Chereads / don't blame us / Chapter 16 - second step, last hint

Chapter 16 - second step, last hint

Rama dan Edward bertemu dengan pelanggan itu di bawah jembatan tepi sungai. Daerah itu sangat kumuh dan bau. Mereka memakai hoodie dan masker hitam alih-alih berpenampilan biasa saja untuk menutupi identitas.

Sang pelanggan bertanya. "Ini siapa, King? Saya kira anda beroperasi sendiri."

"Hari ini dia bekerja sebagai rekan saya, Pak." jawab Rama. "Benar, Pak," sahut Ed.

"Oh, begitu. Mukanya nampak tidak asing, ya." tambahnya.

Transaksi selesai, mereka kembali pulang larut malam. Sesampainya di kamar Ed, Rama berkata jika orang itu adalah kuli bangunan langganannya saat mereka di Bogor.

"Kamu dapat semua ini dari mana?"

Rama dengan transparan menjawab, "Ada bandar besar di Jakarta, mereka sepasang suami istri. Aku nggak bisa kasih tahu nama mereka karena ini udah jadi ketentuan bisnis, Ed." Edward lagi-lagi berfikir bahwa temannya hebat, meskipun caranya salah dan sangat beresiko.

Edward melemparkan dirinya di atas ranjang seraya melepas penat dan rasa cemas yang menghantuinya. Rama mendekatinya.

"Sekali lagi, aku minta maaf, ya, Ed?Aku janji nggak akan bersikap kasar kayak gitu. Aku sadarsiapa di sini."

Ed memotong. "Iya, Ram, aku mengerti. Maaf juga aku nggak bisa nahan emosi kayK kebanyakan orang. Aku masih belajar buat kontrol diri."

Suasana mulai hening. Rama merebahkan diri di samping Ed dan mereka tertidur pulas.

*****

Di saat waktu istirahat berlangsung, Edward membuntuti Abdul saat pergi ke toilet. Erik dan Rama menyusul karena berprasangka buruk setelah melihat gerak-gerik aneh Ed sejak pagi. Abdul pergi ke toilet untuk buang air besar di toilet yang sepi di pojok sekolah.

Edward masuk ke bilik sebelah dan mendapati Abdul sedang merokok. Terlihat jelas asap rokok yang membuat Ed geram. Tak selang berapa lama, Abdul keluar sambil menelepon dengan orang yang dia panggil 'Boss'.

"Tenang aja, Boss. Aku jauh dari rumor itu dan semua orang mikir itu ulah Willy si cabul. Nggak di sangka dia bisa gampang di bodohi. Kayaknya kita harus tunggu waktu pas buat...,"

Mendegar ucapan itu, Edward bergegas keluar debgab membanting pintu dan menghajar Abdul habis-habisan.

"Dasar anjing kau, Abdul. Kukira kau anak baik! Kau lebih busuk dari sampah!"

Dia memukul, mendorong, dan mencekik Abdul dengan brutal. Edward terlihat sangat menyeramkan.

"Edward...," ucapnya dengan nada kesakitan.

"Kenapa kamu jual Narkoba ke Willy, hah?! Terus apa maksudmu dia cabul?"

"D, dia yang mau, Ed." jawabnya.

Ed semakin erat mencekiknya. "Terus apa maksudmu dia cabul?!"

"Dia bilang mau tiduri gebetannya!"

Mendengar jawaban itu, Ed menggulingkan Abdul seraya menangis hilang kendali.

"Ah ... anjing!! Semuanya anjing! Ah!!"

Rama dan Erik datang melerai dan mereka mendapati Abdul tersungkur babak belur. Ed mengamuk di luar kendali, sama seperti yang terjadi di kantin lalu.

"Edward ada apa ini? Sadar Ed!" Rama membentak dan menyerednya menjauh dari Abdul.

"Abdul?! Apa yang terjadi?" bentaknya dengan nada penuh khawatir.

Ed masih tetap menangis di pojok wastafel, dia nampak seperti orang lain yang begitu naif dan penuh amarah. Mereka merangkul kedua anak itu ke UKS.

"Eh, si Edward kenapa lagi, tuh?" suasana ramai koridor seketika hening tertuju pada mereka.

"Wah, sekarang si Abdul yang kena," ucap seorang siswa.

Emily melihat mereka melintasi kelasnya. Dengan perasaan panik dan khawatir dia menghampiri kakaknya.

"Edison! Kamu kenapa? Itu temanmu kau apakan? Kau kenapa sekarang berantem terus, sih? Ini siapa yang mulai? Aku mohon ini nggak baik buatmu, Bang. Kau bilang kau mau sembuh!" Emily mencerocos hingga kebablasan.

"Aku nggak apa-apa." jawabnya datar.

"Kak, kakak nggak apa-apa?" tanya Emily pada Abdul.

"Nggak apa-apa, Emily. Ini cuma salah paham."

Mereka kembali berjalan menuju ruang UKS.

Setelah Rama mengobati Abdul, dia menjadi penengah untuk meluruskan apa yang terjadi. Abdul menjelaskan semua ini hanya salah paham.

"Kalo benar ini salah paham, kamu harus datang ke gudang sekolah sore ini. Akan kutunggu!" ucap Edward dengan penuh rasa angkuh.

Abdul terdiam seraya menganggukan kepalanya.

Mereka kembali ke kelas dengan berjalan penuh kebingungan.

Tiba di kelas, Fitri melihat Edward terlihat berantakan.

"Ed, kamu nggak apa-apa?" nafasnya tak stabil menandakan emosi yang masih membara. Fitri membiarkannya sendiri.

Abdul pun masuk dan membuat seisi kelas bertanya-tanya.

"Kalian berantem? Kok, nggak ajak-ajak, sih." celoteh Latif.

Erik menatap tajam wajahnya, menandakan ini bukan candaan. Orang-orang berasumsi bahwa mereka memang bertengkar. Lalu, kemana perginya para guru? Hari itu para guru tengah mengadakan rapat mengenai kekacauan yang terjadi di sekolah.

Edward tampak pintar memainkan keadaan.

*****

Sore hari, mereka pergi ke gudang belakang. Edward siap mendengar penjelasan Abdul. Di luar gudang, ada Rama, Erik, Fitri dan Amel menguping.

Abdul mulai menjelaskan. Dia mengaku bahwa dialah orang yang selama ini mendapat julukan si pengedar di sekolah dan Willy adalah salah satu pelanggannya. "Pertama kali Willy pesan itu pas dia bilang dia lagi stress ... ya kuberi saja. Tapi pas kedua kali ... dia minta dosisnya lebih tinggi terus buat dua orang. Dia bilang buat main sama ceweknya."

Edward mengeraskan rahangnya. Ia kecewa karena memperjuangkan kebenaran orang yang sama berengseknya. Ed meninju tembok hingga tangannya berdarah.

Duk!

Srrt.

Ough.

Melihat suasana mulai tak baik, Erik dan Rama tak bisa bersembunyi lagi. Mereka keluar dari persembunyian dan berjalan menghampiri mereka.

Sembari menahan amarahnya, Erik bertanya.

"Terus kau tahu siapa pacarnya?"

"Aku nggak tau, katanya adik kelas."

"Terus apa hubunganya Willy di tusuk?! Siapa yang tau Willy pake narkoba? Kenapa kau nggak kasih tahu diriku, Abdul!" Ed menangis penuh emosi.

Rama berusaha menenangkan suasana. Abdul sendiri berniat untuk berhenti menjadi pengedar di sekolah karena resikonya sangat tinggi dan juga tak siap untuk di keluarkan dari sekolah.

Transaksinya dengan Willy adalah pekerjaan terakhirnya, tapi malah menimbulkan malapetaka. Abdul bersujud meminta maaf pada Edward dan Erik karena menyembunyikan identitas dirinya dan sahabatnya.

"Dengan penuh rasa bersalah, aku minta maaf sebesar besarnya, Edison, Eriko. Aku tahu ini salahku karena udah bertindak bodoh demi uang. Aku nggak seberuntung orang lain yang bisa dapatkan semuanya dari orang tua. Aku butuh uang buat hidup, Ed. Aku harus...,"

Rama menenangkan Abdul dengan memotong perkataannya. "Udah, Abdul, tolong. Setelah semuanya kamu jelaskan, kamu nggak sepenuhnya salah. Aku bisa mengerti bagaimana susahnya mencari uang dan hidup dari keluarga miskin."

Suasana sangat kacau dan pilu.

"Oke. Aku juga minta maaf atas kejadian tadi. Terima kasih udah jelaskan semuanya."

Dengan berat hati Edward memaafkannya.

Fitri dan Amel menangis, mereka tak percaya hal ini terjadi pada temannya. Edward bertanya satu hal sebelum Abdul pergi. "Kalo kau benar bilang itu transaksi terakhir, kenapa dokter bilang Willy sedang dalam pengaruh narkoba saat di tikam orang asing itu?"

"Aku nggak tahu, Ed. Aku udah jelaskan semuanya." Abdul meninggalkan mereka dengan jutaan penyesalan di pundaknya.

Mereka semua bubar dengan langkah kaki yang menandakan untaian kebingungan.

*****

Dalam sebuah gudang terbengkalai, seorang pria tengah memarahi anak buahnya.

"Dasar bego! Udah kubilang, hati-hati sama dia! Dia bisa jadi bumerang buat bocorkan semuanya! Dia bisa jadi musuh dalam selimut! Apa susahnya, sih, mengawasi satu anggota juga?! Udah sana, BUBAR!"

*****