Willy sudah bisa pulang dengan syarat di awasi sepenuhnya, mengingat kasusnya belum terpecahkan.
Mendengar kabar itu, sekolah terasa berwarna kembali. Edward dan teman-temannya sangat bersemangat untuk segera menemui Willy.
"Guys, kita mau bawa apa ke rumah Willy?" tanya Fitri dengan penuh semangat.
"Gimana kalo kita bawa buah-buahan?" sahut Amel.
"Boleh. Aku mau belikan dia kue, ah. Bentar lagi, kan, dia ulang tahun."
"Kapan memang?" tanya Ed.
"Dua minggu lagi."
"Ya, ampun, Fit. Masih lama, kali," ejek Erik.
"Ya, udah, ayo cabut!"
Mereka berempat pergi ke rumah Willy dengan penuh semangat.
"Erik, kita parkir di mana?"
"Cari mini market aja, Ed. Di sini agak susah parkir," saran Erik.
"Oke."
Setelah memarkir mobil di mini market, mereka berjalan kaki menyusuri jalan raya dan gang yang cukup jauh. Langkah mereka terhenti saat melewati parit yang masih dibatasi oleh garis polisi.
"Jadi, ini tempat kejadian itu, ya? Aku nggak bisa bayangkan gimana perasaan Willy saat itu," ucap Fitri sedih.
Mereka semua kembali menyusuri gang hingga sampai pada rumah terakhir berwarna biru muda.
"Ini, kan, rumahnya?"
"Iya, deh, kayaknya. Di maps, sih, katanya di sini bener."
Tiba-tiba seorang pria menyapa mereka. "Halo, kalian teman-temannya Willy, kan? Ayo masuk, sebelah sini!"
"Iya, kak!" sahut semua.
Di ruang tengah, tampak Willy tengah berbaring.
"WILLY!!!"
Tangis bahagia semua temannya tak bisa tertahankan. Suasana begitu mengharukan hingga Edward tak bisa menahan untuk memeluknya erat melepaskan semua rindunya.
"Willy, aku benar-benar merindukanmu!" peluk Fitri hangat.
"Kukira kau nggak bakal selamat," ujar Erik menahan tangisnya dengan sedikit tawa.
"Will, kita nggak bisa tidur nyenyak setelah kejadian itu," tambah Amel.
Suasana sore itu sungguh menjadi momen yang indah bagi mereka. Rasa rindu dan khawatir kini telah meluap dengan keadaan Willy yang kian membaik.
"Will, aku bawa sesuatu untukmu!" ucap Fitri.
"Aku juga!" tambah Amel.
"Aku juga!" ujar Erik.
"Me too," pungkas Edward.
Semua orang sontak meliriknya.
Ed tersipu malu. "Apa?"
Mereka terkekeh-kekeh.
"Ya, ampun. Kan, masih lama...,"
"Nggak apa-apa. Tadi hanya diriku yang berinsitiatif saja yang bawa, tapi rupanya mereka ikut-ikutan."
"Hihihi ... makasih, ya, guys."
Willy bangun dan berusaha duduk dengan perut yang masih di penuhi perban.
"Buka yang mana dulu, nih?" goda Willy.
"Terserah, deh, yang pasti punyaku lebih menarik," jawab Fitri seraya menyipitkan matanya.
Willy meraih sebuah kado dengan motif bola basket. Dia langsung melirik ke arah Edward mengetahui jika ini darinya.
"Wah! Ini kan polaroid edisi terbaru!" seru Willy.
Semua orang terheran melihat ketidakserasian antara luar dan dalam kado itu.
"Hehe," Edward mengikik.
"Itu dari Edward!" seru Willy.
"Ahahahah .... kocak banget," sahut mereka.
"Bukannya kasih sepatu basket, malah kasih kamera," kekeh Fitri.
Willy menunjuk sepatu basket baru yang terpajang di lemari.
"Itu, dia udah kasih duluan," canda Willy.
Fitri merasa malu dan iri karena dia hanya membawa jam tangan murahan yang sekali beli sekali pakai.
Setelah bersenang-senang membuka hadiah, mereka pamit pulang karena hari sudah malam.
"Kak, kita pamit pulang dulu."
"Oh, iya. Terima kasih banyak, ya. Mohon doanya semoga Willy cepat pulih."
*****
Ed mengantar mereka pulang, hingga tersisa Fitri.
"Fit, kok, aku merasa musibah yang menimpa Willy ini kayak gerbang, ya?"
"Gerbang? Maksudmu?"
"Iya gerbang. Dulu, aku sangat menantikan gerbang itu terbuka. Sekarang, udah terbuka, hanya saja, aku belum berani untuk masuk, takut terjebak terus nggak bisa keluar," ucapnya.
Fitri berpikir keras dengan apa yang di katakan Edward. "Apa, sih, Ed? Aku nggak paham."
"Ya udah," jawabnya datar.
Edward mempercepat laju mobilnya tanpa sepatah kata pada Fitri.
*****
Di bawah jembatan tol, tampak tiga orang berpakaian serba hitam tengah berbincang.
"King, kita harus apakan si Cabul itu? Kata mata-mata kita, dia udah balik ke rumah," ucap pria besar.
"Aku akan turun tangan. Kau nggak becus soalnya!"
"Tapi, gimana dengan reaksi anak Elang? Aku khawatir dia jadi bumerang buat kita," ucap seorang gadis dengan penuh rasa cemas.
"Aku yang urus! Biasakan pakai bahasa yang baik dan benar saat bekerja, paham?!"
"Paham, King. Mohon maaf."
Dua pria berpakaian serba hitam itu pergi berlawanan arah dengan sang gadis bertudung hitam.
*****
"Bang, dari mana? Ibu cari-cari dari tadi," tanya Emily.
Edward pulang larut malam itu setelah berkendara malam ini alih-alih melepas stress. Dia khawatir akan kehilangan sebagian ingatannya seperti empat tahun yang lalu.
"Nak, kenapa pulang larut?"
"Habis dari rumah Willy, Bu. Aku naik, ya, capek banget hari ini."
"Ya sudah, jangan lupa mandi dulu."
*****
Setelah satu minggu beristirahat di rumah, Willy kembali ke sekolah. Edward menjemputnya bersama Emily, Erik dan Fitri. Semua orang menyambut kedatangannya dengan hangat dan penuh rindu.
"Selamat datang kembali, William!"
*****
Tok tok tok!
"Iya. sebentar."
"Hai, Wil!"
"Halo. Rama, kan? Kamu kesini sama siapa?"
"Sendiri."
"Silahkan masuk."
Willy menyambutnya masuk tanpa menanam rasa curiga.
"Ada apa, ya, Ram?"
"Nggak, Will. Aku hanya ingin menjengukmu saja. Aku dengar banyak ceritamu dari Edward. Aku turut prihatin atas apa yang menimpamu, Will."
"Oh, iya, Wil, Makasih banyak. Kamu yang tinggal di rumah Edward, kan? Maaf, maksudku...,"
"Iya, betul. Syukur, deh, kalo lu udah baikan."
"Iya, Ram."
Suasana hening seketika.
"By the way, puas perkosa anak orang?"
"Hah? Maksudmu?" Willy tersedak seraya menelan teh nya.
"Puas perkosa Alisya sampai hamil?"
Willy terkejut terengah-engah mendengar perkataan itu. "Hah? Kamu sebenarnya siapa?!"
Rama mendorong Willy ke dinding. "Aku mimpi buruk dan kau adalah mahluk paling menjijikan! Kau rusak dirimu sendiri dan kau rusak anak orang karena menang taruhan? Kau punya otak, nggak, sih?"
"Siapa sebenarnya dirimu?!" mendorong balik Rama.
"Hahaha! Bego banget. Sekarang lihat, tuh, dia hamil. Kau tolol banget tidur sama cewek nggak pake pengaman. Oh, iya lupa, kan ... kali pertama, jadi minim edukasi, hahaha," tawanya begitu renyah dan menyeramkan.
"Cukup, bedenah! Apa maumu?! "
"Willy, kau adalah Anjing paling jinak yang pernah kutemui!"
Srrt srrt srrt!
Tubuh Willy di tikam untuk kedua kalinya, membuatnya kembali sekarat.
Rana pergi dengan tawa yang sangat lantang.
*****
Beberapa menit kemudian, Waditra tiba dengan motornya. Ia tak bisa mempercayai apa yang dia lihat di depan matanya. Willy kembali tergeletak dengan lautan darah di lantai.
"Willy!"
Mengingar rumahnya berada di pojok, Waditra kesulitan membawanya ke rumah sakit. Ia segera menelepon ambulans berharap mereka akan datang tepat waktu. Nahas, nyawa Willy tak tertolong. Ia menghembuskan nafas terakhir di pangkuan kakak cikalnya dengan senyuman yang bahagia.
*****