Edward dan Erik berpikir keras dengan teka-teki ini. Apa hubungan antara Willy dan Abdul. Apa yang sebenarnya terjadi pagi itu dan siapa sosok Willy yang sesungguhnya?
Setelah kejadian itu, hampir satu minggu dia tak pergi sekolah.
Mereka bertemu dengan Wina di Kantin.
"Wina, Abdul kemana, ya? Udah satu minggu nggak sekolah." tanya Erik
"Dia lagi sakit, Rik."
"Apa dia sakit gara-gara kejadian kemarin?" batin Erik.
"Oh, gitu, ya, Win. Makasih, ya, infonya."
"Iya."
"Rik, aku beli air dulu, sebentar," ucap Edward
"Ok."
Wina mendekati Erik satu langkah dan berbisik, "Rik, sebenarnya waktu itu ada apa, sih, di antara Edward sama Abdul? Kok, mereka bisa sampai berantem gitu."
"A, anu, Win ... ceritanya panjang dan aku juga nggak paham akar masalahnya apa. Yang pasti, sekarang mereka udah baik-baik aja, kok."
"Oh, gitu. Syukur, deh. Aku khawatir aja sama mereka, terutama Edward yang anak-anak musik bilang dia 'aneh' banget akhir-akhir ini."
"Tenang, Win. Semuanya udah aman, kok."
Ed kembali dengan wajah juteknya. "Ayo, Rik. Cabut kelas!"
"Yok. Win kita ke kelas dulu, ya," pungkas Erik ramah seraya dengan lambaian sederhana Edward padanya.
Mereka bergegas menuju kelas menyusuri lorong yang tak pernah sepi.
"Ed, kita jenguk Abdul, yuk? Aku masih merasa nggak enak sama dia."
Edward berjalan dengan tatapan kosong melewatkan apa yang temannya katakan.
"Ed?"
"Eh, Apa, Rik? Sorry, barusan aku melamun," jawabnya seraya menatap langit-langit.
"Kita jenguk Abdul. Eh, kok, kamu pucet, sih. Lagi sakit juga?"
Edward menggelengkan kepalanya.
Dia menoleh. "Memang kamu tahu rumah Abdul di mana?" balas Ed.
"Kagak," ujarnya tanpa dosa.
" ....."
Mereka kembali ke kantin menemui Wina untuk meminta alamat Abdul.
*****
Abdinami Dzulfikar Haym atau Abdul adalah seorang siswa pekerja keras. Rumahnya berada jauh di dalam gang pemukiman padat penduduk. Bangunannya sangat memprihatinkan, mengingat dia hidup hanya dengan nenek yang sudah renta. Ibunya bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita di Timur Tengah, sedangkan Ayahnya adalah seorang kuli bangunan yang tengah membangun proyek di Sulawesi.
*****
Tiba di sana, nenek Abdul menyambut hangat mereka, tampak Abdul sedang berbaring menonton Televisi.
"Halo, Abdul!"
Abdul terkejut. "Eh, Edward, Erik ... kok, kalian tau rumahku?"
"Wina." jawab Erik
Edward memulai pembicaraan. "Abdul, aku ingin memohon maaf sebesar-besarnya. Kamu udah beberapa hari nggak sekolah, Wina bilang kamu lagi sakit, ya?"
"Iya, Ed. Demam."
"Tapi udah ke dokter, kan?"
"Belum. Ibuku belum kirim uang, bapak belum pulang dari Sulawesi."
"Ya, sudah, sekarang kita periksa, biar kuantar."
"Tapi aku nggak ada uang...,"
"Udah tenang, yang penting kau sembuh."
Mereka bergegas membawa Abdul ke rumah sakit.
Di perjalanan, Abdul menangis menyesali sikapnya yang naif menutupi kebenaran Willy dan bertindak bodoh karena bekerja sebagai pengedar. Melihat hal yang di alami Abdul membuat Erik dan Edward yang hidup serba berkecukupan semakin membuka mata bahwa dunia memiliki peran yang berbeda bagi tiap orang.
"Bagaimana, Dok? Teman saya nggak apa-apa, kan?"
Dokter mengatakan bahwa Abdul terkena tipes dan harus di rawat untuk sementara waktu. Dia panik. "Ed, Rik, aku nggak apa-apa, kan? Aku nggak mau di rawat, entar siapa yang jaga nenek."
Erik menjawab. "Kamu harus di rawat, biar nenekmu kumintai tolong ke tetangga buat jaga, oke?"
Abdul mengangguk.
Setelah mengurus administrasi dan mendapat kamar untuk Abdul, mereka bergegas pulang.
"Dul, kita pulang dulu, ya? Pokoknya kau turuti aja yang dokter sama suster minta."
"Oke, Ed, Rik. Makasih banyak, ya."
Mereka pergi dengan lambaian tangan kecil.
Berjalan di lorong, Erik menghampiri seorang dokter bedah di rumah sakit itu. Edward tak tahu jika ibunya seorang dokter.
"Apa yang kamu lakukan di sini, Nak?" tanya Dokter Erna.
"Ini bu ... kita habis antar Abdul periksa, ternyata dia tipes dan harus di rawat," jawab Erik.
Edward menyapa dokter Erna. "Halo, Dok. Selamat Malam."
"Malam ... eh, ini Edward, ya? Salam kenal, ya, Nak. Erik sering cerita soal kamu, tapi ibu belum pernah ketemu sama kamu," sapa dokter Erna dengan senyuman yang tulus.
'Mirip banget, sialan!'
*****
Beberapa hari ini Edward jarang bertemu Rama.
Tok tok tok!
"Ram? Kamu di dalem, nggak?"
"Ada apa, Tuan?" tanya ibu Rama.
"Ini, Bi ... Rama kemana, ya? Aku udah beberapa hari nggak ketemu dia di rumah."
"Anu, Tuan ... Dia sekarang kerja paruh waktu. Jadi sepulang sekolah pasti langsung kerja."
"Oh, ya? Sejak kapan, Bi? Kok, nggak kasih tau kita?"
"Dua hari yang lalu, Tuan. Mohon maaf kami nggak kasih tahu sebelumnya ... takutnya Nyonya Lastri nanti marah."
"Hmm ... oke, deh, Bi. Kalo nanti dia pulang, tolong kabari aku, ya."
"Baik, Tuan."
Ed berpikir mugkin saja dia sibuk 'bekerja'. Ia bergegas pergi ke kamar mengganti setelannya serba hitam dan membawa masker.
Mengingat kembali kejadian saat Ed mengamuk di toilet, ia selalu khawatir pada Rama karena mereka memiliki pekerjaan yang sama. Edward mencoba menguhubungi Rama, tapi tak ada jawaban. Dia mencari ke gang tempat orang besar berkumpul, tak ada siapa pun. Lalu, menuju bawah jembatan tempat ia membawanya pun tak ada. Edward cemas dia berhubungan dengan 'Boss' yang di telepon Abdul waktu itu.
Lelah berjalan mencari kemana ia pergi, terlihat dua orang berbaju hitam tengah mengobrol di pinggir jembatan. Edward mengintip dari balik semak yang jaraknya cukup jauh sehingga tak jelas terlihat siapa mereka dan apa yang mereka katakan.
*****
"Jadi, kau mau bohongiku karena jual ke anak sekolah, hah?!"
"Tidak, King. Saya khilaf. Kemarin Abdul juga bilang kalo itu buat warga sipil."
"Terus Madam tau perihal ini?"
"Tidak, King."
Pria itu menyeringai. "Bagus! Berkatmu, aku harus buka identitas pada anak Elang supaya misi tetap berjalan. Dan, ujungnya? Dia mulai masuk ke lingkaran kita! Aku nggak bisa jamin kau bakal becus bekerja denganku."
"Tapi, King. Kalo saya tidak bekerja, anak saya makan apa?"
"Jadilah berguna...,"
Ssrt Srrt Srrt!
Salah satu dari mereka di tusuk dan di dorong ke sungai hingga membuat Ed kaget terjatuh.
Argh...
Rintih pria itu.
Merasa sedang di awasi, penusuk itu menoleh dan kabur.
"What the fuck?"ucap Ed.
Edward segera berlari menjauh sambil melepas jaket hitam dan maskernya. "Ini udah semakin aneh. Aku harus jauh-jauh. Aku nggak mau di cap jadi pembunuh lagi. Udah cukup!" gerutunya seraya berlari tak tentu arah hingga gemerlap cahaya lampu membawanya ke pasar kuliner malam.
Huft.
Ed menghela nafas panjang seraya bergegas pulang di hari yang kian malam.
"Hey! Dasar cabul! Enyah kau, sialan!"
Seorang wanita memaki dan memukul preman teler yang sedang menggesek-gesekan kemaluanya padanya.
"Kenapa dunia ini makin di luar dugaan?" keluh Edward dalam lubuk hati terdalam.
Edward resah karena akhir-akhir ini banyak mendapati orang jahat, pemakai narkoba, bahkan salah satunya adalah sahabatnya sendiri. Emosinya pun sulit terkontrol dan ia mudah meledak. Ed mencoba tenang menghela nafas di bangku taman.
Emily mengirim pesan. "Bang, malam ini aku di rumah Alisya."
"Ya. Bagaimana kabarnya?"
"Udah membaik. Makannya juga lahap."
"Ok, deh, syukur."
Menerima kabar itu Ed merasa lega Alisya kian membaik.
*****
Setibanya di rumah, Bu Lastri mendapati Edward dari luar.
"Edward, ini tengah malam. Kamu dari mana?!"
"Cari udara segar bu." jawabnya
"Kok, keringetan gitu? Kamu habis olahraga?"
"Iya, bisa di bilang gitu. Eh ... bu.. anu ... om Wandi ada bicara sesuatu sama Ibu?"
"Iya, Nak. Ibu udah denger, dan ibu mengerti. Ibu di pihak kamu."
"Kayaknya, aku harus kesana lagi, Bu."
"Kamu yakin?"
"Belum sepenuhnya," jawabnya pasrah.
Edward tak bisa bercerita lebih jika hidupnya semakin rumit saat ini. Banyak teka-teki yang harus ia pecahkan.
Sebelum masuk SMA umum, dia harus bolak-balik ke psikiater bahkan menetap di rumah sakit jiwa untuk merehabilitasi kondisi mentalnya. Edward di diagnosa mengalami depresi berat, bipolar dan gangguan disosiatif.
*****
Hari demi hari, semuanya makin rumit. Edward merasa dirinya semakin kacau, tidak bisa fokus belajar, banyak melamun, bahkan saat berlatih Basket.
"Bang, Ed? Nggak apa-apa, kan? Kok, dari tadi kelihatan nggak fokus?' tanya Syifa, anggota klub basket.
"Nggak apa-apa," jawabnya datar.
"Ayo semuanya kita istirahat dulu dua puluh menit!" seru Listi.
Bagaikan bunga yang kehilangan lebahnya, Klub Basket terasa kering dan layu sejak tragedi yang menimpa Willy.
Edward mengalami krisis batin. Ia sempat memiliki alter ego yang sangat bertentantangan dengan dirinya yang asli. Beruntung, kini ia telah sepenuhnya sembuh. Hanya energi negatif sosok itu masih melekat padanya. Trauma masa kecil yang Edward alami membuat dirinya berusaha menjadi orang yang dia anggap hebat di masa lalu sebagai identitas kedua dirinya.
*****