuat Emily dan Jessika panik di dalam. Rama merintih ketakutan memohon ampun padanya.
Edward berbicara dengan lantang sambil menodongkan pistol, jati dirinya tak bisa lagi dia tahan. "Persetan apapun yang di lakukan si jahanam ini! Yang pasti: Willy, kau hukum karena memperkosa Alisya dengan luka tusuk dan suntikan. Abdul, kau tusuk karena hampir membocorkan identitasmu. Amir, kau tusuk karena menciduk perlakuan bejadmu pada Emily! Bayu, kau jebak dia dan kakimu terkena imbasnya. Hahaha ... Erik? Kutusuk karena dia nggak kasih tau tentangmu. Abdul, kutembak karena dia penyebab kedua kematian Willy. Polisi gendut, kutusuk karena berani-beraninya dia tutupi kasus ayahku lima tahun lalu ... Lihat? Kita berdua nggak ada bedanya, Ram. Kita hanya anak naif yang nggak bisa apa-apa. Kita nggak bisa hidupkan orang mati. Kita cuma bisa buat orang mati! Makasih banyak, Rama. Kau sudah membantuku memecahkan teka-teki ini."
Dengan terbata-bata Rama menjawab, "Edward dengarkan aku! Kita semua salah paham. Apa yang kita tahu ternyata berbanding terbalik. Aku nggak pernah tahu kalo ayahmu adalah Elang yang anak kartel bahkan madam selalu ceritakan. Aku nggak tahu kalo ayahku agen, mesum, pecandu, dan suka main cewek. Aku buta, Ed. Aku nggak bisa membaca situasi dan terus berpikir jika semua ini salahnya. Kumohon, Ed ... jangan seperti ini. Aku minta maaf, semua ini salahku, maaf karena aku telah hadir dan merusak hidupmu, maaf karena aku telah merusak pertemananmu, maaf karena aku telah menjadikanmu sebagai alat. Tolong jangan seperti ini, Ed! Kumohon...,"
Dor!
Edward menodongkan pistol pada dahi Rama dan menarik pelatuknya.
"Rama!"
Fitri menjerit histeris menghampirinya.
"See you again, Fit." ucap Ed.
Dor!
Edward menembak perutnya sendiri.
"Tidaak!" teriaknya dengan penuh rintih.
Mendengar suara ledakan pistol, Emily dan Jessika menggebrak pintu keluar. Mereka menjerit histeris hingga tak bisa bersuara melihat tiga orang terkapar dengan lautan darah di lantai. Jessika bergegas menelepon polisi.
"Halo, Pak! Tolong datang kemari secepat mungkin. Terjadi pembunuhan sadis di rumah ini!"
Emily tak kuasa melihat mereka mandi darah. Dia tak berdaya untuk menolong kakaknya. Dia tak pernah tahu jika kakaknya begitu kesulitan. Dia tak tahu jika kakaknya akan bertindak sejauh ini. Dia terlalu takut untuk keluar karena tak ingin membahayakan nyawanya sendiri. Dia merasa bodoh, egois, dan tak tahu diri.
Polisi datang dengan beberapa ambulan. Para tetangga kompleks mengunjungi mereka dan berhasil memotret foto ketiga jasad untuk di publikasikan hingga membuat berita menyebar cepat ke seluruh negeri dan mendatangkan banyak wartawan.
Suasana begitu suram dan pilu bagaikan semua hal baik telah pergi dan tak akan pernah kembali. Lastri, Suryani dan Witri tak tahu kabar itu hingga mereka pingsan saat melihatnya di sosial media. Tangisan meledak di hotel itu. Bahkan, saat polisi menjemput, mereka tak kuasa untuk pulang. Hanya jutaan penyesalan yang mereka rasakan.
Detektif menemukan ponsel pada saku Edward tengah aktif merekam suara. Ternyata, itu semua adalah isi percakapan mereka bertiga mengenai tragedi empat tahun lalu. Semua kebenaran ada di sana dan CCTV menjadi saksi aksi brutal itu. Edward menjadi tersangka utama. Namun, mereka harus menunggu mengenai keadaannya yang tengah di ambang kematian.
Polisi mendapat petunjuk baru mengenai kasus tambang empat tahun lalu. Bahkan, mereka berkata kasus ini semakin terbuka lebar. Akhirnya, mereka melakukan investigasi ulang dengan mendengarkan percakapan dalam rekaman itu dan membandingkannya dengan kasus lima tahun lalu. Dugaan mereka salah, kedua kasus itu hanya titik awal dari maraknya kriminal di negeri ini.
*****
Hari-hari berlalu ... Bu Lastri telah tabah dan bangkit untuk terus hidup, begitu pun Emily. Karena tak ingin di hantui mimpi buruk yang berkepanjangan, mereka memutuskan untuk pindah ke luar negeri bersama dengan Witri dan Syabil untuk memulai hidup baru dengan sejuta rasa pilu.
*****
Tiga bulan berlalu, seorang pria yang telah lama koma akhirnya siuman.
"Eh ... Kau udah siuman?" tanya orang disampingnya.
"Rasanya seperti terbangun dari mimpi yang panjang," jawabnya seraya menggeliat.
"Aku sangat senang karena kita bisa melewati semua ini, sobat. Terima kasih banyak sudah mau membantuku untuk mengadu domba para tikus itu serta memanipulasi publik. Kau hampir membunuhku hari itu, bego!"
"Hehe ... Maafkan aku, Erik."
Mereka berada di puncak sebuah gedung pencakar langit dengan dinding kaca megah dan mendominasi setiap bagian ruangan itu. Pria itu kembali siuman setelah di bawa Erik saat sekarat di rumahnya kala itu. Mereka memainkan sandiwara untuk mengelabui publik dan butuh waktu yang lama untuk menunggunya siuman.
Para pelayan menuntunnya menuju kloset dan memberi setelan jas mewah padanya.
"Here we go ... Alvin," batinnya.
Erik membawa pria itu ke dalam sebuah aula besar. Tampak banyak sekali orang berpakaian serba hitam dan memakai topeng.
"Semuanya mohon perhatian! Dengan harapan baru dan dunia baru, selamat datang kembali, Anak Elang! ... kartel sudah lama menunggu kehadiranmu!"
Salah satu dari mereka bersahut seraya membuka topengnya, "Selamat datang kembali, Anak Elang!"
"Idrus?!"