Satu minggu berlalu, Emily pulang dengan kondisi yang mulai membaik. Jessika tak berhenti menemaninya setiap saat, mengingat ia tak ingin gagal lagi menjaga temannya. Edward masih gusar karena tak kunjung menemukan jawaban siapa yang menusuk Amir dan memperkosa saudara kembarnya.
Dia berpikir keras untuk balas dendam dan hanya Rama yang bisa ia percayai. Tampak anak itu tengah menyiram bunga, ia menghampiri dan menarik paksa Rama ke kamar.
"Rama, pokoknya kamu harus cari tau siapa yang lakukan itu ke Emily!"
Dengan geram dan nafas tak beraturan, ia meminta Rama untuk membantunya. Edward tak akan membiarkan pelaku itu lolos. Ia muak dengan semua yang terjadi pada dirinya dan temannya. Kini, hidupnya kian suram seperti tak ada lagi cahaya yang bisa meneranginya, hanya ada amarah dan ambisi balas dendam yang kian mendalam.
Rama mencoba melacak lokasi GPS ponsel orang-orang di perkemahan malam itu. Ternyata, semua orang tetap di sana dan hanya Emily yang pergi ke hutan. Edward tak mengerti apa yang di lakukan adiknya di hutan.
Ia menelepon Jessika dan bertanya keberadaannya malam itu. Dengan penuh rasa bersalah, Jessika meminta maaf karena saat itu dia sangat mengantuk hingga tertidur pulas, bahkan sulit untuk bangun. Edward melempar vas bunga alih-alih meluapkan amarahnya dan duduk di sudut kamar.
Setelah merasa tenang, ia kembali memusatkan pikirannya dan berfikir logis. Semua ini teka-teki. Namun, satu hal yang pasti, luka tusuk pada tubuh Amir sama dengan luka pada tubuh Willy. Apakah pelakunya adalah orang yang sama?
"Ed, kemarin ... setahuku, si Amir satu kelompok sama Bayu. Kau coba tanya dia aja, apa aku aja?"
Edward meyakinkan Rama, "Biar aku aja. Kamu udah terlalu beresiko untuk bertindak lebih jauh. Aku udah nggak mau kehilangan orang terdekat lagi."
Diri lain Edward berasumsi jika Amir pelakunya karena kasus ini sama dengan kasus Willy. Dia bergegas pergi ke rumah sakit menemui dokter. Pikirannya menuntun pada buruk sangka yang nihil kemungkinannya.
Ed menancap gas mobilnya menuju rumah sakit tempat Amir di rawat. Ia tak bisa melewatkan satu pun kemungkinan dan dugaan yang melekat pada egonya yang dangkal.
"Dok, apakah saat itu ada zat narkotika di tubuh adik saya?"
"Tidak ada, Edward. Namun, kami menemukan obat tidur."
"Hah?" jawabnya refleks.
"Baik, Dok. Terima kasih."
*****
Ed merasa semuanya kian jelas. Ketidaktahuan banyak pihak meyakinkannya jika pelaku sebenarnya berada di lingkungannya atau mungkin orang terdekatnya. Tapi, seingatnya, dia tak punya banyak teman dekat dan mereka semua tak terlihat mencurigakan.
Ed geram, ia hendak menemui Bayu, teman dekat Amir. Dia berencana akan pergi malam hari, menunggu semuanya gelap dan sunyi. Ed memutuskan memakai masker dan berpakaian serba hitam untuk menutupi identitasnya dan menghindari sorotan orang lain.
Saat hendak pergi, Ed menelepon wali kelasnya untuk meminta alamat Bayu dengan berdalih membantu polisi menyelidiki kasus penusukan Amir. Di sini, Ed bermain peran untuk mengelabui wali kelas agar tidak mencurigainya dan ternyata wali kelas memberinya alamat Bayu dengan mudah.
Rupanya rumah Bayu jauh dari rumah siapa pun yang ia kenal. Namun, itu tak menjadi penghalang baginya. Diri Edward kini di kuasai oleh sosok terburuknya.
Waktu menunjukan pukul 00.32, Ia pergi larut malam menunggu daerah itu sepi.
Tiba di sana, Ed menyusup masuk melewati pintu belakang dan mendapati Bayu sedang tidur. Emosinya kembali bergejolak saat melihat Bayu. Dia mencoba tenang membangunkan Bayu dan membungkam mulutnya. Dia sontak bangun ketakutan. Edward membuka maskernya dan terlihat sangat menyeramkan.
"Edward, apa yang kamu lakukan?"
"Sut! Kamu di mana pas Amir di tusuk?"
"D, di tenda, Ed. Malam itu si Amir kebelet pipis. Aku teler habis minum. Aju nggak inget apa-apa lagi," jawabnya dengan terbata-bata.
"Terus? Ceritakan semuanya!" titahnya kasar.
"Tiba-tiba pagi itu dia di bawa ambulans.Aku nggak tahu apa-apa, Ed. Aku juga takut." tangisannya meyakinkan Edward bahwa dia memang tak terlibat. Edward mencoba mencerna perkataan Bayu sambil berjalan keluar.
Sembari berjalan menyusuri jalan di dinginnya malam, Ed terus berpikir siapa lagi yang terlibat jika Bayu, Jessika, dan Rama tidak tahu. Dia mencoba membandingkan kasus Willy dan Amir. Edward ingat, Willy di suntik morfin dan sianida oleh si penusuk.
Rahangnya mengeras setiap mengingat apa yang menimpa Willy hingga ia kehilangan nyawanya. Sianida adalah racun yang sangat mematikan dan bisa-bisanya ada seorang psikopat edan yang menyuntikkan zat itu pada sahabatnya.
*****
Tiba di rumah, suasana begitu sepi, mengingat ini pagi buta. Bi Suryani memergoki Edward tengah minum coklat hangat di dapur yang gelap. Ia terkejut bukan kepalang melihatnya berpakaian serba hitam dengan wajah yang kusam dan berkeringat.
"Tuan? Habis dari mana?"
"Eh, Bi ... anu ... aku habis jalan-jalan aja cari udara segar."
"Tapi ini pagi buta, Tuan. Tuan nggak apa-apa, kan? Mau bibi buatkan sesuatu?"
"Nggak usah, Bi. Makasih ... aku naik dulu, ya."
"B,baik," jawabnya dengan penuh rasa heran.
Hanya tidur satu jam, ia sudah kembali terbangun untuk sekolah. Wajah Edward pucat dengan kantung mata yang hitam, menandakan pikirannya tengah berkecamuk dan ia tidak cukup tidur. Edward bergegas mandi dan bersiap untuk menjalani rutinitasnya kembali.
Saat bercemin, Edward terus-terusan memanggil nama Alvin, tapi nihil ia tak pernah muncul lagi.
"Apa aku benar-benar sembuh?" ucap Edward. Setelah semua yang terjadi, hari-harinya hampa dan dipenuhi tanda tanya yang tiada habisnya.
Emily tak bisa pergi ke sekolah mengingat kondisinya masih belum stabil serta Edward yang melarangnya keras. Ia sarapan sendiri dengan berjuta lamunan.
"This is getting fucked up," gerutu Edward.
Tiba di sekolah, Fitri menunggunya di parkiran seperti biasa. Kini, hanya tinggal mereka berdua yang menyusuri lorong sekolah. Tak seperti dulu yang selalu ramai dengan gelagat konyol dan perdebatan kecil mereka dengan Erik dan Willy. Andai Edward bisa memutar waktu, mungkin dia akan menjadi sosok yang lebih ceria dan sadar akan pentingnya berbagi momen indah bersama sahabat.
"Ed, kamu nggak tidur, ya, semalam?"
"Kau pikir kau bakal tidur setelah semua bencana ini?"
"Hehe ... maaf, Ed, bercanda."
"Huft, aku merasa sensitif banget, Fit, akhir akhir ini."
Fitri membalasnya senyum dengan penuh keyakinan. "Ada aku di sini."
Kressek Kressek...
"Pengumuman! Untuk semua guru, staf tata laksana, satpam, ibu dan bapak kantin, staf CCTV, siswa dan siswi SMA UTAMA untuk segera berkumpul di aula besar lantai empat. Sekali lagi, Untuk semua guru, staf tata laksana, satpam, ibu dan bapak kantin, staf CCTV, siswa dan siswi SMA UTAMA untuk segera berkumpul di aula besar lantai empat. Terima kasih."
Fitri dan Ed bergegas menuju aula besar lantai empat, diikuti oleh semua warga sekolah. Nampak semua orang berbaris rapi.
Kepala sekolah terlihat resah dan sungkan saat hendak menyampaikan sesuatu pada semua orang. Dengan menghela nafas panjang dalam ketakutannya, ia mulai mengecek mikropon di depannya.
"Tes, tes, tes, 1, 2, 3...,"
"Selamat pagi! Salam sejahtera untuk kita semua. Dengan di kumpulkannya anda semua di ruangan ini, saya ingin menyampaikan beberapa hal yang harus kita renungi. Pertama, sekolah kita telah di landa musibah bertubi-tubi. Kriminalitas di sekolah dan luar sekolah kini tak bisa kita ukur. Dan dengan apa yang terjadi minggu lalu di perkemahan membuat pihak sekolah sadar bahwa ada sesuatu yang besar dan berbahaya yang tengah terjadi. Kami telah berkoordinasi dengan semua pihak untuk mengantisipasi kemungkinan lain. Dengan berat hati dan penuh rasa bertanggung jawab, saya nyatakan sekolah kita siaga satu dalam terror kriminal narkoba, kekerasan, dan pembunuhan. Saya meminta semua warga sekolah untuk saling merangkul dan mendukung satu sama lain juga saling terbuka dalam menghadapi masalah yang terjadi. Sekarang, mari kita berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing untuk semua murid yang menjadi korban atas malapetaka ini. Berdoa dimulai."
Suasana begitu hening dan pilu saat itu. Semua orang sangat terpukul dan khawatir dengan apa yang yang akan terjadi setelah ini.
Setelah berdoa, guru meminta satu orang perwakilan berbicara di depan.
Edward naik dengan gundah gulana.
"Halo semua! saya Edison, sahabat William, Eriko dan saudara kembar Emilia. Di sini saya ingin mengajak kalian untuk mengenang dan mengikhlaskan juga memaafkan kedua teman kita Willy dan Alisya yang telah pergi lebih awal. Willy adalah sahabat saya yang paling baik dan bijaksana. Dia selalu menjadi pelengkap di sela canda gurau kami. Ambisinya dalam setiap keadaan masih terasa mengalir hingga kini. Mungkin, kalian juga mengenalnya sebagai ketua klub basket. Apabila mendiang Willy pernah berbuat salah sekecil dan sebesar apapun, saya selaku orang terdekatnya memohon pada kalian semua untuk memaafkannya dengan sepenuh hati. Mari kita berikan pelukan hangat padanya dengan mengikhlaskannya pergi tanpa beban di pundaknya. Untuk Amir, mari kita doakan supaya ia cepat siuman dan kembali bersama kita. Untuk Erik, saya meminta maaf atas tindakannnya terhadap Ahmad tempo hari. Tolong jangan jadikan hal ini sebagai keraguan kalian untuk tetap sekolah, ya. Terima kasih," ucap Edward penuh haru.
Ed turun dengan wajah yang murung. Ia menepuk pundak Jessika dan tersenyum menguatkannya.
Jessika naik dengan langkah yang amat sangat berat.
"Hai! Saya Jessika, sahabat Alisya dan Emilia. Di sini saya berdiri dengan tujuan yang sama dengan Edison sebelumnya, yakni ingin meminta maaf atas semua hal yang pernah dilakukan mendiang Alisya. Saya memohon pada teman-teman semua untuk bisa mengikhlaskannya pergi dengan damai. Alisya adalah sosok sahabat yang tenang juga penuh dengan rasa semangat. Lalu, saya mohon doa kepada rekan-rekan semua untuk kesembuhan Emilia yang kini sedang dalam masa pemulihan. Semoga Tuhan selalu melindungi kita semua. Terima kasih," pungkas Jessika.
Perkumpulan itu sangat menyentuh dan mencekik perasaan tiap orang. SMA UTAMA bersedih dan cemas dengan segala kemungkinan yang masih akan terjadi. Penjagaan sekolah di perketat dengan dilibatkannya polisi di sekolah, bersama dengan satpam. Staf kamera pengawas di perbanyak dan peletakannya di perluas. Sekolah benar-benar berubah bak tempat paling menakutkan.
Semua siswa turun kembali ke kelas masing-masing. Fitri tak kuasa menahan tangis saat Edward berpidato. Perkataannya begitu menusuk ulu hatinya.
"Kau memang kuat," ucap Fitri seraya berjalan di sampingnya.
*****
Edward pergi ke rumah sakit tempat Amir di rawat. Dokter berkata bahwa dalam tubuh Amir terdapat LSD dan Morfin. Ed terheran-heran mengapa ada dua jenis zat yang berbeda dalam tubuh Amir, mengingat satu saja sudah berbahaya. Teka-teki ini kian terbentuk menjadi sebuah ikatan tapi belum memberikan jawaban.
Setelah beberapa hari membandingkan foto letak luka tusuk Willy dan Amir, ia menemukan petunjuk jika posisi tusukan dan suntikan itu nyaris sama. Pikirannya langsung tertuju pada orang yang kemungkinan akan memberontak atas hal yang Edward lakukan.
"Abdul?"
Ed berasumsi jika itu Abdul dan dia tak sepenuhnya berhenti.
Edward memutuskan untuk mencerna semua ini sembari menunggu Emily benar-benar pulih. Ia ingin tahu apa yang terjadi dari Emily langsung. Namun, ia tak ingin menggertaknya alih-alih untuk bertanya.
Saat hendak memulai pembicaraan, Emily bercerita terlebih dahulu...
Malam itu, dia pergi ke hutan berusaha mencari sinyal untuk menelepon ibunya. Dia duduk di sebuah gazebo dengan lampu minyak yang redup. Emily sama sekali tak merasa takut karena di bawah jurang sana ada beberapa rumah penduduk lokal dan tempat itu pun bukan hutan liar. Ia berjalan bolak-balik menyusuri sekitar gazebo hingga akhirnya mendapat sinyal. Emily segera menelepon ibunya untuk memberi kabar. Tiba-tiba, ada seseorang dengan pakaian serba hitam menghampiri dan membungkamnya.
Ed memotong ceritanya. "Waktu kamu pingsan, kamu di bius terus di suntik obat tidur, Emily." hal itu membuatnya mematung.
"Udah, kalo kamu belum siap, jangan cerita. Aku nggak tega," bujuk Edward lembut.
"Dengarkan dulu, Bang."
Emily mengatakan orang itu memakai kalung berlambang peace dan memiliki bekas luka di dahinya. Emily tak bisa mengenali wajahnya karena dia memakai masker dan kacamata hitam. Ia sempat berontak menjambak rambutnya dan mencakar punggung orang itu dengan kuku panjangnya.
Informasi itu cukup bagi Edward. "Oke, cukup, Emily," tegasnya.
Ed bergegas mencari Rama untuk meminta tolong, seperti yang selalu dia lakukan. Kata kunci yang dia pegang adalah kalung berlambang peace, bekas cakaran, bekas luka di dahi, suntikan, Morfin, Sianida dan LSD.
"Maaf banget, Ed. Kali ini nggak bisa. Ini bisa melanggar privasi antar pengedar. Kita nggak boleh tahu apa yang sesama pengedar jual, kecuali kalo ke ketua divisi," tegasnya.
"Weh, aneh, banget," balas Ed sinis.
Rama menolak permintaan Edward karena hal itu melanggar privasi antar pengedar. Ed mulai menanam rasa curiga padanya karena semenjak publik mengetahui identitas orang tua Erik, Rama tampak selalu cemas.
Edward berada di ujung tanduk.
*****
"Ed, Amir siuman!" ujar Fitri dengan penuh harapan.
Edward bersyukur mendengar kabar itu, ia berharap Amir akan memberi petunjuk padanya. Bel pulang berbunyi, mereka segera pergi ke rumah sakit.
Amir terlihat sangat lemah dan pucat. Dia ketakutan melihat Ed yang begitu tajam menatapnya.
"Amir, bagaimana keadaanmu?"
"Terasa lebih baik, Ed."
"Syukurlah," jawab Fitri.
"Amir, sebenarnya apa yang terjadi? Tapi kalo misal kamu belum siap jawab juga nggak apa-apa. Kau masih sakit, gue bisa ngerti," ucap Edward dengan penuh permohonan.
Dengan terbata-bata Amir menjelaskan bahwa malam itu dia terbangun dan pergi ke toilet. Entah apa yang merasukinya, dia tak bisa sepenuhnya sadar meskipun sudah mencuci muka. Ed memotong.
"Kanu bukan pecandu, kan?"
Amir menjawab, "Aku pecandu berat, Ed. Aku udahsering having sex sama banyak cewek sambil dalam pengaruh obat. Tapi, sumpah, malam itu aku nggak bertingkah apapun. Aku cuma makan jagung terus minum airnya si Bayu...',"
Fitri mengerutkan wajahnya. "Hm ... bagaimana kalo kita suruh bayu kesini buat jelaskan?"
Tak perlu di hubungi, Bayu datang sendirinya dengan membawa buah-buahan. Seketika ia terkejut melihat Amir yang tengah berbincang dengan Edward dan Fitri.
"Ed, kalian di sini?" sapa Bayu.
"Iya, Bay."
Amir langsung memusatkan kembali pembicaraan. Ia tampak resah dengan kehadiran Edward.
"Bay, kamu bisa, kan, ceritakan semuanya ke Edward?"
Bayu mengangguk dengan tatapan pasrah.
Bayu mengaku jika air itu memang miliknya dan sudah di larutkan dengan sebuah pil. Ed menghela nafas panjang mencoba mencerna semuanya. Ed memancingnya dengan membahas perihal Emily.
Amir ternyata ingat, dia melihat Emily di Gazebo jauh di belakang toilet tengah memainkan ponselnya. Amir juga melihat Emily di ganggu seseorang. Karena setengah sadar, Amir berusaha menolongnya dengan sempoyongan. Namun, Amir tak bisa membantu hingga akhirnya dia tak mendengar suara Emily lagi.
Sadar tengah di awasi, pria berjaket hitam itu menoleh dan menangkapnya. Amir dipukul hingga babak belur. Dia tak bisa jelas melihat wajah pria itu. Yang pasti, dia memakai sepatu yang di lapisi keresek hitam dan ada bekas luka di jidatnya, sama dengan apa yang Emily katakan. Hanya itu kejadian yang Amir ingat.
Karena yakin Amir tidak terlibat, Edward menjelaskan pola kejahatan si penusuk sama dengan kasus Willy. Ed meminta maaf karena mengira Amir adalah pemerkosa dan Emily korban. Dalam kasus ini dapat di simpulkan bahwa si penusuk adalah si penyuntik.
"Amir, Bayu ... terima kasih banyak! Maaf kalo selama ini aku telah menyimpan rasa curiga sama kalian. Lekas pulih, ya, Mir!" ucap Edward lega.
"Nggak apa-apa, Ed. Aku bisa mengerti posisimu saat ini. Maaf juga aku nggak bisa menolonga adikmu malam itu...,"
Edward tersenyum lepas pada mereka seraya pamit meninggalkan ruangan.
"Bye! Cepet sembuh, ya!" pungkas Fitri.
*****
Ponsel Edward berdering.
"Ed, tolong gue!"